09 Oktober 2011

Jalan-jalan ke Ujung Barat Negeri...

Mendadaknya pengumuman cuti bersama bulan Juni itu menjadikan rencana liburan ke Pulau Weh di ujung Aceh juga sesuatu yang mendadak. Hanya seminggu menjelang keberangkatan saya buru-buru mempersiapkan segala sesuatu di tengah-tengah kerjaan kantor yang sepertinya semakin bertimbun saja. Apalagi perjalanan liburan ini membawa serta rombongan istri dan ketiga anak saya.










Pemilihan Pulau Weh juga dikarenakan sebelumnya teman sekantor baru saja mengunjunginya di cuti bersama yang lalu, lalu ternyata ada teman sekantor lainnya yang juga berombongan akan berlibur ke sana. Tampaknya cukup menarik dan eksotis jika kita bisa mencapai daratan kelompok pulau terujung di negeri ini, serta memang sudah lama menyimpan cita-cita mengunjungi kota Serambi Mekah, Banda Aceh. Semua ini juga sebagai berkah selama ditugaskan di Binjai, karena kunjungan ke sana menjadi sangat ekonomis dibandingkan dari tempat tugas yang sebelumnya, atau jika nantinya bertugas di tempat lain misalnya.


Dan saya mulai hunting informasi mengenai segala sesuatu tentang Pulau Weh. Karena rombongan dari teman sekantor itu akan menginap di Iboih Inn, maka saya pun memutuskan untuk menginap ke sana juga. Maka saya mulai googling, menelusuri Google Earth, mengontak teman-teman se institusi yang berdinas di Banda Aceh dan informasi lainnya yang mungkin penting.

Beruntung Iboih Inn telah memiliki account fesbuk dan banyak informasi dari testimoni-testimoni di situs-situs pribadi. Lalu beruntung juga dari sekian banyak teman yang berdinas di Banda Aceh yang saya tahu pasti akan mudik ke Jawa di hari libur panjang, ternyata satu diantaranya tidak berencana pulang yang kemudian dengan senang hati bersedia mengatur perjalanan saya selama di Kota Banda Aceh. Sedangkan seorang teman lainnya yang mudik bersedia membantu menyediakan kendaraan dinasnya untuk saya gunakan selama di Kota Banda Aceh dan Pulau Weh.

What a beautiful brotherhood..!

Maka rencana saya pun matang dalam hitungan hari. Berikut kisah perjalanannya :


Persiapan yang mepet


Saya dan istri sepakat mempersiapkan diri menjadi backpacker tourists. Jadi semua barang-barang bawaan dibawa menggunakan ransel. Dan ketiga anak saya yang SMP, SD dan TK pun kebagian membawa ransel sesuai ‘takaran’nya masing-masing. Ini ternyata terbukti cukup efektif dibanding membawa traveling bag biasa.

Karena di Banda Aceh telah tersedia kendaraan pinjaman, maka saya putuskan berangkat dari Binjai ke Banda Aceh menggunakan angkutan bus malam jurusan Medan-Banda Aceh yang pasti melewati kota Binjai. Cukup banyak jumlah angkutan dan perusahaan bus trayek Medan-banda Aceh, dan bisa mulai memilih dari yang ekonomi, patas AC sampai The bus ticketsuper excecutive dengan harga tiket termahal Rp.200.000 per orang dan dengan lama perjalanan 8-10 jam. Ada juga pilihan terbang dengan beberapa penerbangan pesawat dari bandara Polonia Medan, dengan kisaran tiketnya sebesar Rp. 400.000 ribu untuk perjalanan 1 jam.

Reservasi di Iboih Inn saya lakukan lewat telepon hasil pelacakan internet. Lalu saya membayar DP via ATM separo dari harga kamar yang saya pesan untuk 2 malam mulai Kamis sampai Sabtu pagi. Harga kamar di Iboih Inn yaitu Rp. 250.000 untuk kamar dengan fan dan Rp.350.000 untuk kamar AC. Karena persediaan terbatas saya mendapat 1 kamar fan dan 1 kamar AC untuk 5 orang rombongan.

Saya juga mempelajari rute-rute jalan di Pulau Weh lewat Google Earth dan wikimapia.org, mulai dari Pelabuhan Balohan, Kota Sabang, Iboih sampai lokasi Tugu KM 0 di ujung pulau. Beruntung citra satelit di Google Earth untuk Pulau Weh sudah dengan resolusi tinggi sehingga detail permukaan buminya jelas terlihat.

Oke, nampaknya persiapan sudah cukup matang. Let the travelling begin….!

Hari Pertama.

Rombongan kecil kami tiba di Terminal Type A Kota Banda Aceh sekitar jam 07.00 setelah berangkat dari Binjai sekitar jam 10.30 malam atau jam dari Medan-nya puku 09.30 malam. Bus malam Pelangi super excecutive yang saya naiki itu sangat kencang jalannya. Memang jalan raya antara Medan-Banda Aceh beraspal mulus dan tidak begitu ramai di malam hari.

Dan tidak seperti bus malam yang pernah saya naiki di mana-mana, bus malam ini tidak berhenti di restoran untuk melepas lelah sejenak, tetapi hanya berhenti sebentar di sebuah masjid sesaat setelah waktu subuh yang dimanfaatkan penumpang untuk sholat subuh dan keperluan kamar kecil lainnya. Memang lebih baik buang air saat itu daripada memanfaatkan toilet di bus yang hampir bikin saya muntah-muntah saking baunya, setelah saya tak bisa lagi menahan rasa ingin buang air kecil karena saking dinginnya AC bus.

Di terminal baru Kota Banda Aceh itu telah menunggu sobat saya yang paling baik, yang kebetulah sedang bertugas di sana. Sudah lebih dari 2 tahun dia menjadi orang Banda Aceh, sehingga saya tak perlu kuatir dengan kondisi perjalanan di kota ini. Kami diajaknya berkeliling kota dulu, mulai dari sarapan pagi Lapangan Blang Padang, singgah ke Masjid Raya Baiturrahman untuk sholat dhuha, dan PLTD apung yang terdampar akibat tsunami.

Kota Banda Aceh sudah tidak seperti pernah terkena bencana besar beberapa tahun lalu kecuali setelah melihat ‘monumen’ PLTD apung, karena tidak nampak lagi bekas-bekasnya secara kasat mata. Kota ini sungguh cantik dan sejuk, apalagi ditambahkan kemegahan Masjid Raya Baiturrahman di tengahnya. Lalu lintasnya tidak begitu padat.

Pemandangan alam di sekitar Kota Banda Aceh seperti terlihat saat perjalanan tadi juga tampak elok dengan bukit, gunung dan pantainya. Tak heran betapa orang Aceh sangat mencintai tanah rencong ini.Kawasan wajib baju muslimah

Kami tidak bisa mengelilingi kota ini lebih lama lagi karena harus segera menuju pelabuhan Ulee Lhe karena ferry penyeberangan ke pelabuhan Balohan di Pulau Weh akan berangkat jam 11.00 pagi. Jika terlambat maka kami harus menunggu lagi untuk trip kedua pada pukul 4.00 sore. Trip KMP BRR yang melayani Ulee Lhe – Balohan pada hari Rabu dan Sabtu adalah 2 kali pada jam 11.00 pagi dan jam 4.00 sore dari Ulee Lhe serta jam 8.00 pagi dan jam 2.00 siang dari Balohan sedangkan pada hari biasa hanya ada 1 trip pagi dari Balohan dan siang dari Ulee Lhe. Kalau terlambat ya sudah silakan tunggu jam berikutnya atau tunggu esok harinya, karena hanya ada satu kapal ferry itu. Makanya untuk penyeberangan jam 11 kendaraan harus ikut mengantri dari pagi dulu biar kebagian, karena ferry itu hanya menyediakan jatah kendaraan pribadi sekitar 15 mobil saja, lainnya jatah truk, bus dan sepeda motor. Begitupun yang menyeberang jam 2 siang harus ikut mengantri dari jam 12 dulu. Itupun kalau hari-hari biasa atau normal. Saya tak bisa membayangkan seandainya hari-hari puncak seperti mudik lebaran. Bisa-bisa sehari semalam ngantrinya ya...

Maka ketika kami sampai di pelabuhan Ulee Lhe, kami disambut utusan sobat saya yang lainnya yang berdinas di Banda Aceh juga. Kalau sahabat saya yang ini bersedia meminjamkan mobilnya untuk berkeliling Pulau Weh. Malah, mobilnya telah diantrikan menyeberang utusannya itu sejak pagi dan dibelikan tiket penyeberangan pula. Thank’s u all guys…..!

Dan akhirnya kami pun dilepas mereka untuk menunggu di pelabuhan sampai saat menyeberang tiba. Oya, tiket penyeberangan ferry Ulee Lhe – Balohan adalah untuk kendaraan pribadi adalah Rp. 160.000,- termasuk sopir. Sedangkan tiket penumpangnya Rp. 15.000 untuk kelas ekonomi dan Rp. 35.000 untuk kelas excecutive. Bedanya hanya masalah AC dan kebisingan saja. Jika ingin istirahat dengan nyaman ya tentu lebih baik kelas excecutive.

Sambil menunggu sebenarnya pengen mandi juga karena sejak sampai di Banda Aceh kami belum juga sempat mandi. Tetapi ternyata di Ulee Lhe kami tak bisa menemukan fasilitas kamar mandi. Pelabuhan yang masih terlihat baru dan apik itu hanya menyediakan toilet saja. Dan pun setelah mencoba menggunakan untuk cuci muka ternyata airnya terasa lengket dan cukup asin, barangkali olahan dari air laut. Okelah, keinginan mandi ditunda lagi, meski rasa gerah di badan lumayan mengganggu. Ah, toh serombongan sama-sama belum mandi semua.

Tibalah saatnya untuk menaiki kapal ferry KMP BRR, mungkin dulu dari BRR Aceh pasca tsunami itu yang memberikannya. Kapal ferry ini berukuran lebih kecil dari ferry Merak-Bakauheni, tetapi lebih besar dari ferry Ujung-Kamal atau Ketapang-Gilimanuk. Ketika memasuki kapal, penumpang mobil disuruh keluar untuk menghindari mobil menyangkut di jembatan penyeberangannya yg memang terlihat tajam lekukannya. Parkirnya hanya ada satu lantai di geladak dan juga empet-empetan, sehingga sekali diparkir, pintu mobil tak bisa dibuka lagi kecuali sedikit dari pintu bagasi.

Lalu kami naik ke kabin dan masuk ke kabin excecutive. Memang benar, jika di kabin excecutive bisa beristirahat sejenak karena sejuk dan tak bising, beda dengan di kabin ekonomi yang cukup gerah, bising dan terutama asap rokok yang bertebaran di mana-mana.Tapi jika ingin menikmati romantika perjalanan dan pemandangan laut lebih cocok di kabin ekonomi karena sangat terbuka ruangannya dibanding ruangan escecutive yang hanya berjendela kecil-kecil.

Pukul 11 lebih setelah membunyikan peluit gedenya, kapalpun berangkat setelah berkali-kali di’interupsi’ oleh beberapa penumpang dan kendaraan di pelabuhan yang terlambat dan tergesa-gesa berlari-lari datang ingin ikut. Kebetulan memang areal parkir di geladak masih tampak agak kosong.


Maka, etape kedua perjalanan ke Pulau Weh pun di mulai. Toooooooooottt…….!!



(bersambung)