09 Juni 2009

Satu pelajaran tentang IKHLAS

Jika di buat daftar, mungkin bisa panjang sekali barang-barang yang pernah saya hilangkan. Sifat jelek saya yang suka teledor dan kurang teliti sering menyebabkan adaa.. saja cerita barang yang hilang. Dan yang paling parah tapi membawa hikmah adalah ketika pertama kali saya ke kota kelahiran Suami, sebuah kota kecil di daerah pegunungan yang sangat indah.

Sejak kecil saya terbiasa tinggal di kota besar yang jauh dari pegunungan, jadi mohon dimaklumi sewaktu di ajak suami ke berjalan-jalan dan berfoto-foto di tepi sebuah sungai dekat rumah salah seorang Paklik (Paman) Suami yang airnya, Masya Allah, begitu jernih yang mengalir di antara batu kali yang besar-besar, sifat saya yang teledor kembali membuat musibah. Saya. Karena sangat excited-nya dengan pemandangan yang indah itu saya tidak menyadari kalau dompet yang ada disaku jaket saya saya terjatuh dan hanyut di sungai itu, dan baru saya ketahui setelah berjalan agak jauh ketika hendak pulang .
Ya Allah, rasanya seperti tidak percaya sampai saya menangis berharap dompetnya bisa ditemukan karena saat itu di dalamnya ada uang yang lumayan banyak untuk ongkos kami pulang ke kota asal. Dan yang paling pasti, rasa malu yang teramat sangat pada mertua dan saudara-saudara, betapa tidak baru ke kota mengunjungi mereka kok sudah bikin cerita tidak mengenakkan. Tapi memang Allah berkehendak lain. Dompet itu benar-benar tidak ditemukan setelah kami mencarinya meski sudah dibantu oleh Paklik tadi.

Dan hikmah dibalik itu adalah saya menjadi mengerti betapa Paklik, Suami, Ibu dan Bapak mertua menganggap masalah itu sebagai suatu hal yang biasa-biasa saja, dan memberikan saya arti satu pelajaran tentang ke-IKHLAS-an. Kata mereka barang yang sudah hilang lebih baik untuk tidak usah dipikirkan. Dan meng-IKHLAS-kannya, karena “siapa tahu yang nemuian dompet itu orang yang lagi betul-betul butuh duit sehingga uangnya jadi manfaat, anggap saja sodaqoh “, kata mereka dan juga,“ Sudah enggak apa-apa! Sudah bukan rizkinya. Besok-besok diganti Allah yang lebih banyak“. Duh…Alhamdulillah…itu adalah kata-kata penyejuk jiwa sehingga rasanya hati ini kembali menjadi tenang.

Setelah lama kejadian itu berlalu saya rasanya kok belum bisa menerapkannya terhadap anak-anak. Ketika pensilnya hilanglah, penghapus pensil hilang atau bahkan sajadah mereka yang hilang, semua bisa membuat saya berceramah panjang lebar dengan sederet pertanyaan, “Kok bisa hilang..? Emangnya ditaruh di mana…? Makanya hati-hati…!”. Duh, emang saya terkadang belum bisa menjadi ibu yang penyabar. Sementara dengan tenang biasanya Suami bilang, ”Udah..udah… barang yang hilang kok di ributin siapa tahu jadi manfaat buat yang nemu atau yang memang sengaja ngambil…..”

Saya akui harus lebih banyak belajar menata hati untuk bersabar dan rela jika ada barang yang hilang, baik ketika suami yang pernah HPnya ketinggalan dan hilang di warung makan, anak-anak yang alat-alat tulisnya harus dibeli-beli terus karena suka hilang, anting saya yang sering hilang sebelah, dan lainnya. Barang yang sudah hilang, diributin dan dipikirin memang percuma. Toh tidak akan membuat barang itu kembali, kecuali atas izin Allah. Tapi untuk mencapai maqam/tingkatan menganggap sesuatu yang telah hilang sebagai sodaqoh sehingga menjadi pahala kayaknya butuh perjuangan ekstra.

Dan sekarang yang lebih membuat saya harus banyak belajar untuk bersabar dan rela jika barang hilang adalah si Adek, putri kecil saya ( yang masih berusia 3 tahun). Kemarin ketika kami pergi kolam renang, si Adek selesai terlebih dahulu dan saya bawa ke kamar mandi untuk dibilas. Eh, begitu selesai membilasnya saya terlupa memasukkan sabun cair yang tadi dipakainya padahal masih penuh karena baru beli. Saya ajak lagi si Adek untuk mengambilnya di ruang bilas, tapi “ya…Dek..sabunnya ga ada lagi..sudah diambil orang”, setengah mengeluh itu kata-kata yang terucap dari mulut saya. Dengan santai dan gaya ngomongnya yang khas Adek mengingatkan saya “Napa Mama..? Cabunnya ilang..? Dak pa-pa Mama..nanti beli lagi…”

Dan ketika baru-baru ini saya ajak dia ke mengikuti pengajian di masjid dekat rumah. Sewaktu di masjid itu sekilas saya perhatikan dia membuka tas saya dan mulai memainkan HP saya. Dalam perjalanan pulang saya baru teringat sehingga saya bertanya kepadanya,“ Dek..tadi HPnya mama sudah dimasukin ke tas belum ya?“. “Cudah Ma.. jawab si Adek. Ketika saya sedang sibuk mencarinya di tas si Adek keluar lagi komentarnya, “Napa Mama..? HPnya dak ada ya…? HPnya ilang..? Dak pa-pa Mama…nanti beli lagi…..”. Masya Allah , Adek…Adek…… Padahal saya ingat seorang teman saya ada yang pernah berkata, “Jangan sampe deh HP saya hilang, HP tu udah jadi separuh nyawa saya”. Loh …loh… gimana ya rasanya kalau separuh nyawa yang hilang ???

Ya Allah, memang sungguh tidaklah mudah bagi kami untuk menata hati sampai kepada keikhlasan ketika ada sesuatu yang harus hilang dari kami, baik itu karena keteledoran kami sendiri, atau memang disaat itu Engkau sedang menguji sampai dimana tingkat kepasrahan kami terhadap semua yang bukan lagi menjadi Rizki bagi kami………..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar