09 Oktober 2011

Jalan-jalan ke Ujung Barat Negeri...

Mendadaknya pengumuman cuti bersama bulan Juni itu menjadikan rencana liburan ke Pulau Weh di ujung Aceh juga sesuatu yang mendadak. Hanya seminggu menjelang keberangkatan saya buru-buru mempersiapkan segala sesuatu di tengah-tengah kerjaan kantor yang sepertinya semakin bertimbun saja. Apalagi perjalanan liburan ini membawa serta rombongan istri dan ketiga anak saya.










Pemilihan Pulau Weh juga dikarenakan sebelumnya teman sekantor baru saja mengunjunginya di cuti bersama yang lalu, lalu ternyata ada teman sekantor lainnya yang juga berombongan akan berlibur ke sana. Tampaknya cukup menarik dan eksotis jika kita bisa mencapai daratan kelompok pulau terujung di negeri ini, serta memang sudah lama menyimpan cita-cita mengunjungi kota Serambi Mekah, Banda Aceh. Semua ini juga sebagai berkah selama ditugaskan di Binjai, karena kunjungan ke sana menjadi sangat ekonomis dibandingkan dari tempat tugas yang sebelumnya, atau jika nantinya bertugas di tempat lain misalnya.


Dan saya mulai hunting informasi mengenai segala sesuatu tentang Pulau Weh. Karena rombongan dari teman sekantor itu akan menginap di Iboih Inn, maka saya pun memutuskan untuk menginap ke sana juga. Maka saya mulai googling, menelusuri Google Earth, mengontak teman-teman se institusi yang berdinas di Banda Aceh dan informasi lainnya yang mungkin penting.

Beruntung Iboih Inn telah memiliki account fesbuk dan banyak informasi dari testimoni-testimoni di situs-situs pribadi. Lalu beruntung juga dari sekian banyak teman yang berdinas di Banda Aceh yang saya tahu pasti akan mudik ke Jawa di hari libur panjang, ternyata satu diantaranya tidak berencana pulang yang kemudian dengan senang hati bersedia mengatur perjalanan saya selama di Kota Banda Aceh. Sedangkan seorang teman lainnya yang mudik bersedia membantu menyediakan kendaraan dinasnya untuk saya gunakan selama di Kota Banda Aceh dan Pulau Weh.

What a beautiful brotherhood..!

Maka rencana saya pun matang dalam hitungan hari. Berikut kisah perjalanannya :


Persiapan yang mepet


Saya dan istri sepakat mempersiapkan diri menjadi backpacker tourists. Jadi semua barang-barang bawaan dibawa menggunakan ransel. Dan ketiga anak saya yang SMP, SD dan TK pun kebagian membawa ransel sesuai ‘takaran’nya masing-masing. Ini ternyata terbukti cukup efektif dibanding membawa traveling bag biasa.

Karena di Banda Aceh telah tersedia kendaraan pinjaman, maka saya putuskan berangkat dari Binjai ke Banda Aceh menggunakan angkutan bus malam jurusan Medan-Banda Aceh yang pasti melewati kota Binjai. Cukup banyak jumlah angkutan dan perusahaan bus trayek Medan-banda Aceh, dan bisa mulai memilih dari yang ekonomi, patas AC sampai The bus ticketsuper excecutive dengan harga tiket termahal Rp.200.000 per orang dan dengan lama perjalanan 8-10 jam. Ada juga pilihan terbang dengan beberapa penerbangan pesawat dari bandara Polonia Medan, dengan kisaran tiketnya sebesar Rp. 400.000 ribu untuk perjalanan 1 jam.

Reservasi di Iboih Inn saya lakukan lewat telepon hasil pelacakan internet. Lalu saya membayar DP via ATM separo dari harga kamar yang saya pesan untuk 2 malam mulai Kamis sampai Sabtu pagi. Harga kamar di Iboih Inn yaitu Rp. 250.000 untuk kamar dengan fan dan Rp.350.000 untuk kamar AC. Karena persediaan terbatas saya mendapat 1 kamar fan dan 1 kamar AC untuk 5 orang rombongan.

Saya juga mempelajari rute-rute jalan di Pulau Weh lewat Google Earth dan wikimapia.org, mulai dari Pelabuhan Balohan, Kota Sabang, Iboih sampai lokasi Tugu KM 0 di ujung pulau. Beruntung citra satelit di Google Earth untuk Pulau Weh sudah dengan resolusi tinggi sehingga detail permukaan buminya jelas terlihat.

Oke, nampaknya persiapan sudah cukup matang. Let the travelling begin….!

Hari Pertama.

Rombongan kecil kami tiba di Terminal Type A Kota Banda Aceh sekitar jam 07.00 setelah berangkat dari Binjai sekitar jam 10.30 malam atau jam dari Medan-nya puku 09.30 malam. Bus malam Pelangi super excecutive yang saya naiki itu sangat kencang jalannya. Memang jalan raya antara Medan-Banda Aceh beraspal mulus dan tidak begitu ramai di malam hari.

Dan tidak seperti bus malam yang pernah saya naiki di mana-mana, bus malam ini tidak berhenti di restoran untuk melepas lelah sejenak, tetapi hanya berhenti sebentar di sebuah masjid sesaat setelah waktu subuh yang dimanfaatkan penumpang untuk sholat subuh dan keperluan kamar kecil lainnya. Memang lebih baik buang air saat itu daripada memanfaatkan toilet di bus yang hampir bikin saya muntah-muntah saking baunya, setelah saya tak bisa lagi menahan rasa ingin buang air kecil karena saking dinginnya AC bus.

Di terminal baru Kota Banda Aceh itu telah menunggu sobat saya yang paling baik, yang kebetulah sedang bertugas di sana. Sudah lebih dari 2 tahun dia menjadi orang Banda Aceh, sehingga saya tak perlu kuatir dengan kondisi perjalanan di kota ini. Kami diajaknya berkeliling kota dulu, mulai dari sarapan pagi Lapangan Blang Padang, singgah ke Masjid Raya Baiturrahman untuk sholat dhuha, dan PLTD apung yang terdampar akibat tsunami.

Kota Banda Aceh sudah tidak seperti pernah terkena bencana besar beberapa tahun lalu kecuali setelah melihat ‘monumen’ PLTD apung, karena tidak nampak lagi bekas-bekasnya secara kasat mata. Kota ini sungguh cantik dan sejuk, apalagi ditambahkan kemegahan Masjid Raya Baiturrahman di tengahnya. Lalu lintasnya tidak begitu padat.

