29 Juli 2009

Perpajakan dalam Jual Beli Tanah


Seorang teman bercerita, sudaranya, sebut saja pak Banu, membeli sebuah rumah di suatu komplek perumahan model townhouse. Jual beli telah selesai dilakukan 2 tahun yang lalu dan Pak Banu pun telah memegang sertifikat hak milik atas rumah tersebut. Tetapi yang membuat resah Pak Banu adalah sampai dengan sekarang dia tak pernah menerima lembar penagihan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) atau yang dikenal dengan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) PBB atas nama dirinya. Kebetulan pada saat membeli pada developer tidak termasuk pengurusan balik nama PBB.

Maka pak Banu lalu pergi ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) setempat. Dia berkonsultasi dengan petugas di sana dan disarankan untuk mengajukan pendaftaran baru PBB. Dia pun lalu mengajukan permohonan pendaftaran baru tersebut dan melampirkan dengan persyaratan2 yang diminta yaitu fotokopi sertifikat, fotokopi akta jual beli, fotokopi PBB induk atas nama pengembang dan fotokopi Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (SSB BPHTB) atau yang dikenal umum sebagai pajak pembelian.

Seminggu kemudian pak Banu menerima surat dari KPP, yang menyatakan bahwa dari berkas permohonan pendaftaran baru PBB diketahui bahwa masih terdapat kekurangan pembayaran BPHTB saat pembelian rumah tersebut yang nilainya mencapai 12 jutaan rupiah. Pak Banu kaget, lalu segera ke KPP untuk meminta penjelasan.

Oleh petugas pemroses berkas, pak Banu dijelaskan bahwa BPHTB yang dibayar menggunakan dasar Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang tidak benar. Sementara SPPT PBB induk atas nama pengembang yang disertakan ternyata SPPT aspal alias tidak terdaftar di KPP. Menurut perhitungan berdasarkan NJOP yang sebenarnya nilai BPHTB yang seharusnya dibayar masih kurang 12an juta rupiah. Tidak ada jalan lain pak Banu harus tetap membayar sejumlah yang ditentukan. Saat itulah pak Banu mengakui kalau pada saat membeli rumah tersebut dia tidak memperhatikan aspek-aspek perpajakan yang timbul karena semuanya diurus oleh pihak pengembang. Dia hanya bisa menyesali kecerobohan yang harus ditanggungnya karena untuk menuntut pengembang tidak mungkin dilakukan karena perusahaan itu telah bubar.

Nah, dari cerita di atas menjadi pelajaran bagi kita bahwa kita harus berhati-hati dan memperhatikan dengan cermat aspek perpajakan kalau kita melakukan penjualan atau pembelian atas tanah dan bangunan. Fenomena sekarang yang terjadi adalah seringnya kita menyerahkan sepenuhnya urusan itu kepada pihak lain karena kita tidak mau repot berurusan dengan birokasi yang ada di KPP. Padahal hal itu salah besar. Dengan adanya reorganisasi di Ditjen Pajak maka KPP yang ada sekarang adalah KPP yang berusaha memberikan yang terbaik dalam pelayanan kepada wajib pajak. Dan yang penting tidak satupun dalam pengurusan perpajakan di KPP dipungut biaya.

Jadi, jangan lagi segan dan ragu untuk berkonsultasi bahkan mengurus sendiri aspek perpajakan atas jual beli tanah dan bangunan kita ke KPP. Lebih baik kita agak repot di awal daripada menyesal di kemudian hari. Untuk tulisan mendatang Insya Allah akan saya sampaikan aspek-aspek perpajakan berkaitan dengan jual beli tanah dan bangunan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar