21 Agustus 2009

Botram

“Bu…., kita botram yukk…”, itu ajakan tetangga saya, saat awal-awal tinggal di kota Bandung. Ajakan tersebut spontan membuat saya bertanya, “Botram…? Apaan tuh..?”.
“Gini Bu…Ibu masak apa gitu, saya yang nyambel dan sedia lalap, nanti yang lain juga kebagian masak apa, trus kita makan bareng-bareng...”. Itu penjelasannya.
“O…makan bareng itu botram namanya kalau di sini, saya kira apaan..”. Karena, kebetulan juga saya tidak bisa temukan artinya ketika membuka kamus bahasa Sunda.

Sudah dua hari ini menjelang Ramadhan acara saya adalah botram. Dari kumpul bareng ibu-ibu majlis ta’lim, ibu-ibu penunggu anak sekolah, sampai dengan antar tetangga . Bertambah repot dan sibuk juga lo, karena harus mikir dan menyiapkan masak apa kira-kira yang pantas. Dan lagi tidak bisa langsung makan, seperti misalnya kita janjian sama teman untuk makan di restoran.

Lucunya ketika botram karena semua yang ikut menyumbang atau membawa makanan sendiri-sendiri, maka sudah jadi kebiasaan pula di antara kita tidak bakalan makan masakannya sendiri tapi yang di incer pasti masakan tetangga, karena merasa masakan tetangga lebih enak. Ya, mungkin seperti pepatah bilang ‘rumput tetangga lebih hijau dari rumput rumah sendiri’, maka di botram mungkin bisa di ganti dengan ‘masakan tetangga lebih enak dari masakan sendiri’, ha..ha..ha.. mengarang dikit….

Walau tambah repot dan sibuk di dapur tapi saya amat sangat menikmatinya. Saya amat bersyukur bisa tahu dan merasakan keberadaan acara botram ini. Dan yang pasti di balik acara tersebut ada makna yang besar akan ikatan tali silaturrahmi dan berbagi ilmu tentang masakan.

Ada anggapan, “Alaah.. yang namanya ibu-ibu kalau ada acara ngumpul paling-paling isinya ngegosip melulu”. Ah, mungkin jangan suudzon (berprasangka buruk) dulu dong sama kita-kita yang kerjaannya hanya ibu rumah tangga dan senengnya kumpul-kumpul ( ha..ha..membela diri ceritanya), walau itu tudingan yang wajar dan sudah jadi rahasia umum. Tapi engga kok... bener deh ! Di acara botram kita, para ibu rumah tangga itu tidak ada yang namanya gosip. Yang ada kita saling melempar canda juga bercerita seputar bagaimana cara memasak menu yang baru saat itu kami tahu setelah saling cicip-mencicipi. Dan jadi tahulah kita apa saja bumbu-bumbu rahasianya. Maka, Alhamdulillah, bertambahlah koleksi menu masakan tanpa repot-repot membaca resep di majalah.

Oya, ada lagi, khusus tetangga yang tidak suka masak, biasanya dapat jatah pilihan yang gampang, yaitu membawa buah-buahan untuk pencuci mulut atau kerupuk atau nasi. Dan lebih serunya lagi kalau sudah selesai kita akan beres-beres dan cuci piring bareng. Untuk cuci piring barengnya bukan botram lagi namanya. Kira-kira apa ya namanya? Ah, untuk yang ini saya tidak mau ngarang lagi, takut…, soalnya menyangkut nyariosna tiang Sunda euy …ha..ha..ha..

Ya, baru di Bandung ini saya mengetahui cara pengungkapan suka cita menyambut awal Ramadhan (awal Ramadhan menurut kamus bahasa Sunda di sebut juga dengan istilah ‘munggah’) melalui acara botram itu, yang juga sekaligus sebagai ajang untuk saling berkumpul memberi dan meminta maaf. Ah, Indonesia ini memang kaya akan bahasa dan adat kebudayaan. Beruntung rasanya saya, karena memiliki suami yang berpindah-pindah tugas kerja, maka menjadi banyak teman, mengalami banyak rangkaian cerita, mendapat berjuta kenangan dan kaya akan pengalaman. Walau terkadang kasihan juga melihat anak-anak yang harus pindah-pindah sekolah dan harus bisa beradaptasi dengan suasana dan lingkungan yang berubah-berubah pula. Tapi saya hanya bisa berpikir positif, mudah-mudahan anak-anak saya juga dapat mengambil hikmah atas semua pengalaman dan keprihatinan mereka yang harus ikut boyong sana-sini.

Dan acara botram menyambut munggah itu akan jadi perbendaharaan kenangan dan pegalaman yang akan terus melekat di hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar