26 Agustus 2009

Lambaian Tangan Bunda


Sepulangnya saya dari rumah seorang teman, muncul rasa iri di hati ini.
Pun ketika kemarin menjemput seorang teman untuk sama-sama pergi ke masjid, kembali di hati ini singgah rasa iri.
Tapi semogalah Allah memaklumi akan rasa iri yang tiba-tiba saja hadir di relung hati.

Bagaimana tidak iri diri ini, waktu main kerumah teman yang di rumahnya sedang kedatangan ibu mertuanya dari kota Demak.
Bagaimana tidak iri, karena tak akan lagi saya rasakan kedatangan ibu mertua yang biasanya datang untuk menengok kami anak cucunya.
Bagaimana tidak iri, saat bahagia tak lagi akan kami rasakan ketika anak-anak menjadi senang, apalagi si Adek, si bungsu, yang biasanya langsung spontan berteriak kegirangan sambil melompat-lompat jika di beri tahu kalau Uti (begitu dia memanggil simbah putrinya, Ibu mertua saya) mau datang ke Bandung. “ Hoye..Uti mau daten!! Hoye..hoye..", begitu teriakan cadelnya. Padahal Uti belum pun datang dan itu hanya baru kabar yang terdengar oleh mereka.

Dan iri itu hadir kembali di hati manakala kemarin menjemput seorang teman untuk sama-sama berangkat ke masjid . Karena di rumahnya sedang ada ibunya yang telah beberapa hari datang dari Bogor.
Tatkala kami pamit dan teman saya itu mencium tangan ibunya, begitupun saya ikut pamit dan mencium tangan beliau, tidak hanya iri tapi juga ada rasa perih dan sedih di hati ini. Apalagi pas kami hendak keluar pagar beliau melambaikan tangannya kepada kami.

Ah..…ya…’lambaian tangan’ yang tulus seorang ibu…
Yang dulu serasa biasa saja dan tak ada artinya.
Tapi sekarang di saat tidak ada lagi Bunda dan Ibu, lambaian tangan ibu teman saya tersebut mampu membuat air mata ini menetes tanpa di sangka…

Dan sekilas hadir kenangan akan lambaian terakhir Bunda di bandara, dulu sewaktu kami akan pindah dari Palembang ke pulau Jogja. Saat itu beliau mencium saya dan si sulung kami yang waktu itu baru berusia satu tahun sambil menangis terisak seakan-akan tidak akan berjumpa kembali. Sempat saya tertegun dan berkatalah hati ini, “Ibu..kok menangis seperti itu ya..kan kami pindah tidak lama cuma satu setengah tahun dan akan pulang ke Palembang lagi, karena suami hanya tugas belajar bukan pindah dinas..”

Tetapi....ternyata memang itulah ciuman dan lambaian Bunda yang terakhir…………….

Dan tidak beda dengan ibu mertua saya, yang akan selalu setia berdiri di teras depan rumah untuk menghantarkan kami anak cucunya ketika kami akan kembali pulang jika telah selesai berlibur. Lambaian tangannya masih terus membayang di jiwa dan beliau tidak akan masuk kedalam rumah sebelum mobil yang kami tumpangi hilang dari pandangannya.

Sekarang cukuplah bagi saya untuk terus mengenang dan menahan kerinduan akan lambaian tangan ibu yang setia mengiringi setiap kami hendak pergi.
Sekarang cukuplah juga bagi saya untuk bisa menitipkan pesan kepada teman –teman saya tersebut untuk memuliakan dan mengasihi ibu mereka yang masih di karuniakan Allah kesehatan dan kesempatan untuk datang menengok anak cucunya.
Dan juga rasakan dengan sepenuh hati dan segenap cinta setiap melihat lambaian tangan yang tulus dari mereka.

Memanglah akan terasa sangat beharganya seseorang jika ia telah tidak bisa lagi hadir di tengah-tengah kita, jika ia telah tiada.
Sebagaimana yang saya rasakan, betapa baru terasa indah, begitu berarti dan beharganya lambaian tangan seorang ibu kala melihat lambaian itu dari ibu teman saya setelah tidak mungkin lagi saya akan melihat lambaian tangan tulus penuh kasih dari ibu sendiri dan pun dari ibu mertua…………..



Bandung, Ramadhan 1430 H

Tidak ada komentar:

Posting Komentar