24 Oktober 2009

DIBALIK FENOMENA FACEBOOK




Memforward email berantai dari teman, tentang satu dari efek fenomena facebook :

------------------------------------------------------------------------------------
DIBALIK FENOMENA FACEBOOK

Ketika seorang celebritis dengan bangga menjadikan kehamilannya di luar pernikahan yang sah sebagai ajang sensasi yang ditunggu-tunggu …’siapa calon bapak si jabang bayi?’
Ada khabar yang lebih menghebohkan, lagi-lagi seorang celebrities yang belum resmi berpisah dengan suaminya, tanpa rasa malu berlibur, berjalan bersama pria lain, dan dengan mudahnya mengolok-olok suaminya.
Wuiih……mungkin kita bisa berkata ya wajarlah artis, kehidupannya ya seperti itu, penuh sensasi.Kalau perlu dari mulai bangun tidur sampai tidur lagi, aktivitasnya diberitakan dan dinikmati oleh publik.
Wuiiih……ternyata sekarang bukan hanya artis yang bisa seperti itu, sadar atau tidak, ribuan orang sekarang sedang menikmati aktivitasnya apapun diketahui orang, dikomentarin orang bahkan mohon maaf ….’dilecehkan’ orang, dan herannya perasaan yang didapat adalah kesenangan.
Fenomena itu bernama facebook, setiap saat para facebooker meng update statusnya agar bisa dinikmati dan dikomentarin lainnya. Lupa atau sengaja hal-hal yang semestinya menjadi konsumsi internal keluarga, menjadi kebanggaan di statusnya. Lihat saja beberapa status facebook :
Seorang wanita menuliskan “Hujan-hujan malam-malam sendirian, enaknya ngapain ya…..?”——kemudian puluhan komen bermunculan dari lelaki dan perempuan, bahkan seorang lelaki temannya menuliskan “mau ditemanin? Dijamin puas deh…”
Seorang wanita lainnya menuliskan “ Bangun tidur, badan sakit semua, biasa….habis malam jumat ya begini…:” kemudian komen2 nakal bermunculan…
Ada yang menulis,
“ bete nih di rumah terus, mana misua jauh lagi….”,
-kemudian komen2 pelecehan bermunculan.
Ada pula yang komen di wall temannya
“ eeeh ini si anu ya …., yang dulu dekat dengan si itu khan? Aduuh dicariin tuh sama si itu….” —-lupa klu si anu sudah punya suami dan anak-anak yang manis.
Yang laki-laki tidak kalah hebat menulis statusnya
“habis minum jamu nih…., ada yang mau menerima tantangan ?’
-langsung berpuluh2 komen datang.
Ada yang hanya menuliskan, “lagi bokek, kagak punya duit…”
Ada juga yang nulis “ mau tidur nih, panas banget…bakal tidur pake dalaman lagi nih” .
Dan ribuan status-status yang numpang beken dan pengin ada komen-komen dari lainnya.
Dan itu sadar atau tidak sadar dinikmati oleh indera kita, mata kita, telinga kita, bahkan pikiran kita.
Ada yang lebih kejam dari sekedar status facebook, dan herannya seakan hilang rasa empati dan sensitifitas dari tiap diri terhadap hal-hal yang semestinya di tutup dan tidak perlu di tampilkan.
Seorang wanita dengan nada guyon mengomentarin foto yang baru sj di upload di albumnya, foto-foto saat SMA dulu setelah berolah raga memakai kaos dan celana pendek…..padahal sebagian besar yg didalam foto tersebut sudah berjilbab
Ada pula seorang pria meng upload foto seorang wanita mantan kekasihnya dulu yang sedang dalam kondisi sangat seronok padahal kini sang wanita telah berkeluarga dan hidup dengan tenang.
Ada seorang karyawati mengupload foto temannya yang sekarang sudah berubah dari kehidupan jahiliyah menjadi kehidupan islami, foto saat dulu jahiliyah bersama teman2 prianya bergandengan dengan ceria….
Rasanya hilang apa yang diajarkan seseorang yang sangat dicintai Allah…., yaitu Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, Rasulullah kepada umatnya. Seseorang yang sangat menjaga kemuliaan dirinya dan keluarganya. Ingatkah ketika Rasulullah bertanya pada Aisyah Radiyallahu Anha
“ Wahai Aisyah apa yang dapat saya makan pagi ini?” maka Istri tercinta, sang humairah, sang pipi merah Aisyah menjawab “ Rasul, kekasih hatiku, sesungguhnya tidak ada yang dapat kita makan pagi ini”. Rasul dengan senyum teduhnya berkata “baiklah Aisyah, aku berpuasa hari ini”. Tidak perlu orang tahu bahwa tidak ada makanan di rumah rasulullah….
Ingatlah Abdurahman bin Auf Radiyallahu Anhu mengikuti Rasulullah berhijrah dari mekah ke madinah, ketika saudaranya menawarkannya sebagian hartanya, dan sebagian rumahnya, maka abdurahman bin auf mengatakan, tunjukan saja saya pasar. Kekurangannya tidak membuat beliau kehilangan kemuliaan hidupnya. Bahwasanya kehormatan menjadi salah satu indikator keimanan seseorang, sebagaimana Rasulullah, bersabda,
“Malu itu sebahagian dari iman”. (Bukhari dan Muslim).
Dan fenomena di atas menjadi Tanda Besar buat kita umat Islam, hegemoni ‘kesenangan semu’ dan dibungkus dengan ‘persahabatan fatamorgana’ ditampilkan dengan mudahnya celoteh dan status dalam facebook yang melindas semua tata krama tentang Malu, tentang menjaga Kehormatan Diri dan keluarga.
Dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menegaskan dengan sindiran keras kepada kita
“Apabila kamu tidak malu maka perbuatlah apa yang kamu mau.” (Bukhari).
Arogansi kesenangan semakin menjadi-jadi dengan tanpa merasa bersalah mengungkit kembali aib-aib masa lalu melalui foto-foto yang tidak bermartabat yang semestinya dibuang saja atau disimpan rapat.
Bagi mereka para wanita yang menemukan jati dirinya, dibukakan cahayanya oleh Allah sehingga saat di masa lalu jauh dari Allah kemudian ter inqilabiyah – tershibghoh, tercelup dan terwarnai cahaya ilahiyah, hatinya teriris melihat masa lalunya dibuka dengan penuh senyuman, oleh orang yang mengaku sebagai teman, sebagai sahabat.
Maka jagalah kehormatan diri, jangan tampakkan lagi aib-aib masa lalu, mudah-mudahan Allah menjaga aib-aib kita.
Maka jagalah kehormatan diri kita, simpan rapat keluh kesah kita, simpan rapat aib-aib diri, jangan bebaskan ‘kesenangan’, ‘gurauan’ membuat Iffah kita luntur tak berbekas.

catatan :

***”Iffah (bisa berarti martabat/kehormatan) adalah bahasa yang lebih akrab untuk menyatakan upaya penjagaan diri ini. Iffah sendiri memiliki makna usaha memelihara dan menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak halal, makruh dan tercela.”

Semoga kita dijauhi dari perbuatan yang menjauhkan kita dari ajaran Agama.Amin

Semoga Bermanfaat....

-------------------------------------------------------------------------------------

Begitulah isi email berantai itu. Bagaimana pendapat anda...???

18 Oktober 2009

Jalur Alternatif Garut-Kadungora-Cijapati-Bandung



Sudah sejak lama saya berkeinginan menjelajahi jalur alternative Garut-Kadungora-Cijapati-Majalaya-Bandung. Hal ini disamping memang kegemaran saya mencari jalur-jalur alternative baru di jalan yg biasa saya lalui, saya juga ingin mendapat solusi seandainya terjadi kemacetan panjang di jalur utama Nagreg karena saya paling tidak suka terjebak macet. Bagi saya lebih baik jalan lebih jauh dan memutar tetapi tetap berjalan dengan minimal kecepatan normal daripada tetap di jalur semula yang berjalan dengan merayap.
Jadi keinginan saya tersebut ternyata kesampaian ketika pulang balik dari mudik lebaran tahun ini. Sebelumnya saya telah mengumpulkan banyak informasi tersebut melalui internet. Dan informasi yang paling berperan adalah bagi saya citra satelit yang disediakan secara gratis oleh wikimapia.org dan google maps. Dari citra satelit tersebut saya memperoleh gambaran, meskipun sifatnya seperti datar wong dari angkasa, yang sebenarnya mengenai kondisi dan bentangan alam yang ada, sehingga saya bias mengira-ira jalur mana yang akan saya tempuh nanti , seberapa jauh, apa ancar-ancarnya dan sebagainya.
Begitulah, dalam perjalanan balik ke Bandung setelah mudik lebaran di jawa itu sejak awal memang sudah saya rencanakan untuk tidak melewati Ciawi, Malangbong dan Nagreg seperti umumnya, tetapi saya akan melewati jalur Ciamis-Tasikmalaya-Singaparna-Garut, kemudian lewat jalur alternative Kadungora-Cijapati. Saya berangkat dari kampong dini hari Minggu. Perjalanan sampai dengan Ciamis lancer padahal pada saat itu diperkirakan arus puncak balik terjadi. Kepadatan mulai terasa setelah Ciamis terlewati, karenanya saya merasa tepat mengambil langkah belok kiri menuju Tasikmalaya-Garut.
Dan kenyataanna jalur Tasik-Garut memang biasa keramaiannya sehingga saya bias berhenti sholat dhuhur di masjid besar Singaparna. Kemudian perjalanan dilanjutkan dan saya putuskan istirahat sebentar sekalian makan sore (karena untuk makan siang sudah terlambat) di suatu rumah makan di luar kota Garut. Setelah jam mennjukkan pkul setengah lima perjalananpun dilanjutkan.
Sesaat kemudian sampaiah kita di Kota Kadungora ,sebuah kota kecamatan yg berjarak sekitar 10 km setelah kota Garut. Dan setelah melompati rel kereta api saya sampai di sebuah pertigaan yang terpampang petunjuk arah jalur alterrnatif Cijapati. Kebetulan saat itu beberapa petugas polisi mengarahkan kendaraan pemudik untuk lebih baik melewati jalur Cijapati daripada Nagreg karena telah terjadi kemacetan di sana.
Segera saya belokkan stir ke kiri dan mengikuti jalan itu. Ada beberapa mobil di depan dan di belakang yg sedikit membuat saya nyaman karena ada teman. Jalannya mulus sekali dan tidak terlalu lebar sekitar 5 meteran tetapi juga tidak terlalu ramai. Rumah-rumah dan kampong masih berderet di sepanjang jalan. Kebetulan dari citra satelit dari Google Earth, ruas dari Kadungora sampai dengan perbatasan Kabupaten Bandung masih menggunakan citra resolusi rendah shingga saya tidak memperoleh gambaran sama sekali mengenai situasi jalan ini. Berbeda dengan ruas yang di Kab. Bandung telah disediakan citra resolusi tinggi sehingga saya sudah banyak mempelajari jalur tersebut sebelumnya.


Setelah melewati jalur rel kereta api (jalur rel KA Cibatu-Garut), jalan mulai menanjak dan terdapat sebuah pertigaan dengan pos polisi. Di pertigaan tersebut kita belok ke kanan dan ternyata di situlah awal mulanya tanjakan di jalur Cijapati yg sering saya dengar itu. Di beberapa titik mobil mengantri menaiki tanjakan itu karena memang lebar jalan yg sempit dan khawatir tidak cukup ada jarak bila mobil di depannya tidak kuat menanjak.
Kalau anda sudah pernah mengenal tanjakan ketika menuju kawasan Dieng Plateau di Jawa Tengah, maka ternyata jalur tanjakan CIjapati ini memiliki kemiripan, hanya ternyata jaraknya yang lebih panjang. Karenanya memang benar untuk melewati jalur ini, mobil kita harus benar-benar bagus kondisinya setidak-tidaknya memiliki tenaga cukup, kopling tak bermasalah, rem tangan yang berfungsi baik dan kondisi pendinginan mesin yang bagus.
Dan ketika kira-kira di pertengahan tanjakan itu saya melihat banyak orang berjalan kaki menyusuri tepi jalan. Saya pikir tadinya ada keramaian apa, tetapi setelah mencapai pundak tanjakan baru saya ketahui bahwa orang-orang yang berjalan tadi adalah para penumpang mobil angkutan umum atau angkutan pribadi sejenis carry pick-up, baik yang bak terbuka atau station wagon, yang rupanya harus menurunkan penumpangya terlebih dahulu agar kuat menaiki ruas tanjakan terakhir. Kasihan para penumpang itu ya, apalagi saya lihat beberapa diantaranya orang tua dan berbadan besar (gemuk).
Akhirnya sampai juga saya di ujung tanjakan itu. Berada di puncak jalur Cijapati menjelang matahari terbenam kemudian menjadi terasa menyenangkan karena pemandangan alam kea rah lembah Bandung menyajikan pemandangan senja yang indah. Selanjutnya jalur jalan terus menurun dengan landai ditingkahi dengan sekali-kali tanjakan pendek. Jalur berkelak-kelok banyak sekali sehingga kesempatan menyalip kendaraan di depannya sungguh sempit. Di kanan kiri jalan perkampungan penduduk sudah ramai bahkan di beberapa titik banyak terdapat warung-warung makan kecil lesehan seperti di jalur Tangkuban Perahu – Ciater. Jadi tidak sesepi yang saya bayangkan sebelumnya.
Ketika jalur telah lurus dan mendatar berarti sudah mendekati pertigaan Majalaya-Cicalengka. Dari petigaan tersebut kalau kita berbelok ke kiri berarti kita menuju Cicalengka dan bergabung lagi dengan jalur utama masuk kota Bandung sebelum Cileunyi. Sedangkan kalau berbelok ke kiri berate menuju kota Majalaya tetapi juga terdapat jalur alternative menuju kota Bandung tanpa harus melewati Cicalengka-Cileunyi. Dan saya memutuskan untuk mengambil belokan ke kiri meneruskan petualangan berikutnya melewati jalur alternatif Majalaya-Bandung……

16 Oktober 2009

Biarlah dianggap kuper dan tak tahu gosip terkini...


Ahhh..., rasanya lama sudah tidak berbagi cerita, padahal begitu banyak dikepala ini yang ingin saya pindahkan dalam tulisan.
Alhamdulillaah dan saya senantiasa berlindung pada Allah, semoga apa yang pernah saya tulis atau sekarang cerita yang akan saya tulis tidak di barengi dengan rasa kesombongan diri. Semua semata hanyalah berharap ridho Allah SWT.

Karena, terus terang, untuk kembali memulai menulis sekedar berbagi cerita, kadang muncul di dalam pikiran terngiang-ngiang ucapan ustazdah saya manakala saya sampaikan kepadanya bahwa saya di Facebook atau di blog suka menulis cerita untuk sekedar berbagi pengalaman. Ustadzah itu menanggapi dengan mengatakan bahwa dakwah yang baik itu memang ada yang melalui kisah yang penuh hikmah. Tapi lebih bagus jika ceritanya tidak menyangkut tentang diri sendiri, tapi cerita-cerita dari para orang-orang yang sholeh terdahulu, karena dikhawatirkan jika cerita yang di sampaikan itu tentang diri sendiri mungkin ada yang bisa menangkap hikmah dibaliknya, tapi bisa jadi ada sebagian yang menganggap itu sebagai suatu kesombongan saja.

Pernah hal yang mengganjal ini saya utarakan kepada salah satu teman saya, dan dia tetap memberi semangat pada saya untuk tetap menulis,
karena menurutnya justru sebenarnya ada hal-hal di sekitar kita sekarang yang justru bisa kita ambil hikmahnya, dan dia menyampaikan jika ada yang saya tulis nantinya berbau kesombongan maka teman-teman yang lain yang membaca bisa mengkritik atau menegur saya.
Dan memang itulah yang saya harapkan, kepada teman-teman untuk bersedia menegur jika di dalam tulisan-tulisan saya nantinya ada yang tidak berkenan di hati. Jauh di lubuk hati saya merasa sangat dhoiif, merasa lemah, untuk bisa dikategorikan atau layak untuk disebut apa yang saya tulis sebagai dakwah karena sayapun masih banyak kekurangan. Saya hanya ingin kita bisa sharing, saling berbagi dan saling mengingatkan agar bisa kita terus menerus berusaha memperbaiki kualitas diri.

Alhamdulillaah dan rasa terima kasih saya yang tak terkira atas support sebagian dari teman-teman khususnya bulik-bulik tersayang, yang ketika bertemu di liburan lebaran kemarin baru saya ketahui bahwa diantara berbagai kesibukan beliau-beliau telah berkenan menyempatkan membaca note-note yang saya tulis. Itu membuat saya merasa seakan-akan beliau-beliau menantikan tulisan-tulisan saya ( hehehe...ge-er juga nih akhirnya...tapi dikit kok...)

Mungkin cerita saya untuk kali ini juga bisa berkenan, walau agak tidak fresh tapi mungkin ada baiknya jika cerita ini saya tulis. Karena bisa dikatakan ini adalah rasa trauma saya yang merasakan guncangan gempa Tasikmalaya beberapa waktu lalu. Tapi trauma saya mungkin agak berbeda dari yang lainnya, sebelum terjadi gempa sore hari di bulan Ramadhan lalu, sekitar beberapa menit sebelum kejadian saya yang belum memulai aktivitas memasak untuk berbuka karena bisanya setelah sholat ashar baru saya akan ke dapur. Dan dikarenakan waktu yang agak luang menunggu ashar itu muncullah yang namanya hawa nafsu. Saya ingin sekali menonton TV dengan disertai kata hati, "Wah, sudah lamaaaa banget tidak lihat acara infotaiment di TV, kira kira berita gosipnya apa ya sekarang ini biar ga kuper-kuper amat".

Lalu tangan inipun langsung tanpa basa basi memencet tombol televisi dan mencari channel yang menayangkan acara infotaiment, tapi belum beberapa menit saya mengikuti acara tersebut saya gelisah dan berkatalah kata hati ini kembali (mungkin jika di imajinasi atau film anak-anak selalu digambarkan kata hati saya yang pertama mungkin bisa berbentuk setan yang berbaju hitam dan bertampang seram atau peri jahat yang bergaun hitam sebagai perlambang kata hati yang membisikkan untuk berbuat jahat, dan untuk kata hati satu lagi yang muncul adalah berbentuk malaikat yang berbaju putih dan tampan atau ibu peri cantik bergaun putih bersayap kupu-kupu yang suka membisikkan untuk berbuat baik, hehe.. ). Kata hati yang baik itu adalah, "Halah... kok puasa-puasa gini, bulan Ramadhan yang penuh berkah malah nonton acara gosip yang ga ada manfaatnya, kenapa ngisi waktu dengan hal yang sia-sia? Mending ngaji aja menunggu sampai waktu ashar tiba".

Dan Alhamdulillaah dengan membenarkan kata hati yang muncul belakangan ini saya spontan mematikan televisi dan langsung berwudlu, memakai kerudung, mengambil kitab suci Al-Quran dan mulailah saya membaca dengan perlahan, tapi baru dua ayat yang saya baca, tiba-tiba...drrrr.....!!! Plafon rumah bergemuruh seakan mau roboh . Sesaat saya hanya bisa menengadah dan mengira-ngira, "Ga biasanya ada kucing diatas plafon ya..." Tapi begitu pandangan saya alihkan ke lantai, Masyaa Allaah...lantai itu seperti bergelombang dan seketika sadarlah saya bahwa gempa, dengan sigap saya menggendong si kecil Adek yang sedang main di lantai dan berlari keluar..!!

Di jalan depan rumah semua tetangga telah keluar berkumpul sambil mengucap asma Allah. Setelah guncangan itu berlalu kami baru menyadari bahwa masing-masing dari kami mempunyai cerita sendiri-sendiri. Ada tetangga saya yang sedang masak lupa mematikan kompornya sehingga dengan penuh ketakutan harus masuk rumah lagi untuk mematikan kompor. Dan rata-rata dari mereka dikarenakan panik yang amat sangat sampai-sampai untuk membuka kunci pintupun menjadi suatu hal yang sulit (dan dalam hal ini sayapun termasuk beruntung juga karena pintu rumah saya jarang saya kunci bahkan selalu terbuka karena si Adek yang suka keluar masuk bermain). Ada juga yang lupa berkerudung bahkan hanya memakai celana pendek dan kaos seadanya karena tak terpikir apa-apa lagi yang penting lari keluar rumah. Ada yang malah sedang berhias memakai bedak karena mau pergi.

Ketika saya menyadari diri saya sendiri, hanya kata Alhamdulillaah dan syukur yang tak terhingga karena rupanya saya tidak hanya mendekap erat Adek dalam gendongan tapi Al-Quran yang sedang saya baca juga masih berada dalam dekapan erat di dada ini, Subhaanallaah. Saya hanya berandai-andai, misalkan gempa itu membuat bangunan rumah roboh lalu saya tertimpa dan meninggal mungkin secara kasat mata alangkah indahnya akhir hidup saya, walau pada hakikat sebenarnya bagaimanapun posisi akhir hidup kita semua Wallaahu a'lam bissawaab...

Sedikit guncangan akibat gempa yang dirasakan, tapi mampu mengguncang dahsyat rasa ketakutan dan meninggalkan rasa trauma jika hal itu nanti terulang. Sedangkan trauma diri saya sendiri bukan rasa takut jika gempa itu terjadi lagi dan membayangkan bisa jadi saya akan menjadi salah satu korbannya. Tapi yang membuat trauma justru sekarang saya seperti selalu diingatkan melalui apa yang terjadi sebelum kejadian gempa itu untuk selalu mengisi waktu dengan penuh kebaikan dan bukan hal yang sia-sia karena bencana ataupun maut bisa terjadi kapan saja, dimana saja, tanpa di duga sesuai kehendak dan aturanNya.

Menonton infotaiment lagi ??? Aduuhhh.. terus terang takuuuuttttt..... Biarlah dianggap kuper dan tak tahu gosip terkini...

Semoga saya bisa istiqomah dan tidak mudah terbujuk bisikan kata hati yang jelek lagi........


Bandung, 15102009