10 Januari 2011

Rasa syukur serta ikhlas tak boleh berhenti hanya karena suasana yang berganti...

Alhamdulillaah...tak terasa lebih empat bulan telah terlewati bagi saya menikmati waktu, hidup terpisah dari Ayahnya anak-anak yang pindah tugas kerja di seberang pulau sana. Kalau suami dengan kondisinya yang hidup sendirian di sana bisa di sebut bujang lokal, lha kalau saya kemarin melalui telepon malah di ledek oleh salah seorang bulik saya dengan sebutan janda lokal... hahaha... Bulik..Bulik..teganya... Kirain padanan kata yang tepat untuk bujang lokal kan harusnya gadis lokal. Yo wis, gimana lagi... harus diterimalah, mengingat dengan adanya buntut tiga manalah mungkin saya di sebut gadis hehe...Dan, untuk sementara ini, memang kasihan anak-anak yang nanggung sekali kalau di ajak boyongan. Jadi kita harus sabar menunggu anak-anak menyelesaikan tahapan di semester pertamanya dulu.

Minggu ini harusnya jadwal pulang ayahnya anak-anak, tapi kemarin Ayahnya nelepon bilang kalau kayaknya tidak bisa pulang karena ada jadwal rapat di akhir pekan ini dan awal pekan depan. Kecewa dan sedih... ??? Jelaaas... !!! Huh, alamat jerawat bakalan muncul nih.. akibat rindu tertunda tersalurkan.... eitss..punteun..punteun...hehe..

ASTAGHFIRULLAAH..... memang terus terang padahal beberapa hari ini saya betul-betul mengalami dehidrasi ketenangan jiwa. Sampai-sampai ingin mengubah apa yang telah di rencanakan awalnya. Kemarin saya sampai berusaha mencoba mengurus surat pindah sekolah Si Sulung yang paling jadi pertimbangan kami. Walau di awal-awal keputusan kami ini banyak teman-teman yang bisa memaklumi, tapi ada juga yang terheran-heran dan menanyakan kok bisa saya bertahan menunggu anak-anak selesai semesteran. Kan, bisa saja anak-anak langsung di bawa pindah. Katanya, kalau dia diposisi saya, dia akan memilih langsung ikut pindah. Toh, anak-anak itu lebih mudah beradaptasi ketimbang orang dewasa.

Apa benar begitu ya...? Tapi ternyata beberapa masukan dari teman seperti ini pun sempat bikin saya goyah dari rencana semula. Ingin rasanya tak menunda, ikut langsung sekarang juga menyusul ayahnya tanpa harus repot-repot memikirkan sisi psikologis anak-anak tentunya. Namun melalui pertimbangan di hati ini kembali, sungguh kami belum tega memaksa anak-anak tercerabut dengan tiba-tiba dari dunia teman dan sekolahnya dan mengikuti apa yang sesuai dengan ego kami sebagai orang tua.Di situasi keputusan yang telah kami sepakati, sayapun merasa memang banyak faktor membuat saya kuat bertahan tak langsung ikut pindah . Bukan hanya sekolah anak-anak yang jadi alasan, lingkungan yang telah nyaman, teman-tetangga yang baik, tetapi juga beragam kegiatan menuntut ilmu yang diadakan di masjid lingkungan saya tinggal adalah rangkaian karunia Allah yang tak akan pernah saya dustakan. Sehingga begitu berat dan sayang rasanya kalau semua itu saya tinggalkan begitu saja.

Di situasi yang lain, ketika hari-hari berprosesnya diri ini karena saya harus melewatinya tanpa kehadiran suami maka salah satu paling terkena imbas adalah Mang Diding, tukang sayur langganan, karena selera memasak saya tak lagi seheboh kalau Ayahnya anak-anak ada di rumah hehe... Sampai anak-anak bahkan pernah sempet protes " Kok ibu masaknya gini-gini aja..."Entah ya....harus saya akui suami adalah penyemangat saya dalam setiap hal. Maka ketika suami jauh, duuh...tidak hanya semangat masak yang menurun. Tapi sampai buka fb juga rada males. Menulispun saya seakan-akan tak punya bahan yang mau dituliskan. Pulang dari mengantar Ayahnya pertama kali berangkat pindah tugas saja, hhmm... memasuki rumah serasa sudah beda saja suasananya.
** Makanya sungguh saya salut pada teman-teman yang kuat karena terpaksa bertahun-tahun harus hidup berjauhan dari suaminya....

Di tengah saya terkadang mengalami penurunan semangat itu, Alhamdulillah, Allah senantiasa menurunkan berbagai kejadian yang menjadikan rasa syukur serta ikhlas saya tak boleh berhenti hanya karena suasana yang berganti.Salah satunya ketika tetangga saya mengatakan, " Gimana bu rasanya ditinggal lama Bapaknya..?? Sabar aja ya bu... anggap sebagai latihan kalau besok di tinggal Bapak selamanya" Huuff !!! Sempet merasa omongan teman saya itu sebagai suatu yang menohok di jiwa. Tapi tak bisa saya pungkiri bahwa apa yang dikatakannya benar adanya. Yaa..justru ucapan darinya itu menjadikan saya berpikir jauh, "Iyaa ya..Alhamdulillah saya cuma di tinggal jauh dan cuma sementara, bukan ditinggal suami selama-lamanya..Duuh Gusti... "

Latihan kata teman saya, tapi sungguh latihan yang tak mudah, karena dibutuhkan pengendalian dan kematangan jiwa. Nah, memasuki bulan mulia Dzulhijjah ini, ada sebuah renungan buat saya dari materi khutbah 'Idul Adha tahun lalu di lapangan komplek perumahan tempat saya tinggal yang dibawakan oleh dr. DR Tauhid, seorang ustadz yang dikenal luas di Bandung. Berikut ini sebagian kecil kutipannya:

Adalah sebuah proses napak tilas perjuangan sebuah keluaga kecil yang " family core value"nya adalah IKHLAS. Keluarga kecil ini adalah keluarga Nabi Ibrahim AS. Membayangkan betapa beratnya beban yang harus diemban Siti Hajar yang harus hijrah ke lembah Baqa bersama anaknya yang baru saja di lahirkan, Nabi Allah Ismail AS. Sesampainya di sana mereka berdua di tinggal dan harus berusaha untuk bertahan hidup di tengah kerasnya lingkungan geografis lembah yang kelak dikenal sebagai kota Mekah.

Kecerdasan Siti Hajar jelas tergambar dalam ketenanganya mengevaluasi kondisi geologis lembah Mekah dan berfokus untuk mencari air di antara bukit shafa dan Marwah.Keistiqomahannya teruji ketika ia tak berputus asa dan pantang menyerah serta terus melantunka doa : " Robbanaa anzilnaa munzalan mubaarokan wa anta khoirul munziliin", sebuah doa yang penuh dengan harapan dan menggambarkan optimisme yang sangat tinggi. Konsep ini adalah konsep dasar "trust" atau keyakinan akan Rahmat Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Sebuah fondasi penting dalam kontruksi akidah seorang muslim.

Dan hasil renungan dari kutipan khutbah 'Idul Adha tersebut adalah membuat saya, malu..malu..dan malu. Betapa masih jauh rasa Ikhlas juga keyakinan saya akan rahmat Allah SWT, terlebih dalam setiap detail kejadian dalam hidup ini. Alangkah masih lemahnya kontruksi akidah saya. Belum lagi melalui kehendak Allah atas musibah Gunung Merapi, Mentawai dan Wasior. Sebagai bahan tafakur juga ketika menyaksikan ribuan korban yang mau tak mau mereka harus survive dengan kejadian ini. Betapa sering kali banyak kejadian yang tak mudah kita pahami namun semua tidak juga sulit untuk dimengerti manakala menyadari bahwa semua adalah KuasaNya.

Dan rasanya akan damai dan takkan menurun rasa ketenangan jiwa, jika mampu mengelola hati. Semestinya bahwa bukan lah suasana yang harus diganti tapi rasa yang perlu untuk selalu diperbaiki sehingga syukur akan senantiasa terpatri.

Bandung, Jum'at 5 Dzulhijjah 1431 H...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar