29 Agustus 2009

Kebahagian ketika waktu berbuka


Mengenang masa kecil di bulan Ramadhan rasanya semua dari kita pasti mempunyai cerita-cerita unik lucu. Dan jika di ulang untuk menceritakannya kembali, kita akan menceritakanya dengan bersemangat sambil teringat akan kejadian yang sekarang justru bikin kita tertawa geli sendiri. Atau bahkan karena mengenang masa kecil yang indah muncullah angan-angan kita andaikan bisa tuk sejenak kembali ke masa kecil dulu.

Begitupun saya, tidak hanya geli ketika terkenang masa kecil saya, khususnya masa kecil di bulan Ramadhan, tapi juga saya tak kuasa tuk menahan tawa jika suami bercerita tentang keusilannya di kala kanak-kanak di bulan Ramadhan ini. Dari yang berebutan menyembunyikan pukulan bedug dengan teman-temannya sehingga harus saling balapan siapa duluan datang ke musholla. Lalu kain sarung yang berubah fungsi ketika tarawih usai karena diisi bermacam-macam takjilan yang tersedia, walaupun akhirnya tidak semua dari takjilan itu sanggup untuk di makan (he..he..ada-ada saja…maklum nafsu anak kecil ). Dan sepertinya tidak beda dengan saya sendiri waktu kecil dulu, yang sebelum berbuka semua aneka makanan telah siap di depan mata dengan duduk manis bersila sambil menghitung jarum jam, kira-kira berapa lama lagi bedug maghrib atau bunyi sirine tanda berbuka akan terdengar. Dan lucunya, di musholla dekat rumah setiap menjelang berbuka selalu memperdengarkan siaran langsung dari Masjid Agung Palembang lewat stasiun RRI, berupa tilawah Al-Quran. Maka tidaklah heran jika waktu itu saya begitu khusyu’ mendengarkannya dengan pandangan mata yang tak pernah lepas dari hidangan makanan berbuka. Khusyu’nya saya bukan karena saya menghayati bacaan Al-Qur’an itu. Tetapi, karena satu hal saja, yaitu menunggu saat sang Qori’ (pembaca Al-Quran)nya sampai pada bacaan, ”Shodaqallaahul a’zhiim.....” ha..ha..ha... Karena inilah tanda akhir dari segala perjuangan setelah menahan lapar dan haus seharian penuh. Dan bikin saya tersenyum sendiri jika mengingatnya adalah, ketika saya satu waktu terkecoh dengan alunan sang Qori’ yang makin lama iramanya makin pelan dan saya sudah menduga akan bacaannya yang telah sampai di penghujung, ya Shodaqalllahul a’zhiim tadi, maka makananpun telah siap di tangan tinggal menunggu hitungan detik untuk segera masuk ke dalam mulut. Tapi olala rupanya sang Qori masih meneruskan lantunan ayat suci kembali dengan alunan irama tilawahnya yang meningkat .....uuuhh...hahaha....

Masih banyak kenangan lainnya untuk di ceritakan kembali yang saya rasa bakalan tak akan ada habisnya.

Tapi yang paling berkesan dari saat-saat Ramadhan ketika kecil (dan Alhamdulillah, untuk sekarang saya bisa terapkan kepada anak-anak) adalah bagaimana ibu dan ayah saya yang tidak pernah memaksakan saya dan saudara-saudara saya untuk berpuasa. Pun tidak marah jika kami tidak kuat satu hari penuh berpuasa dan terpaksa berbuka di saat adzan zhuhur. Juga tidak menjanjikan atau memberikan hadiah kalaupun kami bisa sukses puasa satu hari penuh. Jika tidak puasa ataupun batal di tengah puasa dengan macam-macam alasan ala anak kecil, yang tidak kuat laparlah , hauslah atau bahkan kadang mengaku pusing, maka hanya ada satu peraturan yang harus di taati, yaitu kalau tidak berpuasa tidak boleh ikut-ikutan makan jika waktunya berbuka. Mendekati orang yang lagi berbuka juga tidak boleh apalagi untuk ikut menikmati hidangan berbuka. Kadang serasa menjadi anak tiri, mau merengek, merayu bahkan menangis sekalipun dengan alasan hanya ingin mencicipi saja, yang namanya Nenek, Ibu atau Ayah kompak tidak akan memberikan kelonggaran. Kata mereka, jika tidak puasa dan mengganggu orang yang berbuka kelak di akhirat kepalanya akan penuh dengan ulat......hhiii...seram....
Nanti setelah semua selesai berbuka barulah kita yang tidak puasa boleh makan aneka jajanan yang sudah tinggal sisa-sisa. Bayangin, betapa engga enaknya jika kami tidak berpuasa, karena justru di saat berbuka itulah saat yang asyik untuk rebutan bahkan bisa memilih-milih mana yang akan di makan duluan, yang seringkali belum berhenti kalau belum kenyang.

Setelah saya bisa menalar, cara mendidik Ayah dan Ibu juga Nenek agar kami punya semangat juang puasa sampai maghrib sepertinya cukup sederhana namun punya makna yang luar biasa. Karena motivasi kami untuk kuat berpuasa hanya satu, biar bisa ikut bareng menyantap hidangan buka di saat adzan maghrib tiba. Maka baru tersadarlah saya memanglah saat buka adalah saat yang paling bahagia apalagi untuk ukuran usia anak-anak yang rasanya puasa itu adalah suatu perjuangan yang berat untuk menahan lapar dan haus seharian penuh, malah kadang tambah tidak kuat lagi kalau melihat godaan temannya yang makan karena tidak puasa.

Tidak hanya ketika kanak-kanak kebahagian berbuka itu saya rasakan. Bahkan sampai sekarang pun rasa itu tetap ada. Cerita bisa berubah ketika saatnya saya mendapat dispensasi dari hukum agama boleh tidak berpuasa di karenakan tamu bulanan (biasa...ibu-ibu..he..he..). Maka di waktu maghrib kala menemani anak-anak dan suami berbuka saya kok jadi hampa ya..ada rasa satu kebahagiaan yang hilang di saat itu.

Jadi yang dapat saya simpulkan, begitu sederhana orang tua saya menanamkan kepada anak-anaknya bahwa kami harus sanggup puasa bukan karena termotivasi hadiah ataupun pujian atau karena ancaman. Tapi mereka menumbuhkan di jiwa anak-anaknya, yang pertama, bahwa kalau puasa maka akan merasakan kenikmatan berbuka. Dan jika tidak sanggup puasa terima konsekwensinya dengan tidak boleh mengganggu orang yang lagi berbuka. Dan yang kedua, puasa itu semata untuk Allah dan bukan karena sesuatu hadiah yang telah di janjikan oleh orang tua.

Di dalam salah satu hadist qudsi Allah berfirman:
“”Setiap amal anak adam adalah untuk dirinya sendiri kecuali puasa, maka sesungguhnya puasa itu untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya.
Bagi mereka yang berpuasa ada dua kebahagian yang mereka peroleh, kebahagian ketika waktu berbuka dan kebahagian ketika berjumpa Tuhannya””
( HR. Imam Buchori dan Imam Ahmad )

Bermacam-macam cara orang tua kita dahulu melatih anak-anaknya menunaikan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Dan apapun caranya serta bagaimana pejuangan kita di dalam Ramadhan sehinga menjadi terlatih berpuasa telah membekas di hati kita masing-masing dan selalu indah untuk di kenang. Sekarang giliran kita ingin Ramadhan sebagai bulan yang paling berkesan untuk putra-putri kita kenang.

Alhamdulillaah…terima kasih telah menyempatkan membaca cerita saya yang mungkin cukup panjang ini, semoga berkenan. Alhamdulillaah wa syukrulillaah kita telah melangkah pada hari ke ke delapan di bulan Ramadhan ini dari sepuluh hari yang dijanjikan penuh dengan rahmat Allah. Untuk selanjutnya mudah-mudahan kita bisa terus memasuki sepuluh hari di tahapan kedua yang penuh dengan maghfiroh/ampunan Allah dan Insya Allah kita bisa sampai tahapan di penghujung Ramadhan di mana saat-saat itu di jauhkannya kita dari api neraka Amiin..amiin..Ya Robbal A’lamiin…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar