18 Oktober 2009

Jalur Alternatif Garut-Kadungora-Cijapati-Bandung



Sudah sejak lama saya berkeinginan menjelajahi jalur alternative Garut-Kadungora-Cijapati-Majalaya-Bandung. Hal ini disamping memang kegemaran saya mencari jalur-jalur alternative baru di jalan yg biasa saya lalui, saya juga ingin mendapat solusi seandainya terjadi kemacetan panjang di jalur utama Nagreg karena saya paling tidak suka terjebak macet. Bagi saya lebih baik jalan lebih jauh dan memutar tetapi tetap berjalan dengan minimal kecepatan normal daripada tetap di jalur semula yang berjalan dengan merayap.
Jadi keinginan saya tersebut ternyata kesampaian ketika pulang balik dari mudik lebaran tahun ini. Sebelumnya saya telah mengumpulkan banyak informasi tersebut melalui internet. Dan informasi yang paling berperan adalah bagi saya citra satelit yang disediakan secara gratis oleh wikimapia.org dan google maps. Dari citra satelit tersebut saya memperoleh gambaran, meskipun sifatnya seperti datar wong dari angkasa, yang sebenarnya mengenai kondisi dan bentangan alam yang ada, sehingga saya bias mengira-ira jalur mana yang akan saya tempuh nanti , seberapa jauh, apa ancar-ancarnya dan sebagainya.
Begitulah, dalam perjalanan balik ke Bandung setelah mudik lebaran di jawa itu sejak awal memang sudah saya rencanakan untuk tidak melewati Ciawi, Malangbong dan Nagreg seperti umumnya, tetapi saya akan melewati jalur Ciamis-Tasikmalaya-Singaparna-Garut, kemudian lewat jalur alternative Kadungora-Cijapati. Saya berangkat dari kampong dini hari Minggu. Perjalanan sampai dengan Ciamis lancer padahal pada saat itu diperkirakan arus puncak balik terjadi. Kepadatan mulai terasa setelah Ciamis terlewati, karenanya saya merasa tepat mengambil langkah belok kiri menuju Tasikmalaya-Garut.
Dan kenyataanna jalur Tasik-Garut memang biasa keramaiannya sehingga saya bias berhenti sholat dhuhur di masjid besar Singaparna. Kemudian perjalanan dilanjutkan dan saya putuskan istirahat sebentar sekalian makan sore (karena untuk makan siang sudah terlambat) di suatu rumah makan di luar kota Garut. Setelah jam mennjukkan pkul setengah lima perjalananpun dilanjutkan.
Sesaat kemudian sampaiah kita di Kota Kadungora ,sebuah kota kecamatan yg berjarak sekitar 10 km setelah kota Garut. Dan setelah melompati rel kereta api saya sampai di sebuah pertigaan yang terpampang petunjuk arah jalur alterrnatif Cijapati. Kebetulan saat itu beberapa petugas polisi mengarahkan kendaraan pemudik untuk lebih baik melewati jalur Cijapati daripada Nagreg karena telah terjadi kemacetan di sana.
Segera saya belokkan stir ke kiri dan mengikuti jalan itu. Ada beberapa mobil di depan dan di belakang yg sedikit membuat saya nyaman karena ada teman. Jalannya mulus sekali dan tidak terlalu lebar sekitar 5 meteran tetapi juga tidak terlalu ramai. Rumah-rumah dan kampong masih berderet di sepanjang jalan. Kebetulan dari citra satelit dari Google Earth, ruas dari Kadungora sampai dengan perbatasan Kabupaten Bandung masih menggunakan citra resolusi rendah shingga saya tidak memperoleh gambaran sama sekali mengenai situasi jalan ini. Berbeda dengan ruas yang di Kab. Bandung telah disediakan citra resolusi tinggi sehingga saya sudah banyak mempelajari jalur tersebut sebelumnya.


Setelah melewati jalur rel kereta api (jalur rel KA Cibatu-Garut), jalan mulai menanjak dan terdapat sebuah pertigaan dengan pos polisi. Di pertigaan tersebut kita belok ke kanan dan ternyata di situlah awal mulanya tanjakan di jalur Cijapati yg sering saya dengar itu. Di beberapa titik mobil mengantri menaiki tanjakan itu karena memang lebar jalan yg sempit dan khawatir tidak cukup ada jarak bila mobil di depannya tidak kuat menanjak.
Kalau anda sudah pernah mengenal tanjakan ketika menuju kawasan Dieng Plateau di Jawa Tengah, maka ternyata jalur tanjakan CIjapati ini memiliki kemiripan, hanya ternyata jaraknya yang lebih panjang. Karenanya memang benar untuk melewati jalur ini, mobil kita harus benar-benar bagus kondisinya setidak-tidaknya memiliki tenaga cukup, kopling tak bermasalah, rem tangan yang berfungsi baik dan kondisi pendinginan mesin yang bagus.
Dan ketika kira-kira di pertengahan tanjakan itu saya melihat banyak orang berjalan kaki menyusuri tepi jalan. Saya pikir tadinya ada keramaian apa, tetapi setelah mencapai pundak tanjakan baru saya ketahui bahwa orang-orang yang berjalan tadi adalah para penumpang mobil angkutan umum atau angkutan pribadi sejenis carry pick-up, baik yang bak terbuka atau station wagon, yang rupanya harus menurunkan penumpangya terlebih dahulu agar kuat menaiki ruas tanjakan terakhir. Kasihan para penumpang itu ya, apalagi saya lihat beberapa diantaranya orang tua dan berbadan besar (gemuk).
Akhirnya sampai juga saya di ujung tanjakan itu. Berada di puncak jalur Cijapati menjelang matahari terbenam kemudian menjadi terasa menyenangkan karena pemandangan alam kea rah lembah Bandung menyajikan pemandangan senja yang indah. Selanjutnya jalur jalan terus menurun dengan landai ditingkahi dengan sekali-kali tanjakan pendek. Jalur berkelak-kelok banyak sekali sehingga kesempatan menyalip kendaraan di depannya sungguh sempit. Di kanan kiri jalan perkampungan penduduk sudah ramai bahkan di beberapa titik banyak terdapat warung-warung makan kecil lesehan seperti di jalur Tangkuban Perahu – Ciater. Jadi tidak sesepi yang saya bayangkan sebelumnya.
Ketika jalur telah lurus dan mendatar berarti sudah mendekati pertigaan Majalaya-Cicalengka. Dari petigaan tersebut kalau kita berbelok ke kiri berarti kita menuju Cicalengka dan bergabung lagi dengan jalur utama masuk kota Bandung sebelum Cileunyi. Sedangkan kalau berbelok ke kiri berate menuju kota Majalaya tetapi juga terdapat jalur alternative menuju kota Bandung tanpa harus melewati Cicalengka-Cileunyi. Dan saya memutuskan untuk mengambil belokan ke kiri meneruskan petualangan berikutnya melewati jalur alternatif Majalaya-Bandung……

Tidak ada komentar:

Posting Komentar