Pemandangan alam di sekitar Kota Banda Aceh seperti terlihat saat perjalanan tadi juga tampak elok dengan bukit, gunung dan pantainya. Tak heran betapa orang Aceh sangat mencintai tanah rencong ini.Kawasan wajib baju muslimah

Kami tidak bisa mengelilingi kota ini lebih lama lagi karena harus segera menuju pelabuhan Ulee Lhe karena ferry penyeberangan ke pelabuhan Balohan di Pulau Weh akan berangkat jam 11.00 pagi. Jika terlambat maka kami harus menunggu lagi untuk trip kedua pada pukul 4.00 sore. Trip KMP BRR yang melayani Ulee Lhe – Balohan pada hari Rabu dan Sabtu adalah 2 kali pada jam 11.00 pagi dan jam 4.00 sore dari Ulee Lhe serta jam 8.00 pagi dan jam 2.00 siang dari Balohan sedangkan pada hari biasa hanya ada 1 trip pagi dari Balohan dan siang dari Ulee Lhe. Kalau terlambat ya sudah silakan tunggu jam berikutnya atau tunggu esok harinya, karena hanya ada satu kapal ferry itu. Makanya untuk penyeberangan jam 11 kendaraan harus ikut mengantri dari pagi dulu biar kebagian, karena ferry itu hanya menyediakan jatah kendaraan pribadi sekitar 15 mobil saja, lainnya jatah truk, bus dan sepeda motor. Begitupun yang menyeberang jam 2 siang harus ikut mengantri dari jam 12 dulu. Itupun kalau hari-hari biasa atau normal. Saya tak bisa membayangkan seandainya hari-hari puncak seperti mudik lebaran. Bisa-bisa sehari semalam ngantrinya ya...

Maka ketika kami sampai di pelabuhan Ulee Lhe, kami disambut utusan sobat saya yang lainnya yang berdinas di Banda Aceh juga. Kalau sahabat saya yang ini bersedia meminjamkan mobilnya untuk berkeliling Pulau Weh. Malah, mobilnya telah diantrikan menyeberang utusannya itu sejak pagi dan dibelikan tiket penyeberangan pula. Thank’s u all guys…..!

Dan akhirnya kami pun dilepas mereka untuk menunggu di pelabuhan sampai saat menyeberang tiba. Oya, tiket penyeberangan ferry Ulee Lhe – Balohan adalah untuk kendaraan pribadi adalah Rp. 160.000,- termasuk sopir. Sedangkan tiket penumpangnya Rp. 15.000 untuk kelas ekonomi dan Rp. 35.000 untuk kelas excecutive. Bedanya hanya masalah AC dan kebisingan saja. Jika ingin istirahat dengan nyaman ya tentu lebih baik kelas excecutive.

Sambil menunggu sebenarnya pengen mandi juga karena sejak sampai di Banda Aceh kami belum juga sempat mandi. Tetapi ternyata di Ulee Lhe kami tak bisa menemukan fasilitas kamar mandi. Pelabuhan yang masih terlihat baru dan apik itu hanya menyediakan toilet saja. Dan pun setelah mencoba menggunakan untuk cuci muka ternyata airnya terasa lengket dan cukup asin, barangkali olahan dari air laut. Okelah, keinginan mandi ditunda lagi, meski rasa gerah di badan lumayan mengganggu. Ah, toh serombongan sama-sama belum mandi semua.

Tibalah saatnya untuk menaiki kapal ferry KMP BRR, mungkin dulu dari BRR Aceh pasca tsunami itu yang memberikannya. Kapal ferry ini berukuran lebih kecil dari ferry Merak-Bakauheni, tetapi lebih besar dari ferry Ujung-Kamal atau Ketapang-Gilimanuk. Ketika memasuki kapal, penumpang mobil disuruh keluar untuk menghindari mobil menyangkut di jembatan penyeberangannya yg memang terlihat tajam lekukannya. Parkirnya hanya ada satu lantai di geladak dan juga empet-empetan, sehingga sekali diparkir, pintu mobil tak bisa dibuka lagi kecuali sedikit dari pintu bagasi.

Lalu kami naik ke kabin dan masuk ke kabin excecutive. Memang benar, jika di kabin excecutive bisa beristirahat sejenak karena sejuk dan tak bising, beda dengan di kabin ekonomi yang cukup gerah, bising dan terutama asap rokok yang bertebaran di mana-mana.Tapi jika ingin menikmati romantika perjalanan dan pemandangan laut lebih cocok di kabin ekonomi karena sangat terbuka ruangannya dibanding ruangan escecutive yang hanya berjendela kecil-kecil.

Pukul 11 lebih setelah membunyikan peluit gedenya, kapalpun berangkat setelah berkali-kali di’interupsi’ oleh beberapa penumpang dan kendaraan di pelabuhan yang terlambat dan tergesa-gesa berlari-lari datang ingin ikut. Kebetulan memang areal parkir di geladak masih tampak agak kosong.


Maka, etape kedua perjalanan ke Pulau Weh pun di mulai. Toooooooooottt…….!!



(bersambung)

10 Januari 2011

Here in My Milad Day......

Alhamdulillaah ..kayaknya kemarin adalah the day of the longest OL time sepanjang sejarah saya berlama-lama fesbukan.
Walopun niat awalnya di hari milad menyelesaikan tugas setrikaan yang numpuk, (karena kayaknya ga ada ngaruh tuh..yang namanya tugas rumah tangga bisa libur kalo di hari ultah, hehe…), tapi ndilalah, kebetulan, ada keponakan yang lagi nginep di rumah, yang tahu krepotan tantenya hehe… sehingga, tanpa saya harus minta tolong, lumayan..setrikaan sudah tertangani olehnya. Maka sayapun punya waktu yang amat sangat longgar buat menyampaikan ucapan terima kasih pada teman-teman, sahabat dan saudara yang sudah meluangkan waktunya untuk memberi ucapan, mengirim doa dan bingkisan yang betul-betul tak saya duga.


“Hal jazaa ul ichsaan illal ichsaan ..” Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan pula.

Kado kejutan dari suami (ada yg nanya)..? Hhmm…kira-kira apa ya…?? Kayaknya status FBnya suami yang rada romantis plus untaian kata-kata doa darinya itu sudah bikin saya terkejut-kejut, hehe… Karena setelah sekian lama, piss.. , tumben abiss …

Nah, selanjutnya mungkin bagian cerita yang agak sedikit menarik disaat ultah saya ini menjelang,

Setiap Rabu saya yang tergabung bersama ibu-ibu majlis taklim lainnya sekarang lagi heboh menghapal Asmaul Khusna dengan metode “Hanifida”, yaitu dengan cara bercerita tapi nanti hasilnya walau urutan Asmanya di acak, kita tetep bisa dan hapal tanpa di urut lagi hapalannya, termasuk maknanya.

Tapi biasaaa.. namanya ibu-ibu, kumpul-kumpul gitu tak lepas dari acara makan-makannya, botram kata orang Sunda mah. Sedangkan acara tersebut bergiliran dari rumah ke rumah antara kita. Ndilalah lagi, saat kita sudah memasuki minggu terakhir pertemuan kemaren, eh.. saya dengan pe-denya menawarkan giliran ketempatan di rumah saya saja. Padahal setelah lihat kalender, eits…..belum tanggal suami gajian. Sebagai istri yang suaminya PNS, tanggal-tanggal segini kan rawan hehe…

Tapi dengan Bismillaah untuk menuntut ilmu bareng bersama teman-teman pengajian kenapa saya harus khawatir akan urusan rizki untuk menjamu mereka? Kenapa saya meragukannya ..? Padahal, bukankah saya tengah mempelajari AsmaNya yang salah satunya menjelaskan bahwa Dia-lah yang ARROZAAQ, YANG MAHA MEMBERI RIZKI, dan Dia-lah AL-BAASITH , YANG MAHA MELAPANGKAN RIZKI.
Itu yang hanya bisa saya tanam dibenak pikiran saya . Masalah mau masak apa buat nyuguhin ibu-ibu majlis taklim pada cara tersebut akhirnya saya berusaha santai sajalah…hitung-hitung ngunduh acara tersebut di rumah saya, sebagai alarm berkurangnya jatah usia dan rasa syukur karena masih diberi Allah kesempatan waktu untuk memperbaiki diri.

Di saat isi dompet menipis dan persediaan dapur terbatas otak mulai beputar, kira-kira enaknya mau masak apakah yang sesuai dengan sikon.

Eee..ndilalah (lagi-lagi) dua malam sebelumnya pakdhenya anak-anak dari Banjarmasin nyampe ke Bandung dan membawa titipan sekardus besar oleh-oleh dari budhe.

Oleh-oleh..???
Alhamdulillah…kalau namanya rizki memang terkadang “ Min haistu laa yahtasib..” tanpa disangka-sangka ! Begitu dibuka oleh-oleh dari budhenya itu, Masya Allah….isinya makanan-makanan khas Kalimantan. Ada krupuk ikan, kuku macan, ikan saluang goreng, ikan teri goreng, abon ikan..Allahu Akbar….
Budheee..budhe…terima kasih yaa …Kok kayak tau aja kalo saya lagi bingung mau nyuguhin tamu….ditambah tetangga saya yang amat berbaik hati menolong saya mempersiapkan semuanya.

Target dan doa di hari milad ? Duh… dengan kejadian seperti cerita di atas, betul-betul saya malu mau minta yang berlebihan pada Gusti Allah.
Sungguh ada suatu hikmah besar yang bisa saya ambil dari peristiwa tersebut yang harus selalu saya ingat, bahwa apapun situasi dan kondisinya jangan pernah lagi bagi diri saya untuk khawatir jika mau beramal baik.
Jangan meragukan akan rizki dari Allah se.. di.. kit.. pun…””

Akhir kata buat teman-teman, terima kasih atas semua perhatiannya tanpa terkecuali.
Moga silaturahim kita akan selalu terjalin sebagai sarana hablum minannaasi..sehingga kita akan lebih di beri kemudahan untuk mendapatkan ilmuNya, karuniaNya, inayahNya, serta hidayahNya dalam ber hablum- MinALLAAH...

Wa akhiru da’waahum ‘anil hamdulillaahi robbil ‘aalamiin…”


Bandung, 29042010

Bersamanya telah saya temukan ketentraman, cinta dan kasih sayang…..

Hari Minggu yang lalu salah satu sepupu perempuan dari suami menikah.
Sambil menunggu acara ijab kabulnya, saya yang menemaninya sempat bertanya, “Sudah berapa lama kenal calon suaminya..? Kenal dimana..? Berapa lama terus jadiannya..??
( Haha…. lumayan usil juga ya saya…nyadar sendiri.mode on)

Perasaan sih memang itulah pertanyaan-pertanyaan umumnya yang ditanyakan orang jika kita sudah ketemu jodoh. Jangankan sepupu yang akan jadi pengantin baru mendapat pertanyaan seperti itu, lha wong saya aja yang pengantin lama masih suka ditanya-tanya sama teman, tetangga, sama kerabat. Apalagi kondisi saya yang pindah-pindah mengikuti tugas suami. Maka punya teman baru lagi, tetangga baru lagi yang lalu menjadikan pertanyaan seperti itu terulang dan terulang lagi. Sampai kadang saya yang cuap-cuap bercerita merasa seakan memutar kaset itu-itu lagi. Tapi sungguh, saya tak pernah bosan untuk menceritakannya, juga akan semakin seru plus tambah semangatlah saya jika teman yang bertanya seringkali terbelalak penasaran dan penuh rasa heran jika saya menceritakan awal saya bertemu suami saya, hehe…( ‘ginilah kalo orang Palembang ‘kali ya...kadang cerita yang ringan saja bisa jadi heboh..)


Namun, seringkali di ujung cerita selalu saya sampaikan pada mereka-mereka yang terheran-heran, bahwa semua yang saya alami adalah semata karena campur tanganNya ALLAH, yang bersumber dari dahsyatnya berkah doa kedua orang tua saya.

Saya sendiri yang kemarin sempat ditanya salah seorang teman, doanya dulu apa kok bisa cepat dapat jodoh, dan minta tolong saya untuk mencatatkan doanya karena buat diamalkan adiknya.Yakin deh…saya sempat mengernyitkan dahi kebingungan. Karena sedikitpun saya dulu tak pernah muluk dan bermimpi yang neko-neko jika kelak mendapat jodoh. Saya hanya sempat curhat ringan dan canda-canda pada Ibu dan Ayah saya, bahwa kalau diizinkan Allah nantinya, saya pingin suami bukan orang yang satu daerah apalagi masih sanak famili. Maksudnya sih bisa pergi jauh kemana-mana biar tambah banyak saudara, jadi saudaranya tidak yang itu-itu saja. Lugu dan lucu ya…hehe Padahal sudah seperti jadi tradisi adat di daerah kami untuk saling menjodohkan anaknya dengan kerabat sendiri. Mungkin maksudnya baik karena telah sama-sama tahu persis kondisi antara keluarga masing-masing.

Seingat saya Ayah dan Ibu saya hanya tertawa menanggapi kelakar saya. Namun saya yakin Ibu dan Ayah saya waktu itu serta malaikat turut mengaminkan apa yang saya ucapkan.

Sehingga ketika teman saya tersebut bertanya apa doa saya sehingga bisa cepat dapat jodoh, membuat saya sedikit kembali menelusuri ke belakang. Benar, tak ada doa spesial yang saya minta pada Allah bagaimana nantinya jodoh saya. Saya hanya mengalir bagai air yang dengan bimbinganNya semata telah menemukan jodoh yang ternyata terjadilah semua sesuai dengan apa yang pernah saya utarakan pada orang tua saya.

Sstt..ada lagi nih yang malah bikin saya sendiri takjub akan karuniaNya Allah. Pernah terbersit dihati saya ingin suami saya itu orangnya sabar seperti ayah saya (yang tak pernah ada di memori saya beliau memarahi ibu saya ). Eh..Allah betul-betul Maha Teliti dan Mengetahui apa yang kita nyatakan pun apa yang kita sembunyikan. Sering hal ini saya ceritakan dengan ala guyon dihadapan anak-anak, “Ibu dulu pinginnya dapet suami sabar kayak almarhum Yai (kakek). Alhamdulillah Allah mengabulkan bahkan di luar pesanan ibu loh..Yang selalu membuat ibu berfikir akan bukti kekuasaan Ilahi, kok sampe andheng-andheng (tahi lalat) besar di jidatnya Ayah juga bisa sama ya sama Yai....” Hehe…Gusti Allah memang Maha Segala-galanya.

O ya, mungkin boleh mengingat sedikit, dulu salah satu sahabat dekat saya dari kecil pernah berkata kurang lebih begini, “Kita dak usah muluk-muluk laah ..kita dak mungkin dapet suami yang kerja kantoran. Abis pendidikan kita tidak tinggi sihh..orang yang kerja kantoran kan biasanya pinginnya istri yang sarjana…”

Jodoh sama halnya dengan kematian adalah “Sirrullaah”, benar-benar rahasia Allah dan merupakan tanda-tanda kebesaranNya. Yang mana kita sendiri tak bakalan mampu memprediksikannya. Target yang hendak kita capai akan impian seperti apa jodoh kita kelak bahkan kadangkala meleset jauh tak seperti yang kita harapkan.
Atau malah bisa jadi justru mendapatkan jodoh yang luar biasa, bahkan diluar dugaan kita juga bagi orang lain, sebab secara logika terkadang itu adalah hal yang tak mungkin dan mustahil. Sebagaimana halnya yang Allah karuniakan pada saya. Dengan jenjang pendidikan formal saya yang seadanya, Alhamdulillah, Allah mempercayakan saya jodoh yang teramat sangat luar biasa.

Suami tidak hanya dari suku, adat, tradisi dan bahasa yang tak sama bahkan jenjang gelar kependidikannyapun teramat jauh berbeda .

Suami yang telah menjadikan saya pintar dalam segala hal.

Suami yang dengan kehadirannya disisi saya telah membuat jalan bagi saya untuk lebih taqarrub, mendekatkan diri beribadah kepada Allah ta ‘ala.

Suami yang dengannya saya telah merasakan indahnya surga di dunia ( uppss…sengaja nih manas-manasin, khusushon yang belum nikah biar tambah kebelet deh..hehe..)

Suami yang dengannya Insya Allah saya akan selalu seiring sejalan dengan berbagai upaya dan usaha serta tak luput senantiasa berharap pertolonganNya untuk bisa menghantarkan tiga amanah, putra-putri kami, yang telah dititipkanNya menjadi manusia-manusia yang bermanfaat buat sesama dimanapun nantinya mereka berada.

Bandung, 10 Mei 2010..
--------------------------------------------------------------------------------
Mengenang Palembang, Jum’at, 10 Mei 1996….
Alhamdulillaah wa syukrulillaah. Saat itu dimulainya satu episode kehidupan saya yang baru, berdampingannya saya dengan seorang suami yang bersamanya telah saya temukan ketentraman, cinta dan kasih sayang…..

Sedikit tentang saya dan sakit..

Assalamu'alaikum........masih berusaha ingin berbagi cerita nih ke teman-teman,
walau harus mencuri waktu dan berusaha menyempatkan duduk barang beberapa menit di depan layar monitor. Namun Alhamdulillah, dengan badan dibawa buat ngetik-ngetik gini, lumayan terlupakan rasa ngeri plus tak tahan melihat orang-orang yang dekat di hati pada ambruk sakit.


Ya, di mulai dari ayahnya anak-anak yang minggu lalu terkena virus herpes. Walau berusaha semaksimal mungkin jangan sampai anak-anak tertular, tapi rupanya Allah masih sayang kita, karena si sulung, si Mas, enggak nyangka minggu kemarin panas tinggi sampai menggigil itu rupanya karena mulai tertular virus yang telah menyerang Ayahnya. Jadilah sekarang si Mas harus terbaring dan menerima menikmati libur dimasa-masa pengisian raport dengan sakit cacar airnya, disertai celotehan mengomentari wajahnya, "Waah..mas jadi ga cakep lagi ya..."

Kenapa bisa saya ngeri dan nyeri ya, wong sakitnya juga bukan suatu luka yang parah. Tapi bener deh, semua karena saya itu paling tidak tahan lihat luka, sekecil apapun luka yang saya saksikan di derita oleh orang-orang di dekat saya. Kalau luka itu saya alami sendiri, itu malah tak jadi soal. Justru saya termasuk orang yang, Alhamdulilah, bisa kuat dalam menderita sakit (boleh percaya boleh enggak deh..hehe..). Yaa...maksudnya kalo lagi sakit enggak manja lah. Bener…, di jamin..! Yah, namanya juga jadi ibu-ibu. Mungkin sudah pada paham, yang namanya seorang ibu itu enggak bakalan betah berlama-lama sakit.

Tapi untuk luka yang di alami orang lain, termasuk khususnya suami atau anak sendiri, wah, di jamin juga, cerita menjadi beda...!! hehe…. Saya kadang bisa sampe semaput loh. Apalagi kalo luka itu ada darahnya yang mengalir, hiii….. Entah deh, emang dah bawaan bayi kali ya, kalo anak atau suami sakit yang biasa-biasa saja saya sih masih bisa santai dan tidak panik. Tapi kalau ada lukanya, Ya Allaah.., saya bener-bener tidak tega dan merasa ikut merasakan sakitnya sampai jauu..h masuk ke dalam hati.

Sering di beberapa kejadian yang mungkin seperti sepele saja, tapi tetap deh, saya betul-betul tak bisa menahan kelemahan saya itu. Bahkan, dulu, pernah pada satu kejadian Ibu Mertua (almarhumah) meminta tolong di ambilkan duri yang menusuk masuk di jari tangannya (susuben, kata orang Jawa). Dengan memakai jarum pentul tak utak- atik duri yang masuk di jari tangan beliau. Hhmm..bukannya durinya jadi keluar malah pandangan mata ini, lama-lama ngelihat jari tangan Ibu kok menjadi kembar-kembar hehe.. Ibu mertua pun tertawa.
Si Mas pernah di tengah malam membangunkan saya karena mimisan dan darahnya telah ada di mana-mana. Eh..saya malah jadi langsung lemes. Atau juga saat melihat ia jatuh dari sepeda dan pulang dengan lututnya yang berdarah, melihat luka tetangga saya yang terkena knalpot motor dan pokoknya macem-macem lah kasusnya.

Yang paling menggelikan mungkin pas saya yang lagi 'nggaya, dengan semangatnya sebagai panitia, menonton proses anak-anak dikhitan pada acara sunatan masal di kantor Ayahnya. Dengan ‘nggayanya tadi saya mendekat dan berusaha untuk kuat hati. Waktu itu juga maksudnya sih kalo suatu saat nanti anak lanang saya yang di khitan, saya sudah siap melihat proses ‘modifikasi burungnya’ karena sudah terlatih hehe... Tapi akhirnya, kuatnya saya tak bertahan lama juga. Dari mata yang melihat langsung kerasa hatinya yang ikut engga enak, terus bibir mulai kerasa dingin dan kering, dan mulailah pandangan menjadi nanar…. Selanjutnya.? Haha..bisa di tebak sendiri laah...

Sama juga seperti kemarin-kemarin, saya pun lumayan harus menguatkan hati dan berusaha tidak mudah memasukkan ke dalam hati sekaligus menahan segala rasa nyeri di hati, ketika harus mengoleskan salep ke tempat titik-titik virus yang menyerang kepala plus wajah suami. Termasuk sekarang ini ditambah dengan membedaki si Mas yang bintik-bintik cacarnya semakin hari semakin besar dan menyebar penuh ke seluruh muka juga badan.

Nah, yang paling berkesan di dalam menambah kekuatan saya kala harus menghadapi kenikmatan sakitnya orang-orang yang di kasihi adalah, yakinnya saya bahwa semua yang terjadi itu, adanya semata karena Kasih Allah yang tak terkira pada keluarga kami. Dalam tafakkurnya saya, saya menemukan betapa Begitu Maha KasihNya Allah, ketika banyak keluarga yang lain di lingkungan perumahan kami pada terserang wabah DB alias demam berdarah dan harus opname di rumah sakit, yang pasti setidaknya menjadi kerepotan tersendiri karena harus bolak-balik Rumah Sakit. Sementara keluarga kami dengan CintaNya, Allah hanya memberi jatah sakit yang beda jauh dari wabah yang di alami beberapa tetangga.

Sakitnya Ayahnya anak-anak juga Si Mas, Alhamdulillaah cukup bisa saya rawat seadanya di rumah sendiri. Sehingga masih bisalah saya memperoleh rizki lain yang luar biasa yaitu kesempatan untuk tetap rutin mengaji ke masjid. Apalagi di minggu kemarin ustazd pengajiannya 'ndilalah (bi idznillah, kebeneran ) pada saat pengajiaan itu memberikan satu buah hadist Rasulullah SAW yang membuat saya jadi lebih tenteram dan berusaha menenteramkan suami dan anak-anak dalam sakitnya.

Jika pernah saya menukilkan hadist yang mengabarkan bahwa sakitnya seorang hamba, walau hanya tertusuk duri, itu adalah sebagai kifarat alias pelebur dosa. Maka pada saat saya ngaji kemaren itu, Pak Ustadz memberikan satu hadist lagi yang benar-benar tepat sasaran. Kata beliau Rasulullah SAW pernah bersabda,

“..Jika seorang hamba sakit kemudian ia ridha, maka Allah kelak akan mengantikan tulang darah kulit dan dagingnya dengan ganti yang lebih baik dari sebelumnya… “

Teriring doa semoga khususnya Ayah yang masih merasa cenut-cenut kepalanya sakit karena virusnya yang masih belum pergi seratus persen, juga si Mas yang lagi menahan. panas dan gatel-gatel karena cacar airnya, begitupun bagi kita semua, Insya Allah semua bisa menjadi hamba-hamba Allah yang Ridha atas segala karuniaNya berupa sehat maupun sakit, baik itu menimpa diri kita sendiri atau pada orang-orang yang kita cintai. Sehingga Allah berkenan melimpahkan keridhaanNya pula pada kita semua.

Amiin..Yaa Robbal ‘Alamiin…

Si Cantik.. gendut ..kriting.. ku sudah 10 tahun....

Farwa Mausali (Wawa, atau si Mbak, panggilan kesayangannya), putri saya yang kedua, sekarang baru duduk dikelas lima SD. Tapi berat badannya, hhmm... jangan ditanya, sudah mendekati berat badan ibunya.

Masih segar dalam ingatan ketika mengandungnya, Si Mas kakaknya yang sulung waktu itu baru berusia dua tahun setengah. Di setiap selesai shalat tanpa saya ajari dia akan khusyuk berdoa, " Robbii, kulo nyuwun adek yang cantik..Robbii, kulo nyuwun adek yang ndut... Robbii, kulo nyuwun adek yang keriting..."

Hehe..terus terang saya tidak hanya geli di saat dulu dia mengucapkan doa seperti itu. Sampai sekarangpun kalo mengingat doa kakaknya itu dan melihat fisik dari adeknya sekarang memang sesuailah apa yang ia mohonkan pada ALLAH. Cantik.. gendut ..kriting.. hehe...*sesuai pesanan*.

Namun itulah juga yang malah akhirnya selalu membuat orang tidak percaya bahwa saya yang mungil ini adalah ibunya. Dulu pernah beberapa kali kejadian kala usia bayinya ketika saya membawanya ke posyandu atau ketempat lainnya, dikira orang-orang saya ini pengasuhnya haha...* nasibb..*

Namun Alhamdulillaah, walau penuh dengan cerita keprihatinan saat mengandung dan proses melahirkannya, saya betul-betul bersyukur Allah telah percaya menitipkannya dengan sehat selamat dari semenjak dalam kandungan sampai ia dilahirkan. Bagaimana tidak prihatin, di saat kami sedang menetap di Jawa di saat ia berusia lima bulan dalam kandungan, saya harus menerima kabar mengejutkan bahwa Ibu saya yang berada jauh di pulau seberang dan telah hampir dua tahun berpisah, tiba-tiba meninggal dunia.

Saat itu serasa saya ingin langsung terbang untuk langsung menemui Ibu yang amat sangat selalu membuat hati ini rindu, tuk percaya bahwa Ibu telah terbaring kaku. Angan-angan untuk kembali ditemani didampingi saat melahirkan nanti sebagaimana waktu melahirkan Si Sulung musnah sudah...

Setelah kembali menetap di kampung halaman beberapa bulan kemudian, tanpa ibu saya lagi akhirnya saya dengan kondisi hamil besar terpaksa harus menjadi pribadi yang matang dan tak bisa lagi berkeluh kesah. Berjiwa kuat walau telah kehilangan sosok dimana biasanya menjadi tempat tumpahnya segala curahan hati. [ Oh..ibu..puncak dari rasa sesalku akan kurangnya bakti padamu adalah setelah tiadanya dirimu .....]

Lalu, lewatlah lagi keprihatinan berikutnya, dan jika mengingat ini saya hanya bisa mengambil hikmah tersendiri. Yaitu, ketika usia kandungan baru memasuki sembilan bulan, saya ingat malam Jum'at tepatnya, air ketuban rupanya membasahi tempat tidur. Dengan pengetahuan yang masih minim, karena setelah ketuban pecah saya tidak mengalami kontraksi, maka hal ini membuat saya agak nyantai dan menunggu dulu sampai shubuh untuk pergi ke bidan.


MASYA ALLAH… setelah diperiksa bidan subuh2 itu ternyata letak si bayi di perut telah melintang dan tak dapat dibetulkan lagi oleh bidan karena air ketuban telah habis. Bidan langsung memerintahkan kami ke rumah sakit agar proses melahirkan dilakukan dengan operasi cesar. Atas pertimbangan suami maka kami memilih rumah sakit umum agar dapat menggunakan fasilitas askes.

Harus di cesar ya...., saya cuma mampu berpikir seperti itu. Entahlah, saya waktu itu ternyata bisa tegar dengan apa yang harus saya hadapi. Tetapi lalu ada yang lain membuat saya agak was-was, mengapa harus melahirkan ke RSU? Saya telah mendengar banyak sekali cerita yang tidak enak tentang pelayanan di rumah sakit milik pemerintahan itu, apalagi kepada pasien askes untuk pegawai golongan rendah seperti suami saya.

Tapi saya pun berpikir kasihan suami kalau saya paksa membawa saya ke rumah sakit swasta yang lain. Maka saya tak boleh merengek ataupun lari dari semua yang harus saya hadapi. Jika memang ada harus memanfaatkan fasilitas sebagai anggota askes karena toh biaya persalinan yang kami siapkan memang seadanya karena tak menduga bakal di operasi, mau apa lagi..?


Alhamdulillah, dengan kasih sayangNya semata ternyata saya tak mengalami pelayanan buruk sebagaimana yang dibayangkan. Meski saya kasihan juga melihat suami berpayah-payah kesana-kemari dari berjaga semalam suntuk di luar halaman ketika saya masih dalam proses recovery, membeli obat, menengok si sulung di rumah dan menengok pekerjaannya ke kantor.

Akhirnya, saya hanya bisa bersyukur dan senantiasa bersyukur, tanpa adanya Inayah pertolongan dariNya manalah mungkin saya bisa melewati semua itu. Dan juga merasakan ending yang amat sangat luar bisa akan karuniaNya dengan kehadiran putri kami kedua ini . Alhamdulillaah, walau sempet terminun air ketuban dan berat badan ketika lahir yang hanya 2,25 kg tapi dia sehat, pertumbuhannya sungguh amat pesat. Betapa ada kepuasan yang tak terukir dengan kata-kata, enam bulan hanya minum ASI eksklusif, berat badannya terus bertambah. Saat usianya lima bulan di kartu KMS berat badannya ternyata telah melebihi garis hijau, sehingga Bu Bidan meminta saya mengurangi asupan makannya. Hehe…Bu Bidan tidak tahu padahal dia masih minum ASI doang. Disinilah juga letak saya merasakan dahsyatnya apa yang telah Allah ciptakan pada diri seorang ibu untuk memberikan makan pada bayinya hanya melalui air susu. Karena sepertinya kebanyakan ibu-ibu khawatir dan menganggap bayinya tidak cukup kenyang kalau hanya minum ASI.

si Mbak

Waktu terus berjalan, tak terasa genap sudah 10 tahun usia putri saya yang kedua ini, walau sebenarnya sih menurut penanggalan di tahun hijriah usianya sudah lebih dari sepuluh tahun. Tak ada kado istimewa yang saya berikan padanya hanya doa-doa dan harapan yang terhantar di bulan mulia inilah yang saya kirimkan, untuk menemani dan mengiringi perjalanan langkah kakinya menuju keridhaan ALLAH SWT. Bahagia di dunia dan akhirat. Catatan kecil ini juga mungkin bisa menjadi cerita indah nantinya untuk kembali bisa dia kenang.

Teriring harapan juga semoga si Mbak Wawa bisa memperoleh hikmah di balik semua proses yang terjadi hingga dia terlahir di muka bumi ini. Bahwasanya rahmat ALLAH SWT senantiasa akan meliputi hambaNya selama hambaNya memantapkan hatinya untuk memperoleh ampunan dan keridhaanNya. Sehingga tak ada lagi dosa melainkan ALLAH akan mengampuninya, Tak akan ada kesulitan melainkan ALLAH jualah yang akan melapangkannya. Tak ada hajat hambaNya yang DIA RIDHAI melainkan akan di tunaikanNya. Amiin…….

Bandung 16 Ramadhan 1431 H

Syawal 1431 H

Masih berada di bulan mulia Syawal 1431 H ini, izinkan saya tuk meminta maaf atas semua kesalahan baik-secara lahir lewat canda dan kata yang mungkin telah menyakiti hati, atau secara bathin yang tanpa sepengetahuan teman-teman telah atau pernah terbetik di hati mencela bahkan telah menjadikan saya bergunjing di belakang. Astaghfirullah..sekali lagi maaf dari teman-teman amat sangat saya harapkan.
Alhamdulillah setelah hilang semua lelah dan Allah kembali memberikan 'afiaat kesehatan setelah mudik lebaran, saya baru bisa menyapa teman-teman di sini.Sungguh satu minggu dari pulang kampung adalah waktu yang maksimal untuk penyesuaian hidup kembali normal karena telah kembali ke dunia nyata. Maklum dan biasa lah...setiap lebaran dan pulang kampung, sepertinya itu merupakan suatu cerita hidup yang bagaikan mimpi sekejap ketika bisa liburan ketemu sanak saudara.

Kalo cerita ringan dari saya pas mudik ke kampung suami gini nih, rasanya ada rasa berbunga lo jika ada yang berkata "Waah tambah cantik sekarang ya...dah seneng ya tinggal di Bandung.." Haha..maklum manusiawi lah kalo namanya dipuji ya seneng rek..:). Atau ada juga yang kasih komen, " Kok ga gendut-gendut sihh.. Keciill aja ??" Haha....kalo yg komen kayak gini saya paling cuma bisa senyam-senyum dan saya jawab, " Wahh saya memang ndak bakat gendut kok.." : ) Rupanya di kampung masih menganggap gendut itu lambang kemakmuran. Jadi buat teman-teman yang sekarang dah berbadan subur malah harus bersyukur loh...Habis kalo dietnya sukses dan pulang kampung dengan badan yang ramping nanti mungkin bisa jadi dikira orang-orang yang ada di kampung kita, kita ga bahagia hidupnya di kota dan lebih parah dikiranya kita penyakitan malah hehe...
Oya saya juga mungkin bisa bagi cerita ke teman-temen dan anggap aja ini curcol ( curhat colongan ) saya. Ssstt..saya itu ternyata mengalahkan rekornya Bang Toyib yang tiga kali lebaran tidak pulang-pulang. Karena saya lima tahun loh tidak pulang-pulang Palembang. Lima tahun..!! Maka berulang selama lima tahun pula saya selalu berlebaran di Jawa di kampungnya suami. Sampai-sampai saudara saya di Palembang bilang kalo tukang sayur langganan saya dulu di sana bertanya apa saya tu sudah sampai melupakan kampung halaman sendiri, hehe...
Sungguh sebenarnya saya kepingin untuk pulang kampung sendiri. Minta izin suami dengan merengek atau membujukpun sebenarnya bisa saya lakukan sebagai senjata tuk mengabulkannya. Tapi setiap kali akan memasuki bulan Ramadhan atau pada saat liburan kenaikan kelas anak-anak sekolah, yang namanya mertua selalu lebih dulu melalui telepon menanyakan, kapan mudiknya, kapan pulangnya ke Jawa. Nah, Inilah yang membuat suatu pertimbangan khusus bagi saya dan pada akhirnya mengesampingkan keinginan pulang kekampung halaman saya sendiri. Lagipula memang Ayah dan Ibu saya sendiri sudah lama tiada, berpulang dan beristirahat di alam barzakhnya (..Allahumma Amiin....).
Sebenarnya kemarin di lebaran kali ini begitu memuncak hasrat saya tuk bisa duduk bersimpuh di makam Ayah dan Ibu, jumpa sanak saudara dan teman-teman yang sudah lama saya rindu. Suami juga telah menawarkan apakah kali ini saya ingin berlebaran di Palembang.Tapi kembali telepon yang saya terima masih di awal Ramadhan kemarin dari Mbahnya anak-anak yang menanyakan kapan pulang ke Jawa membuat saya tidak tega. Alhamdulillah, saudara-saudara saya disanapun amat sangat mengerti. Dan dengan pengertian dan dukungan mereka pula saya kembali mantap tuk mengurungkan niat tersebut.
Sedikit titip pesan keteman-teman, pernah di pengajian yang saya ikuti, dikatakan kalo di dalam surga nantinya ada aksesoris yang disediakan untuk anak-anak yang berbakti pada orang tuanya ketika mereka masih hidup. Rasulullaah SAW pun bersabda yang intinya, "Rugi dan celakalah kita ketika orang tua kita masih hidup tapi kita tidak berbakti pada keduanya". Na 'uudzubillah min dzaalik...
Orang tua...

Yaa... sepertinya merekalah perekat anak-anak yang masing-masing telah terpisah di belahan bumi ini dengan berbagai aktivitas untuk berkumpul di hari Raya. Orang tua.. adalah Magnet yang teramat luar biasa yang menyedot semua energi kita sehingga rela menempuh jarak yang jauh dengan berbagai cerita perjalanan yang terkadang tak mudah karena harus bermacet ria. Sedih dan kerinduan yang membuncah karena telah kehilangan Ibu atau Ayah kita akan amat terasa ketika hari raya tiba.
Saya hanya berharap semoga Allah senantiasa menjaga keikhlasan serta menjauhkan hati ini untuk tidak tercemar sedikitpun dari niat yang tidak baik. Sehingga menjadikan apa yang telah kita lakukan dengan mudik pada hari raya kemarin selayaknya sebagai suatu tanda bakti suci, cinta kasih tak berpamrih sebagaimana yang telah diberikan oleh orang tua kita dulu. Dan hanya itulah sedikit wujud bakti tulus yang mampu kita persembahkan pada orang tua sebelum mereka atau bahkan kita yang terlebih dahulu tutup usia.
Teriring doa....
Allaahummaghfirlanaa waliwaalidainaa war hamhumaa kamaa robbayaanaa soghiiroo..
Allaahummaj 'alnaa minal 'aa idhiin..wal faa izhiin...
a 'Aadahullaahu 'alainaa bissa 'aadati walkhairi warrafaahiyah.
Wakullu 'aamin wa nahnu bikhair.....
Amiin Yaa Robbal 'Aa lamiin...
----------------
Bandung, 13 syawal 1431 H.

Rasa syukur serta ikhlas tak boleh berhenti hanya karena suasana yang berganti...

Alhamdulillaah...tak terasa lebih empat bulan telah terlewati bagi saya menikmati waktu, hidup terpisah dari Ayahnya anak-anak yang pindah tugas kerja di seberang pulau sana. Kalau suami dengan kondisinya yang hidup sendirian di sana bisa di sebut bujang lokal, lha kalau saya kemarin melalui telepon malah di ledek oleh salah seorang bulik saya dengan sebutan janda lokal... hahaha... Bulik..Bulik..teganya... Kirain padanan kata yang tepat untuk bujang lokal kan harusnya gadis lokal. Yo wis, gimana lagi... harus diterimalah, mengingat dengan adanya buntut tiga manalah mungkin saya di sebut gadis hehe...Dan, untuk sementara ini, memang kasihan anak-anak yang nanggung sekali kalau di ajak boyongan. Jadi kita harus sabar menunggu anak-anak menyelesaikan tahapan di semester pertamanya dulu.

Minggu ini harusnya jadwal pulang ayahnya anak-anak, tapi kemarin Ayahnya nelepon bilang kalau kayaknya tidak bisa pulang karena ada jadwal rapat di akhir pekan ini dan awal pekan depan. Kecewa dan sedih... ??? Jelaaas... !!! Huh, alamat jerawat bakalan muncul nih.. akibat rindu tertunda tersalurkan.... eitss..punteun..punteun...hehe..

ASTAGHFIRULLAAH..... memang terus terang padahal beberapa hari ini saya betul-betul mengalami dehidrasi ketenangan jiwa. Sampai-sampai ingin mengubah apa yang telah di rencanakan awalnya. Kemarin saya sampai berusaha mencoba mengurus surat pindah sekolah Si Sulung yang paling jadi pertimbangan kami. Walau di awal-awal keputusan kami ini banyak teman-teman yang bisa memaklumi, tapi ada juga yang terheran-heran dan menanyakan kok bisa saya bertahan menunggu anak-anak selesai semesteran. Kan, bisa saja anak-anak langsung di bawa pindah. Katanya, kalau dia diposisi saya, dia akan memilih langsung ikut pindah. Toh, anak-anak itu lebih mudah beradaptasi ketimbang orang dewasa.

Apa benar begitu ya...? Tapi ternyata beberapa masukan dari teman seperti ini pun sempat bikin saya goyah dari rencana semula. Ingin rasanya tak menunda, ikut langsung sekarang juga menyusul ayahnya tanpa harus repot-repot memikirkan sisi psikologis anak-anak tentunya. Namun melalui pertimbangan di hati ini kembali, sungguh kami belum tega memaksa anak-anak tercerabut dengan tiba-tiba dari dunia teman dan sekolahnya dan mengikuti apa yang sesuai dengan ego kami sebagai orang tua.Di situasi keputusan yang telah kami sepakati, sayapun merasa memang banyak faktor membuat saya kuat bertahan tak langsung ikut pindah . Bukan hanya sekolah anak-anak yang jadi alasan, lingkungan yang telah nyaman, teman-tetangga yang baik, tetapi juga beragam kegiatan menuntut ilmu yang diadakan di masjid lingkungan saya tinggal adalah rangkaian karunia Allah yang tak akan pernah saya dustakan. Sehingga begitu berat dan sayang rasanya kalau semua itu saya tinggalkan begitu saja.

Di situasi yang lain, ketika hari-hari berprosesnya diri ini karena saya harus melewatinya tanpa kehadiran suami maka salah satu paling terkena imbas adalah Mang Diding, tukang sayur langganan, karena selera memasak saya tak lagi seheboh kalau Ayahnya anak-anak ada di rumah hehe... Sampai anak-anak bahkan pernah sempet protes " Kok ibu masaknya gini-gini aja..."Entah ya....harus saya akui suami adalah penyemangat saya dalam setiap hal. Maka ketika suami jauh, duuh...tidak hanya semangat masak yang menurun. Tapi sampai buka fb juga rada males. Menulispun saya seakan-akan tak punya bahan yang mau dituliskan. Pulang dari mengantar Ayahnya pertama kali berangkat pindah tugas saja, hhmm... memasuki rumah serasa sudah beda saja suasananya.
** Makanya sungguh saya salut pada teman-teman yang kuat karena terpaksa bertahun-tahun harus hidup berjauhan dari suaminya....

Di tengah saya terkadang mengalami penurunan semangat itu, Alhamdulillah, Allah senantiasa menurunkan berbagai kejadian yang menjadikan rasa syukur serta ikhlas saya tak boleh berhenti hanya karena suasana yang berganti.Salah satunya ketika tetangga saya mengatakan, " Gimana bu rasanya ditinggal lama Bapaknya..?? Sabar aja ya bu... anggap sebagai latihan kalau besok di tinggal Bapak selamanya" Huuff !!! Sempet merasa omongan teman saya itu sebagai suatu yang menohok di jiwa. Tapi tak bisa saya pungkiri bahwa apa yang dikatakannya benar adanya. Yaa..justru ucapan darinya itu menjadikan saya berpikir jauh, "Iyaa ya..Alhamdulillah saya cuma di tinggal jauh dan cuma sementara, bukan ditinggal suami selama-lamanya..Duuh Gusti... "

Latihan kata teman saya, tapi sungguh latihan yang tak mudah, karena dibutuhkan pengendalian dan kematangan jiwa. Nah, memasuki bulan mulia Dzulhijjah ini, ada sebuah renungan buat saya dari materi khutbah 'Idul Adha tahun lalu di lapangan komplek perumahan tempat saya tinggal yang dibawakan oleh dr. DR Tauhid, seorang ustadz yang dikenal luas di Bandung. Berikut ini sebagian kecil kutipannya:

Adalah sebuah proses napak tilas perjuangan sebuah keluaga kecil yang " family core value"nya adalah IKHLAS. Keluarga kecil ini adalah keluarga Nabi Ibrahim AS. Membayangkan betapa beratnya beban yang harus diemban Siti Hajar yang harus hijrah ke lembah Baqa bersama anaknya yang baru saja di lahirkan, Nabi Allah Ismail AS. Sesampainya di sana mereka berdua di tinggal dan harus berusaha untuk bertahan hidup di tengah kerasnya lingkungan geografis lembah yang kelak dikenal sebagai kota Mekah.

Kecerdasan Siti Hajar jelas tergambar dalam ketenanganya mengevaluasi kondisi geologis lembah Mekah dan berfokus untuk mencari air di antara bukit shafa dan Marwah.Keistiqomahannya teruji ketika ia tak berputus asa dan pantang menyerah serta terus melantunka doa : " Robbanaa anzilnaa munzalan mubaarokan wa anta khoirul munziliin", sebuah doa yang penuh dengan harapan dan menggambarkan optimisme yang sangat tinggi. Konsep ini adalah konsep dasar "trust" atau keyakinan akan Rahmat Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Sebuah fondasi penting dalam kontruksi akidah seorang muslim.

Dan hasil renungan dari kutipan khutbah 'Idul Adha tersebut adalah membuat saya, malu..malu..dan malu. Betapa masih jauh rasa Ikhlas juga keyakinan saya akan rahmat Allah SWT, terlebih dalam setiap detail kejadian dalam hidup ini. Alangkah masih lemahnya kontruksi akidah saya. Belum lagi melalui kehendak Allah atas musibah Gunung Merapi, Mentawai dan Wasior. Sebagai bahan tafakur juga ketika menyaksikan ribuan korban yang mau tak mau mereka harus survive dengan kejadian ini. Betapa sering kali banyak kejadian yang tak mudah kita pahami namun semua tidak juga sulit untuk dimengerti manakala menyadari bahwa semua adalah KuasaNya.

Dan rasanya akan damai dan takkan menurun rasa ketenangan jiwa, jika mampu mengelola hati. Semestinya bahwa bukan lah suasana yang harus diganti tapi rasa yang perlu untuk selalu diperbaiki sehingga syukur akan senantiasa terpatri.

Bandung, Jum'at 5 Dzulhijjah 1431 H...