09 Juni 2009

Dari kusutnya si Ayah hingga hikmah Tragedi Situ Gintung…

Kemarin Senin kurang lebih jam satu siang, ayahnya anak-anak baru bisa pulang ke rumah untuk istirahat siang. Memang, kalau istirahat dan makan siang ia selalu di rumah kecuali ada acara- acara tertentu (ya.. itung-itung penghematan, ceritanya). Maklum jarak rumah dan kantor Ayah tidak begitu jauh.

Dan di siang Senin itu, tidak seperti biasanya mendekati jam satu ia baru tiba di rumah. Karena kalau biasanya tidak lama berselang azan zhuhur ia mesti sudah pulang.
Dengan wajah yang lumayan kusut Ayah berkata : “ Masya Allah….yang namanya ngeladeni tamu di kantor ga rampung-rampung…bla…bla…bla…dan seterusnya….”
Saya cuma bisa tersenyum sambil menyiapkan makan siang untuknya, karena saya mengerti bahwa sebenarnya dia capek berat.

Setelah sholat zhuhur, makan siang dan beristirahat sebentar Ayahpun menelepon salah satu wajib pajak yang akan dijumpainya. Karena, katanya kepada saya, kalau wajib pajak tersebut yang datang ke kantor pasti akan betambah runyam karena masalah komplainnya, yang kebetulan diproses oleh petugas yang digantikan oleh Ayah, lama tak terselesaikan. Maka sebelum klien itu yang ke kantor dan menambah keruh situasi, Ayah berusaha lebih dulu menemui wajib pajak tersebut di rumahnya, paling tidak untuk menjernihkan permasalahan yang sebenarnya, sehingga mengurangi potensi masalah yang lebih lebar.

Dan begitu saya mengikutinya sampai pintu rumah ketika hendak keluar, tampak raut wajah Ayah yang masih kusut kecapekan. Sebagai seorang istri, saya hanya bisa memberi kata-kata semangat seadanya, “Ayo Yah…..semangat dong…jangan mengeluh … Lihatlah yang di Situ Gintung lebih sengsara, jauh lebih berat masalahnya…Ayah kan cuma baru situ sini he..he…he..”. Ayah pun cuma tersenyum kecut mengiyakan…

Bukan bermaksud menjadikan musibah Situ Gintung sebagai bahan bercanda. Musibah tersebut memang harus menjadi i’tibar atau pelajaran bagi kita. Tidak banyak kata yang bisa diungkapkan atas musibah tersebut kecuali hanya menyebut Asma Allah. Di tengah hiruk pikuk kampanye para parpol untuk meraih suara disertai janji-janji dan saling mengakui keberhasilan kepemimpinan para pejabat, maka Allah lagi, lagi dan lagi memberi kita kejutan, setelah kejutan-kejutan akan kejadian bencana alam sebelumnya yang hampir kita lupakan.

Hari Kamis minggu yang lalu sebelum tragedi Situ Gintung terjadi, di pelajaran tafsir Al-Quran yang saya ikuti di masjid dekat rumah, sang ustadz menjelaskan secara sederhana akan persamaan maksud ayat 106-107 dari Suroh Al-Baqoroh yang artinya seperti berikut :
Ayat 106 : “ Jika ayat-ayat yang Kami nasahkan (batalkan) atau Kami lupakan, niscaya Kami datangkan yang lebih baik dari padanya atau sepadan seperti dia. Apakah kamu tidak mengetahui, bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu ?”
Ayat 107 : “Tidakkah engkau mengetahui, bahwa Allah mempunyai kekuasaan di langit dan di bumi? Dan tiada bagi kamu selain Allah yang membantu kamu dan tiada (pula) orang yang akan menolong kamu“.

Ustadz tersebut menjelaskan ayat-ayat tersebut dengan bahasa sederhana, bahwa tanda-tanda kebesaranNya (ayat) akan terus didatangkanNya, sebagai peringatan bagi kita semua, yang terkadang peristiwa-peristiwa yang telah terjadi tersebut hampir terlupakan dari benak kita . Dan di contohkanlah oleh ustadz akan kejadian kejadian bencana yang dari dulu sudah terjadi. Meletusnya gunung Krakatau, kemudian gunung Galunggung, tsunami di Aceh, di Pangandaran, Gempa di Yogya, di Cilacap dan masih banyak kejadian yang lainnya.

Dan, Masya Allah…, tidak lama berselang dari pelajaran dan keterangan ustadz terulang benar tanda-tanda kebesarannya untuk sekali lagi, tragedi Situ Gintung (tsunami kecil katanya). Tidak perlulah kita bahas bagaimana di tengah porak poranda dan hancurnya berbagai bangunan tetap berdiri masjid masjid dengan kokohnya.

Maha benar Allah dengan segala Firmannya.

Mungkin kini kita hanya dapat menolong untuk kebutuhan jasmani mereka yang tertimpa musibah. Serta doa semoga Allah memberikan kekuatan batin mereka yang telah kehilangan harta benda dan keluarga. Karena sesungguhnya Allah lah yang Maha Membantu (Al-Walii) dan Maha Penolong (An-Nashiir).

Maka dari membaca ayat-ayat Allah itu, seharusnya, sejenuh-jenuhnya, sebosan-bosannya kita akan rutinitas pekerjaan kita sehari-hari, kita masih harus lebih banyak bersyukur atas banyak nikmat yang sebenarnya telah kita peroleh. Semoga kita termasuk golongan hamba-hambaNya yang pandai bersyukur, bukan hanya di bibir saja, tetapi memang jauh di dalam hati kita …Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar