26 April 2010

Menuju Kesempurnaan..(refleksi setahun wafatnya Mbah Uti)


“Ini jum’at legi..pas sedane (wafatnya) Mbah Uti setahun…” terdengar suara Mbah Kakung, Bapak Mertua saya, disaat saya menelepon beliau Jumat kemarin.
Setahun..? Subhaanallaah… tak terasa waktu begitu cepat. Setahun sudah Mbah Uti, Ibu Mertua saya, berpulang padaNya. Rasanya seperti baru kemarin hari-hari dimana saya berkumpul dan amat sangat dekat dengan beliau.

Kemarin saya sempat bertegur sapa dan bercerita banyak pada seorang teman. Dia menanyakan dimana saya tinggal sebelum di Bandung ini. Saya katakan kalau saya tinggal di kota kelahiran Suami sementara Suami menjalani tugas belajar di sebuah universitas negeri tertua di kota Jogja. Lantas ia terheran-heran, sekaligus bertanya, “Kenapa enggak ikut ke Jogja aja..? Padahal tinggal di jogja itu enak lo..!”

Iya sih, pikiran dan keinginan semacam itu memang sempat saya ungkapkan pada Suami manakala dia mendapat kabar berkesempatan untuk yang kedua kalinya menempuh tugas belajar di kota Jogja. Lagian waktu itu saya merasa, “Ah, pingin ah, cerita hidup yang berbeda. Karena toh dulu sudah pernah dua tahun tinggal bareng Mbah Uti dan Mbah Kakung saat tugas belajar yang pertama dulu (pernah saya tulis di sepenggal catatan ketika menengok Ibu mertua). Apalagi waktu itu Mbah Uti dan Mbah Kakung tidak tinggal berdua saja, tapi ada adik ipar bungsu dan istrinya yang menemani”.

Tapi saya ingat betul ketika keinginan itu lalu saya sampaikan melalui telepon pada Mbah Uti dengan sangat hati-hati agar beliau mengerti. Rupanya beliau terus ribut (biasalaaah seperti seorang ibu pada umumnya hehe.. ) Yang beliau pikirkan adalah kalau kami tinggal di Jogja bagaimana nanti jika saya melahirkan nanti karena waktu itu saya tengah mengandung putri ketiga. Dari berbagai alasan yang beliau kemukakan, intinya saya bisa menangkap bahwa Mbah Uti dan Mbah Kakung ingin saya dan anak-anak tinggal lagi bersama mereka.

Memang akhirnya saya dan suami sepakat memilih sementara hidup terpisah lagi untuk yang kedua kalinya. Suami kost di Jogja sementara saya dan anak-anak yang menanti kelahiran adiknya tinggal di kampung ngeramein rumah Simbahnya . Kata temen saya tadi,“Waah… itu menantu yang baik namanya…“

Hhmm… menantu yang baik kah saya ? Sepertinya masih jauh dan malu hati jika ada yang berkata seperti itu, karena terus terang, menjalani hari-hari tinggal di rumah mertua saya malah merasa betapa kami sebagai anak masih terlalu seringnya merepotkan orang tua. Belum sepenuhnya bisa membahagiakan mereka.

Awalnya di dalam otak saya hanya bertumbuh liar berbagai pikiran, bahwa di usia mereka yang senja harusnya mereka bisa tenang tanpa aneka warna keributan anak-anak kecil lagi. Atau itulah saatnya santai menikmati hari tua dan sesekali refreshing saja jalan-jalan sambil menengok anak cucu. Ternyata Mbah Kakung juga Mbah Uti malah sebaliknya, ingin saya dan anak-anak tinggal bersama mereka.

Dengan beragam polah tingkah anak-anak yang tadinya saya anggap bakal merepotkan Si Mbahnya tentunya, ketambahan saya si menantu dengan kehamilan yang semakin membesar dan menunggu waktu melahirkan, saya merasa hal itu membuat beliau berdua otomatis harus ikut khawatir dan siaga karena Suami sendiri baru bisa pulang setiap akhir pecan saja. Ternyata justru beliau berdua dengan pikiran dan cara pandang sebagai orang tua malah merasa tenang kalau saya yang mau melahirkan dekat dengan mereka plus anak-anak tinggal bersama mereka.

Melalui episode cerita kehidupan saya pada bagian ini cuma bisa saya jadikan bahan perenungan, bahwa sebenarnya dimana-mana orang tua itu kadang ingin salah satu anaknya ada yang dekat dengan mereka, walau tidak mesti satu rumah untuk menemani masa-masa tua mereka. Alhamdulillah, ketika pilihan itu dihadapkan pada saya, antara mementingkan ego sendiri untuk tinggal bersama suami di Jogja yang tidak bisa saya tepis bahwa memang sejujurnya lebih nyaman jika kumpul sekeluarga, ataukah tinggal bersama mertua untuk menemani hari-hari tua mereka. Adalah Allah memberikan saya kemantapan hati untuk mengambil pilihan yang kedua, menemani mertua.

Terlalu baikkah saya sehingga mengenyampingkan keinginan saya sendiri? Ah, kayaknya enggak juga deh. Posisi saya sebagai anak yang telah kehilangan kedua orang tua kandung sepertinya yang amat sangat mendasar dan mendorong hati saya berbuat yang terbaik pada kedua orang tua Suami, mertua saya. Rasa penyesalan teramat sangat saya rasakan ketika harus kehilangan ayah dan ibu kandung sendiri dengan cepatnya tanpa saya bisa berbakti banyak buat keduanya, yang belum sempat rasanya saya membahagiakan mereka, sementara dosa saya pada mereka tak terhitung banyaknya.
Ya..sebab inilah juga yang mendorong saya begitu kuatnya untuk memilih tinggal bareng mertua lagi. Jujur, saya hanya ingin mengganti waktu-waktu berbakti saya yang hilang pada kedua orang tua saya.

Do the best and let God do the rest ( Berusahalah sebaik mungkin maka biarlah Tuhan yang akan menyempurnakannya ), itu untaian kata mutiara yang saya pernah baca.

Memilih tinggal bareng mertua dengan beragam cerita yang telah mengisi hari-hari saya dan anak-anak adalah usaha saya, tanpa saya dulu berharap akan jadi seperti apa ujung ceritanya. Namun Allah ternyata betul-betul telah menyempurnakannya. Jauh direlung hati saya ada puncak kebahagian saya, tanpa bermaksud membanggakan diri.

Manakala Allah berkenan memanggil Ibu Mertua di tahun kemarin, di hari-hari terakhir beliau, saya memperoleh cerita bahwa selama beliau dirawat di rumah sakit, pernah mengutarakan satu keinginan, kalau beliau sudah boleh pulang dari rumah sakit, beliau ingin ke Bandung, tinggal di rumah kami, agar sayalah yang nanti menemani beliau.

Saya tahu selama bersama Mbah Uti, beliau bukan tipe yang suka memuji. Tak pernah saya dengar dari beliau kata-kata pujian atau sanjungan yang membuat saya melayang atau merasa sayalah mantu yang paling disayang. Tapi keinginan yang terlintas sebelum beliau berpulang, menimbulkan harapan saya untuk sampai kepada tahapan menuju kesempurnaan atas apa yang telah saya lakukan selama kumpul bersama beliau.
Ya, tahapan menuju kesempurnaan, karena saya menyadari apa yang saya lakukan buat beliau belum sebanding dengan semua pengorbanan beliau sebagai seorang Ibu.
Hanya Keridhaan Allah-lah yang bisa saya harapkan dapat menghapus dosa-dosa saya sehingga mungkin kelak menghantarkan saya pada kesempurnaan. Sempurnanya saya ketika kembali diperkenankanNya bisa menemui serta menemani beliau juga Almarhumah Ibu, Nenek dan Almarhum Ayah saya di surga, di jannahNya yang na ‘iim……Amiin…

----------------------------------------
Bandung 26042010, Mengenang satu tahun wafatnya Mbah Uti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar