09 Juni 2009

Menjadi pemaaf.

Waah…Membaca KOMPAS minggu 22 maret 2009, saya betul-betul tertarik sinopsis dari buku yang diulas dengan manis oleh J Sumardianta, Guru Sosiologi SMA Kolese de Britto Yogyakarta. Buku yang menjadi best seller itu adalah : “The 7 Laws of Happiness. Tujuh Rahasia Hidup yang Bahagia” yang ditulis oleh Arvan Pradiansyah, dan diterbitkan oleh Kaifa, Bandung, september 2008. Wajib sepertinya bagi saya untuk membeli dan membaca buku ini serta sebisa mungkin menerapkannya. Kenapa? Karena walaupun kita tahu dan akan selalu bilang dengan mudahnya kalau bahagia itu bisa kita dapatkan dengan cara bersyukur atas semua yang telah diperoleh, tapi kayaknya kita juga harus membaca buku ini dan kita jalani dalam kehidupan sehari-hari. Bukan hanya dengan bisa berkata syukur saja.

Dan yang menjadi amat tarkesan bagi saya, salah satu dari tujuh resep cespleng yang dikampanyekan Arvan Pradiansyah adalah menjadi pemaaf. Karena terus terang untuk menjadi pemaaf saya akui suatu yang kadang seperti mudah tapi sulit untuk dilakukan. Dan yang bisa saya kagumi dan saya juga masih banyak belajar menjadi pemaaf adalah kepada suami.

Ada cerita-cerita dimana begitu pemaafnya suami saya akan hal-hal yang bagi saya berat tapi dianggap suami suatu yang sepele.
Suatu ketika putra saya masih kecil berlari-lari keluar gang hendak menyeberang jalan, ada motor yang tiba-tiba mengerem dengan kencangnya, karena tidak menyangka dari dalam gang ada anak yang keluar. Dan dengan rasa bertanggung jawabnya pengendara motor yang kebetulan bapak yang sudah cukup tua meminta maaf, menanyakan bagaimana kondisi putra kami. Mau di bawa kerumah sakitkah ? Dengan santainya suami saya mengatakan “ga pa-pa pak, udah ga pa-pa….”

Tuh…kayak sepele bener ya… padahal kakak saya protes dengan sikap suami saya itu, karena kalo itu terjadi pada anaknya dia akan jelas-jelas marah pada si pengendara motor tersebut. Karena toh akhirnya malem-malem kami tetep membawa anak kami ke dokter dan periksa dengan uang sendiri. Alhmdulilah memang tidak apa-apa.

Pernah juga di suatu saat ketika saya hamil 4 bulan mengandung putra pertama kami. Waktu itu kami sedang menaiki becak berdua di cuaca yang gerimis. Ketika jalanannya menurun ternyata tukang becak tidak bisa mengendalikan dan tidak bisa mengerem. Dan, Ya Allah…tergulinglah becak yang sedang kami tumpangi dan masuk ke dalam parit. Tukang becaknya terlempar hingga celana dan dengkulnya robek.

Dengan wajah yang pucat ketakutan abang tukang becak itu meminta maaf. Dia pun dimarahi temen-temennya untuk membawa kami kerumah sakit. Tapi dengan tenangnya suami saya mengatakan, “udah ga usah…ga pa-pa kok “. Suami saya kasihan pada si tukang becak yang mesti dapat duit tidak seberapa, tapi kita paksa untuk membiayai dan bertanggung jawab atas kejadian yang sebenarnya juga tidak ia inginkan.

Dan memang Alhamdulillah walau masuk ke parit, dan ketimpa becak, kami tidak apa-apa, begitu juga dengan kondisi kehamilan saya.
Ada banyak sekali cerita-cerita dimana suami betul-betul pemaaf, dan bisa menenangkan saya yang kadang masih suka terbawa emosi.

Tapi memang kejadian-kejadian yang telah kami alami. yang selalu dengan mudahnya dimaafkan oleh suami. Harus saya akui, bahwa justru hal itu membuat segala persoalan hidup menjadi begitu ringan, tanpa beban dan Alhamdulillah hidup pun jadi happy-happy aja...


Dan betul, seperti apa yang ditulis oleh Arvan Pradiansyah tentang menjadi orang yang pemaaf didalam bukunya “ 7 Rahasia Hidup Bahagia “ dan mungkin lain waktu 6 Rahasia lagi bisa saya temukan contoh-contohnya dan bagikan kepada yang lain……………matur nuwun

Tidak ada komentar:

Posting Komentar