26 Februari 2010

Cita yang tertunda (bagian kedua dari "Anak-anak Nulis Resolusi 2010 Mereka..")


Menyambung cerita di note saya sebelumnya, dari sekian poin-poin yang di tulis anak-anak saya mengenai resolusi 2010 mereka, terus terang, ada beberapa poin yang mereka kemukakan itu benar-benar bikin saya takjub. Dan memang seharusnyalah keinginan-keinginan mereka itu akan bisa terwujud disertai dukungan, dengan support dari kami sebagai orang tua untuk selalu mengingatkan, membangkitkan semangat mereka akan sebahagian keinginannya yang harus bisa mereka capai.

Tapi di lain pihak ada juga beberapa poin dari mereka, walau bersifat positif lumayan, sempet menjadi pergulatan batin yang hebat di benak kami selaku orang tua khususnya saya sebagai ibunya. Nah, yang mau saya ceritakan ini adalah tentang resolusi si Mas Aufa, si sulung saya.


Bagaimana tidak jadi pikiran, (maaf..mungkin ceritanya agak mundur ke belakang sedikit ya.. ) sewaktu masih duduk di kelas empat sekolah dasar, dia sangat menyenangi kegiatan Pramuka. Suatu ketika dengan begitu semangat bercerita pada saya sepulang dia dari latihan Pramuka, " Bu, tadi kakak pembinanya dari SMP 14. Katanya SMP 14 itu Pramukanya hebat lo Bu! Pernah ikut kegiatan Pramuka internasional ke London, ke Malasyia, pokoknya antar negara lah. Mas besok mau masuk SMP 14 aja ya Bu, biar bisa ikut kegiatan Pramukanya, trus bisa keluar negeri juga!".
"Iyaa...yang terpenting sekarang Mas rajin belajar dulu. Kan kalo nilainya gede gampang mau masuk SMP mana aja.Terus rajin berdoa juga...", begitu jawaban saya.

Sampai dengan duduk di kelas 6 SD kegiatan-kegitan lomba Pramuka disekolahnya selalu dia ikuti. Alhamdulillah, beberapa kali dia mendapat juara. Dan dari situlah keinginan untuk masuk ke SMP 14 semakin bertambah besar dan itu masuk dalam salah satu resolusi tahun 2009 yang di tulisnya saat itu.

Alhamdulillah juga, atas seizinNya jualah apa yang menjadi separuh keinginannya telah tercapai, dia pun diterima menjadi murid SMP 14. Walau waktu pendaftaran banyak masukan tentang SMP-SMP favorit lainnya dari baik teman-temanya dan maupun dari kita yang ditawarkan kepadanya, dia tetep keukeuh dengan pendiriannya untuk masuk SMPN 14.

Setelah kurang lebih enam bulan dia aktif dengan kegiatan Pramuka di SMP sesuai cita-citanya, di suatu sore hari Jumat, seakan tak bisa menunggu waktu lama, dia dengan penuh kegembiraan dan antusias yang tinggi menyampaikan kabar pada saya, " Bu...besok Desember tanggal 27 atau 28 Pramukanya ikut campboree ke Batam !! Terus nanti kalo selesai kegiatan di Batam langsung nyebrang ke Singapura, mau malam tahun baruan di Singapura. Mas boleh ikut ya Bu...!!" Deegh...ada satu rasa yang berdesir dihati, haru, bahwa sebentar lagi tercapai separuh keinginannya yang lain sehingga menjadi sempurnalah apa yang menjadi cita-citanya. Ya, salah satu resolusi 2010 yang ditulisnya sebentar lagi bisa jadi kenyataan (poin keenam dan ketujuh).
Sambil memeluknya saya cuma bisa katakan padanya, "Masya Allah...Alhamdulillah.. Itu kan emang cita-citanya Mas, masa' Ibu ga boleh...". Wajahnya terlihat begitu sumringah bahagia dan saya ikut merasakan kebahagiannya itu.

Dua hari berselang setelah dia menyampaikan kabar gembira itu, si Mas membawa kabar berikutnya, "Bu...kata pak gurunya lomba Pramuka yang ke Batam itu biayanya gede, karena kan mau nyebrang Singapura, jadi harus buat paspor ama lain-lainnya. Satu anak bisa juta-jutaan, kecuali nanti dapet sponsor mungkin biayanya ga terlalu gede. Ayah punya duit segitu ga ya Bu?". Duh, pertanyaannya betul-betul membuat hati Ibunya nelangsa. Saya memahami pertanyaannya itu keluar karena di satu sisi itu adalah keinginannya yang telah lama dia pendam tapi di sisi lain dia menyadari bahwa biaya yang segitu besarnya bakalan merepotkan ayahnya.

Kemudian hari-harinya pun selalu di isi dengan harapan, "Mudah-mudahan banyak dapet sponsor ya Bu...jadi biayanya ga gede banget.." Pernah malah saya temukan uang recehan yang berceceran dimeja belajarnya. Waktu saya tanyakan, "Mas..dimeja belajar itu duit siapa..?", dengan semangat dia katakan, "Itu sisa duit jajan Mas Bu...Mau mas celengin buat nambah-nambahin ongkos ke Batam". Hhhaahh.... lumayan terperangah dan batin ini bercampur baur antara haru dan lucu.

Dan sempat menjadi pertanyaan dan pergolakan batin di hati, kenapa sih ya yang mengikuti event-event perlombaan yang membawa nama negara kok tidak di tanggung pemerintah. Kasihan juga kan gurunya berusaha cari sponsor sana sini untuk meminimalkan biaya yang ditanggung murid-murid. Ya kalo yang orang tuanya banyak duit mungkin ga masalah. Lha ketemunya dengan yang seperti kami, orang tua yang masih banyak kebutuhannya dan masih kerapkali berupaya mendahulukan mana kebutuhan yang penting.

Maka untuk mewujudkan keinginan si Mas itu adalah hal yang teramat berat. Terus terang, maklum namanya juga ibu-ibu, jelas ada rasa tidak tega jika anaknya harus kecewa, apalagi keinginannya itu sangat-sangat positifnya. Tapi di belahan yang lainnya saya harus bisa semampunya untuk memberikan pengertian pada si Mas untuk berbesar jiwa dan berlapang dada jika keinginannya itu adalah sesuatu yang berat untuk dipenuhi.

Maka ketika Ba'da maghrib disaat kami biasanya berkumpul, sering saya juga ayahnya menyelipkan kata-kata yang dengan harapan "Semoga dia mengerti". Pernah saya katakan, "Mas kirain kegiatan Pramukanya tuh enggak segitu gede biayanya, dan Ibu kira juga yang ikut itu yang emang anak-anak yang terpilih dan nantinya dibiayai sekolah terus orang tua paling-paling kasih bekal ke anaknya secukupnya. Kalau ikut lomba harus nyediain biaya segitu gedenya berarti yang bisa berangkat ya anak-anak yang bisa ngandalin duit orang tuanya, bukan karena kepinteran atau keterampilannya. Nanti cerita-cerita yang mereka bawa dari kegiatan tersebut juga hanya akan lewat begitu saja, enggak akan semanis jika kita keluar negeri itu karena usaha kita sendiri. Contohnya, karena pinter nih sekolahnya, eh dapet beasiswa sekolah keluar negeri, gitu lo.. Nah, itu baru hebat. Mas juga besok-besok bisa cerita keteman-teman saudara atau bahkan Mas besok cerita ke anak-anaknya Mas dengan rasa bangga dan bahagia yang beda, karena pake perjuangan dan usaha Mas sendiri".

Terakhir saya mengikuti rapat Wali murid tentang hal itu. Rupanya di akhir tahun tidak banyak perusahaan yang mau memberikan sponsor dengan alasan mau tutup buku atau alasan lainnya, sehingga diputuskan bahwa biaya murni di tanggung wali murid masing-masing anak. Rata-rata dari ibu-ibu yang saya tanya anaknya mau ikut kegiatan tersebut semua jawabannya sama, "Iya, ga tega lihat anak yang ribut aja mau ikut. Masalah biaya demi anak mah diusahain lah".

Sempat salah seorang gurunya berkata kepada saya, "Aufa teh aktif banget di Pramuka mudah-mudahan dia bisa ikut jambore tingkat dunia ya. Besok ke Batam ini Aufa ikut kan Bu...?". Sambil menghela nafas dalam-dalam saya jawab, " Hhhhh.... saya mau tarik nafas dulu Bu... Kalo melihat rincian biayanya, punteun, saya belum bisa mastiin Bu...". Bu guru pembina Pramuka sekaligus guru agama itu tersenyum dengan jawaban saya.

Pulang dari rapat wali murid itu saya sudah dihadang Mas dengan pertanyaannya, "Gimana Bu, ada sponsor enggak? Biayanya berkurang enggak..?". "Enggak tuh Mas, kayaknya sih tetep bayar penuh seperti yang tertera di selebaran rincian biaya itu lho...". "Oh, ya udah.. Mas enggak usah ikut ajalah Bu..", dengan enteng dan santainya dia menjawab seolah langsung bisa terhapus semua angan-angan dari memorinya, atau apakah dia telah sedemikian pandai menyimpan kekecewaan dihadapan ibunya?
Entahlah, saya hanya bisa bernafas lega dan bersyukur tak hentinya kehadirat Ilahi Robbi. Saya katakan padanya, "Alhamdulillaah... rasanya ga usah nunggu Mas Aufa jadi sarjana deh untuk buat ibu bangga. Mas bisa ngerti dan nerima seperti ini sudah membuat ibu banggaa.. banget sama Mas..."

Itu adalah kata yang terucap, sementara dilubuk yang terdalam dengan berusaha menata hati yang bergolak ada terselip doa penghibur, "Tenang Nak, keinginannmu yang belum tercapai kali ini bukanlah suatu kegagalan bagimu, bukan pula karena Allah tidak mengabulkan permohonanmu. Tapi anggap itu sebagai kesuksesanmu yang tertunda untuk selanjutnya akan Allah berikan pada waktu yang tepat. Cerita cita yang tak sampai, bahkan mungkin sempat menimbulkan kekecewaanmu, adalah puzzle kehidupanmu untuk besok kau sempurnakan dengan menemukan potongan-potongan puzzle lainnya yang masih terserak di sepanjang perjalanan kehidupanmu berikutnya. Disertai doa ibu dan ayah selalu, juga semoga tak luput sedikitpun jua dari ridhaNya, Amin..."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar