01 Agustus 2009

Perpajakan dalam Jual Beli Tanah (2)


Membeli sebuah rumah atau tanah, apalagi untuk yang pertama kali, atau sebagai investasi, adalah suatu pekerjaan yang membutuhkan ketelitian, kecermatan dan kehati-hatian. Hal ini tentu disebabkan karena disamping nilainya yang pasti tidak murah tentunya, bahkan kalo perlu ditebus dengan keprihatinan bertahun-tahun bagi yang mengambil kredit perbankan, tetapi yang lebih utama adalah bahwa aspek hukum dan perpajakan atas suatu peralihan kepemilikan tanah dan bangunan adalah hal yang tidak bisa diabaikan. Salah-salah maunya berinvestasi atau memulai suatu babak kehidupan di rumah sendiri, eh, malah tersandung dengan masalah hukum mapupun perpajakan yang bisa-bisa sampe membuat semuanya berantakan.

Nah, dari tulisan saya yang kemaren tentang kisah pak Banu yang mendapat masalah perpajakan pada waktu membeli rumah barunya, di sini saya dengan kompetensi, pengalaman dan aksesibilitas yang saya miliki, akan mencoba mengenalkan aspek perpajakan yang harus kita ketahui apabila kita akan membeli suatu rumah atau tanah (selanjutnya kita sebut saja properti). Tetapi saya tidak akan membahas atau bahkan tidak mencantumkan aturan atau dasar hukum yang berkaitan, tetapi terlebih pada sisi pratik yang umumnya ditemui sesuai dengan kegiatan pekerjaan saya sehari-hari ataupun dari pengalaman2 orang lain yang bisa saya rekam.

Bahasan ini mencakup dengan apa yang dimaksud dengan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan kemudian tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Kedua jenis pajak inilah yang harus kita kenal apabila kita memperoleh hak kepemilikan atas suatu tanah dan bangunan, baik dari jual beli, hibah, waris, lelang dsb.

1. PBB
PBB merupakan salah satu pajak pusat yang pengelolaannya dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak Departemen Keuangan, disamping Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penghasilan (PPh), Bea Materai dan lainnya. Jadi meskipun seluruh pendapatan dari PBB menjadi pendapatan asli daerah (PAD) tetapi PBB belum dikelola oleh Pemda. Ditjen Pajak dalam hal ini KPP sebagai unit terkecilnya melaksanakan sepenuhnya pengelolaan PBB mulai dari pendataan, penilaian, penetapan, maupun pelayanan wajib pajak. Tetapi dalam hal tertentu KPP akan bekerja sama dan berkoordinasi dengan Pemda, misalnya penentuan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) Tidak Kena Pajak, Analisis NJOP tanah dan bangunan, penyampaian Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) PBB kepada wajib pajak dan beberapa kegiatan lainnya.

Pengertian dan ketentuan mengenai PBB dari sisi dasar hukum, bisa dipelajari dari Undang-undang no.12 tahun 1985 jo Undang-undang No.12 tahun 1994 di situs2 perpajakan lainnya. Tetapi yang ingin saya sampaikan di sini adalah prinsip utama bahwa setiap bidang tanah di wilayah negara kita ini adalah obyek pajak PBB. Jadi seharusnya setiap jengkal tanah memiliki identitas perpajakan di KPP yang membawahi wilayah tersebut. Identitas perpajakan inilah yang akan menjadi pijakan bagi KPP dalam melakukan analisis dan pengambilan keputusan atas seluruh masalah perpajakan berkaitan dengan tanah tersebut.

Karenanya sebelum kita membuat keputusan untuk membeli suatu properti, harus benar-benar kita pastikan bahwa PROPERTI TERSEBUT TELAH MEMILIKI IDENTITAS PERPAJAKAN, yang artinya telah terdaftar sebagai objek pajak PBB di KPP. Kepastian ini diperlukan karena pada saatnya identitas perpajakan dan data mengenai objek dan subjek pajak atas properti itu menjadi alat bagi KPP membuat keputusan perpajakan atasnya.

Identitas perpajakan suatu properti ditunjukkan oleh telah adanya SPPT PBB yang diterbitkan oleh KPP atas properti tersebut. SPPT PBB adalah lembar pemberitahuan yang berisi data ringkas mengenai no. identitas perpajakan yang disebut dengan Nomor Objek Pajak (NOP), data obyek pajak, data subyek pajak dan data ketetapan PBB yang ditagihkan pada suatu tahun pajak. Setiap properti memiliki nomor objek pajak yang unik, artinya tidak mungkin suatu properti memiliki 2 atau lebih nomor objek pajak, atau setiap properti hanya terdaftar sekali saja di basis data PBB secara nasional, lalu yang mengalami pemutakhiran adalah data mengenai obyek dan subyek pajaknya.

Secara teoritis seluruh properti di Indonesia ini telah terdaftar dan memiliki NOP. Hanya karena begitu banyaknya objek pajak yang dikelola (+/- 8 juta objek pajak), maka bisa terjadi ada properti yang belum terdaftar sebagai objek pajak, utamanya di wilayah2 pedesaan, pinggiran kota atau daerah terpencil lainnya.

Oleh sebab itu meskipun atas properti yang akan kita beli telah diperlihatkan kepada kita SPPT PBB atas properti itu oleh si calon penjual, sangat disarankan untuk melakukan pengecekan kevalidannya di KPP yang bersangkutan. Karena tidak tertutup kemungkinan adanya lembar SPPT aspal yang dibuat oleh oknum dan bukan secara resmi diterbitkan oleh KPP, seperti pengalaman buruk Pak Banu di tulisan kemarin. Kalau tidak memiliki waktu ke KPP untuk mengeceknya, konfirmasi dapat dilakukan melalui telepon ke KPP ybs atau cara yang lebih singkat lagi adalah pengecekan melalui ATM yang menerima pembayaran PBB (ATM BCA, Danamon dll.). Caranya adalah dengan mengikuti menu pembayaran PBB sehingga akan terlihat di layar nama wajib pajak dan besarnya ketetapan dari NOP yang dientry-kan pada saat konfirmasi sebelum pembayaran, kemudian dicocokkan dengan yang tertera pada lembar SPPT. Apabila terdapat perbedaan meskipun hanya sedikit, perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut ke KPP.

Karena tulisan ini sudah terlalu panjang, saya cukupkan dulu, lain kali saya sambung lagi. Salam...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar