29 Agustus 2009

Kebahagian ketika waktu berbuka


Mengenang masa kecil di bulan Ramadhan rasanya semua dari kita pasti mempunyai cerita-cerita unik lucu. Dan jika di ulang untuk menceritakannya kembali, kita akan menceritakanya dengan bersemangat sambil teringat akan kejadian yang sekarang justru bikin kita tertawa geli sendiri. Atau bahkan karena mengenang masa kecil yang indah muncullah angan-angan kita andaikan bisa tuk sejenak kembali ke masa kecil dulu.

Begitupun saya, tidak hanya geli ketika terkenang masa kecil saya, khususnya masa kecil di bulan Ramadhan, tapi juga saya tak kuasa tuk menahan tawa jika suami bercerita tentang keusilannya di kala kanak-kanak di bulan Ramadhan ini. Dari yang berebutan menyembunyikan pukulan bedug dengan teman-temannya sehingga harus saling balapan siapa duluan datang ke musholla. Lalu kain sarung yang berubah fungsi ketika tarawih usai karena diisi bermacam-macam takjilan yang tersedia, walaupun akhirnya tidak semua dari takjilan itu sanggup untuk di makan (he..he..ada-ada saja…maklum nafsu anak kecil ). Dan sepertinya tidak beda dengan saya sendiri waktu kecil dulu, yang sebelum berbuka semua aneka makanan telah siap di depan mata dengan duduk manis bersila sambil menghitung jarum jam, kira-kira berapa lama lagi bedug maghrib atau bunyi sirine tanda berbuka akan terdengar. Dan lucunya, di musholla dekat rumah setiap menjelang berbuka selalu memperdengarkan siaran langsung dari Masjid Agung Palembang lewat stasiun RRI, berupa tilawah Al-Quran. Maka tidaklah heran jika waktu itu saya begitu khusyu’ mendengarkannya dengan pandangan mata yang tak pernah lepas dari hidangan makanan berbuka. Khusyu’nya saya bukan karena saya menghayati bacaan Al-Qur’an itu. Tetapi, karena satu hal saja, yaitu menunggu saat sang Qori’ (pembaca Al-Quran)nya sampai pada bacaan, ”Shodaqallaahul a’zhiim.....” ha..ha..ha... Karena inilah tanda akhir dari segala perjuangan setelah menahan lapar dan haus seharian penuh. Dan bikin saya tersenyum sendiri jika mengingatnya adalah, ketika saya satu waktu terkecoh dengan alunan sang Qori’ yang makin lama iramanya makin pelan dan saya sudah menduga akan bacaannya yang telah sampai di penghujung, ya Shodaqalllahul a’zhiim tadi, maka makananpun telah siap di tangan tinggal menunggu hitungan detik untuk segera masuk ke dalam mulut. Tapi olala rupanya sang Qori masih meneruskan lantunan ayat suci kembali dengan alunan irama tilawahnya yang meningkat .....uuuhh...hahaha....

Masih banyak kenangan lainnya untuk di ceritakan kembali yang saya rasa bakalan tak akan ada habisnya.

Tapi yang paling berkesan dari saat-saat Ramadhan ketika kecil (dan Alhamdulillah, untuk sekarang saya bisa terapkan kepada anak-anak) adalah bagaimana ibu dan ayah saya yang tidak pernah memaksakan saya dan saudara-saudara saya untuk berpuasa. Pun tidak marah jika kami tidak kuat satu hari penuh berpuasa dan terpaksa berbuka di saat adzan zhuhur. Juga tidak menjanjikan atau memberikan hadiah kalaupun kami bisa sukses puasa satu hari penuh. Jika tidak puasa ataupun batal di tengah puasa dengan macam-macam alasan ala anak kecil, yang tidak kuat laparlah , hauslah atau bahkan kadang mengaku pusing, maka hanya ada satu peraturan yang harus di taati, yaitu kalau tidak berpuasa tidak boleh ikut-ikutan makan jika waktunya berbuka. Mendekati orang yang lagi berbuka juga tidak boleh apalagi untuk ikut menikmati hidangan berbuka. Kadang serasa menjadi anak tiri, mau merengek, merayu bahkan menangis sekalipun dengan alasan hanya ingin mencicipi saja, yang namanya Nenek, Ibu atau Ayah kompak tidak akan memberikan kelonggaran. Kata mereka, jika tidak puasa dan mengganggu orang yang berbuka kelak di akhirat kepalanya akan penuh dengan ulat......hhiii...seram....
Nanti setelah semua selesai berbuka barulah kita yang tidak puasa boleh makan aneka jajanan yang sudah tinggal sisa-sisa. Bayangin, betapa engga enaknya jika kami tidak berpuasa, karena justru di saat berbuka itulah saat yang asyik untuk rebutan bahkan bisa memilih-milih mana yang akan di makan duluan, yang seringkali belum berhenti kalau belum kenyang.

Setelah saya bisa menalar, cara mendidik Ayah dan Ibu juga Nenek agar kami punya semangat juang puasa sampai maghrib sepertinya cukup sederhana namun punya makna yang luar biasa. Karena motivasi kami untuk kuat berpuasa hanya satu, biar bisa ikut bareng menyantap hidangan buka di saat adzan maghrib tiba. Maka baru tersadarlah saya memanglah saat buka adalah saat yang paling bahagia apalagi untuk ukuran usia anak-anak yang rasanya puasa itu adalah suatu perjuangan yang berat untuk menahan lapar dan haus seharian penuh, malah kadang tambah tidak kuat lagi kalau melihat godaan temannya yang makan karena tidak puasa.

Tidak hanya ketika kanak-kanak kebahagian berbuka itu saya rasakan. Bahkan sampai sekarang pun rasa itu tetap ada. Cerita bisa berubah ketika saatnya saya mendapat dispensasi dari hukum agama boleh tidak berpuasa di karenakan tamu bulanan (biasa...ibu-ibu..he..he..). Maka di waktu maghrib kala menemani anak-anak dan suami berbuka saya kok jadi hampa ya..ada rasa satu kebahagiaan yang hilang di saat itu.

Jadi yang dapat saya simpulkan, begitu sederhana orang tua saya menanamkan kepada anak-anaknya bahwa kami harus sanggup puasa bukan karena termotivasi hadiah ataupun pujian atau karena ancaman. Tapi mereka menumbuhkan di jiwa anak-anaknya, yang pertama, bahwa kalau puasa maka akan merasakan kenikmatan berbuka. Dan jika tidak sanggup puasa terima konsekwensinya dengan tidak boleh mengganggu orang yang lagi berbuka. Dan yang kedua, puasa itu semata untuk Allah dan bukan karena sesuatu hadiah yang telah di janjikan oleh orang tua.

Di dalam salah satu hadist qudsi Allah berfirman:
“”Setiap amal anak adam adalah untuk dirinya sendiri kecuali puasa, maka sesungguhnya puasa itu untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya.
Bagi mereka yang berpuasa ada dua kebahagian yang mereka peroleh, kebahagian ketika waktu berbuka dan kebahagian ketika berjumpa Tuhannya””
( HR. Imam Buchori dan Imam Ahmad )

Bermacam-macam cara orang tua kita dahulu melatih anak-anaknya menunaikan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Dan apapun caranya serta bagaimana pejuangan kita di dalam Ramadhan sehinga menjadi terlatih berpuasa telah membekas di hati kita masing-masing dan selalu indah untuk di kenang. Sekarang giliran kita ingin Ramadhan sebagai bulan yang paling berkesan untuk putra-putri kita kenang.

Alhamdulillaah…terima kasih telah menyempatkan membaca cerita saya yang mungkin cukup panjang ini, semoga berkenan. Alhamdulillaah wa syukrulillaah kita telah melangkah pada hari ke ke delapan di bulan Ramadhan ini dari sepuluh hari yang dijanjikan penuh dengan rahmat Allah. Untuk selanjutnya mudah-mudahan kita bisa terus memasuki sepuluh hari di tahapan kedua yang penuh dengan maghfiroh/ampunan Allah dan Insya Allah kita bisa sampai tahapan di penghujung Ramadhan di mana saat-saat itu di jauhkannya kita dari api neraka Amiin..amiin..Ya Robbal A’lamiin…

26 Agustus 2009

Lambaian Tangan Bunda


Sepulangnya saya dari rumah seorang teman, muncul rasa iri di hati ini.
Pun ketika kemarin menjemput seorang teman untuk sama-sama pergi ke masjid, kembali di hati ini singgah rasa iri.
Tapi semogalah Allah memaklumi akan rasa iri yang tiba-tiba saja hadir di relung hati.

Bagaimana tidak iri diri ini, waktu main kerumah teman yang di rumahnya sedang kedatangan ibu mertuanya dari kota Demak.
Bagaimana tidak iri, karena tak akan lagi saya rasakan kedatangan ibu mertua yang biasanya datang untuk menengok kami anak cucunya.
Bagaimana tidak iri, saat bahagia tak lagi akan kami rasakan ketika anak-anak menjadi senang, apalagi si Adek, si bungsu, yang biasanya langsung spontan berteriak kegirangan sambil melompat-lompat jika di beri tahu kalau Uti (begitu dia memanggil simbah putrinya, Ibu mertua saya) mau datang ke Bandung. “ Hoye..Uti mau daten!! Hoye..hoye..", begitu teriakan cadelnya. Padahal Uti belum pun datang dan itu hanya baru kabar yang terdengar oleh mereka.

Dan iri itu hadir kembali di hati manakala kemarin menjemput seorang teman untuk sama-sama berangkat ke masjid . Karena di rumahnya sedang ada ibunya yang telah beberapa hari datang dari Bogor.
Tatkala kami pamit dan teman saya itu mencium tangan ibunya, begitupun saya ikut pamit dan mencium tangan beliau, tidak hanya iri tapi juga ada rasa perih dan sedih di hati ini. Apalagi pas kami hendak keluar pagar beliau melambaikan tangannya kepada kami.

Ah..…ya…’lambaian tangan’ yang tulus seorang ibu…
Yang dulu serasa biasa saja dan tak ada artinya.
Tapi sekarang di saat tidak ada lagi Bunda dan Ibu, lambaian tangan ibu teman saya tersebut mampu membuat air mata ini menetes tanpa di sangka…

Dan sekilas hadir kenangan akan lambaian terakhir Bunda di bandara, dulu sewaktu kami akan pindah dari Palembang ke pulau Jogja. Saat itu beliau mencium saya dan si sulung kami yang waktu itu baru berusia satu tahun sambil menangis terisak seakan-akan tidak akan berjumpa kembali. Sempat saya tertegun dan berkatalah hati ini, “Ibu..kok menangis seperti itu ya..kan kami pindah tidak lama cuma satu setengah tahun dan akan pulang ke Palembang lagi, karena suami hanya tugas belajar bukan pindah dinas..”

Tetapi....ternyata memang itulah ciuman dan lambaian Bunda yang terakhir…………….

Dan tidak beda dengan ibu mertua saya, yang akan selalu setia berdiri di teras depan rumah untuk menghantarkan kami anak cucunya ketika kami akan kembali pulang jika telah selesai berlibur. Lambaian tangannya masih terus membayang di jiwa dan beliau tidak akan masuk kedalam rumah sebelum mobil yang kami tumpangi hilang dari pandangannya.

Sekarang cukuplah bagi saya untuk terus mengenang dan menahan kerinduan akan lambaian tangan ibu yang setia mengiringi setiap kami hendak pergi.
Sekarang cukuplah juga bagi saya untuk bisa menitipkan pesan kepada teman –teman saya tersebut untuk memuliakan dan mengasihi ibu mereka yang masih di karuniakan Allah kesehatan dan kesempatan untuk datang menengok anak cucunya.
Dan juga rasakan dengan sepenuh hati dan segenap cinta setiap melihat lambaian tangan yang tulus dari mereka.

Memanglah akan terasa sangat beharganya seseorang jika ia telah tidak bisa lagi hadir di tengah-tengah kita, jika ia telah tiada.
Sebagaimana yang saya rasakan, betapa baru terasa indah, begitu berarti dan beharganya lambaian tangan seorang ibu kala melihat lambaian itu dari ibu teman saya setelah tidak mungkin lagi saya akan melihat lambaian tangan tulus penuh kasih dari ibu sendiri dan pun dari ibu mertua…………..



Bandung, Ramadhan 1430 H

21 Agustus 2009

Botram

“Bu…., kita botram yukk…”, itu ajakan tetangga saya, saat awal-awal tinggal di kota Bandung. Ajakan tersebut spontan membuat saya bertanya, “Botram…? Apaan tuh..?”.
“Gini Bu…Ibu masak apa gitu, saya yang nyambel dan sedia lalap, nanti yang lain juga kebagian masak apa, trus kita makan bareng-bareng...”. Itu penjelasannya.
“O…makan bareng itu botram namanya kalau di sini, saya kira apaan..”. Karena, kebetulan juga saya tidak bisa temukan artinya ketika membuka kamus bahasa Sunda.

Sudah dua hari ini menjelang Ramadhan acara saya adalah botram. Dari kumpul bareng ibu-ibu majlis ta’lim, ibu-ibu penunggu anak sekolah, sampai dengan antar tetangga . Bertambah repot dan sibuk juga lo, karena harus mikir dan menyiapkan masak apa kira-kira yang pantas. Dan lagi tidak bisa langsung makan, seperti misalnya kita janjian sama teman untuk makan di restoran.

Lucunya ketika botram karena semua yang ikut menyumbang atau membawa makanan sendiri-sendiri, maka sudah jadi kebiasaan pula di antara kita tidak bakalan makan masakannya sendiri tapi yang di incer pasti masakan tetangga, karena merasa masakan tetangga lebih enak. Ya, mungkin seperti pepatah bilang ‘rumput tetangga lebih hijau dari rumput rumah sendiri’, maka di botram mungkin bisa di ganti dengan ‘masakan tetangga lebih enak dari masakan sendiri’, ha..ha..ha.. mengarang dikit….

Walau tambah repot dan sibuk di dapur tapi saya amat sangat menikmatinya. Saya amat bersyukur bisa tahu dan merasakan keberadaan acara botram ini. Dan yang pasti di balik acara tersebut ada makna yang besar akan ikatan tali silaturrahmi dan berbagi ilmu tentang masakan.

Ada anggapan, “Alaah.. yang namanya ibu-ibu kalau ada acara ngumpul paling-paling isinya ngegosip melulu”. Ah, mungkin jangan suudzon (berprasangka buruk) dulu dong sama kita-kita yang kerjaannya hanya ibu rumah tangga dan senengnya kumpul-kumpul ( ha..ha..membela diri ceritanya), walau itu tudingan yang wajar dan sudah jadi rahasia umum. Tapi engga kok... bener deh ! Di acara botram kita, para ibu rumah tangga itu tidak ada yang namanya gosip. Yang ada kita saling melempar canda juga bercerita seputar bagaimana cara memasak menu yang baru saat itu kami tahu setelah saling cicip-mencicipi. Dan jadi tahulah kita apa saja bumbu-bumbu rahasianya. Maka, Alhamdulillah, bertambahlah koleksi menu masakan tanpa repot-repot membaca resep di majalah.

Oya, ada lagi, khusus tetangga yang tidak suka masak, biasanya dapat jatah pilihan yang gampang, yaitu membawa buah-buahan untuk pencuci mulut atau kerupuk atau nasi. Dan lebih serunya lagi kalau sudah selesai kita akan beres-beres dan cuci piring bareng. Untuk cuci piring barengnya bukan botram lagi namanya. Kira-kira apa ya namanya? Ah, untuk yang ini saya tidak mau ngarang lagi, takut…, soalnya menyangkut nyariosna tiang Sunda euy …ha..ha..ha..

Ya, baru di Bandung ini saya mengetahui cara pengungkapan suka cita menyambut awal Ramadhan (awal Ramadhan menurut kamus bahasa Sunda di sebut juga dengan istilah ‘munggah’) melalui acara botram itu, yang juga sekaligus sebagai ajang untuk saling berkumpul memberi dan meminta maaf. Ah, Indonesia ini memang kaya akan bahasa dan adat kebudayaan. Beruntung rasanya saya, karena memiliki suami yang berpindah-pindah tugas kerja, maka menjadi banyak teman, mengalami banyak rangkaian cerita, mendapat berjuta kenangan dan kaya akan pengalaman. Walau terkadang kasihan juga melihat anak-anak yang harus pindah-pindah sekolah dan harus bisa beradaptasi dengan suasana dan lingkungan yang berubah-berubah pula. Tapi saya hanya bisa berpikir positif, mudah-mudahan anak-anak saya juga dapat mengambil hikmah atas semua pengalaman dan keprihatinan mereka yang harus ikut boyong sana-sini.

Dan acara botram menyambut munggah itu akan jadi perbendaharaan kenangan dan pegalaman yang akan terus melekat di hati.

05 Agustus 2009

Kedatangan Mbah Kakung

Si Adek masih sakit Alhamdulillah walaupun sakit Adek tidak rewel, malah dia lebih banyak diam jadi tidak ceriwis dan rumah terasa sepi dari celotehannya untuk beberapa hari ini.
Kalau Ayah Mas Aufa dan Mbak Wawa sudah lumayan sehat tinggal batuk-batuknya saja nih yang kayaknya masih bertahan, karena yang namanya batuk sepertinya awet dan susah untuk sembuh dengan cepat.

Beberapa hari yang lalu Mbah Kakungnya Anak-anak mengabarkan akan ke Jakarta dalam rangka menghadiri akad nikah salah satu putri dari temannya Mbah Kakung, dan Insya Allah pulangnya Mbah Kakung akan mampir ke Bandung.

Si Adek yang karena sakitnya menjadi tidak nafsu makan, tapi ketika di bujuk untuk makan dengan kata-kata " Ayo..Adek maem..biar cepet sehat besok kan Mbah kakung mau ke rumah Adek" Maka Alhamdulillah bujukan itu rupanya sangat jitu karena si Adek langsung makan apa saja yang di suapin oleh Ibunya, sepertinya kabar kedatangan Mbah Kakung sudah merupakan penyemangat dia dan obat mujarab biar cepat sembuh.

Si Adek memang cucu yang lumayan dekat dengan Mbah Kakung dan Mbah Utinya, dikarenakan lebih dari dua tahun kami tinggal di rumah Si Mbah ( kota Wonosobo), sedangkan Ayahnya anak-anak hidup sebagai anak kos menjalani tugas belajar di kota yogya, PJKA kalau istilahnya Pulangnya Jumat Kembali ke kos-kos-an Ahad he..he... Maka dari itu sangat bisa dimaklumi jika Adek menjadi dekat dan terjadilah ikatan batin yang kuat antara Adek terutama dengan Almarhumah Mbah Utinya. Masih saya ingat betul masa-masa Adek pertama bisa tengkurap kemudian merangkak dan belajar duduk kemudian di tetah belajar berjalan atau apapun kepintaran yang baru di pertunjukkan oleh Adek maka semua menjadi hiburan dan kegembiraan Mbah kakung dan Mbah Uti, bahkan Mbah uti juga paling rajin bernyanyi-nyanyi untuk Adek sambil berkata " Nek ana cah cilik neng omah atine seneng.. rame omah-e Uti jadine isa nyanyi-nyanyi terus eh..." Allaah Robbi... kenangan yang teramat manis.

Pernah juga ketika Uti sakit dan harus opname di Rumah Sakit besoknya Adek juga sakit, sedangkan saat itu Ayah tidak bisa menemani dan harus balik ke Yogya karena jadwal kuliah yang tidak bisa di tingalkan, padahal sekitar jam sebelas malam Adek mengalami kejang dan melalui pertolongan tetangga yang kebetulan seorang bidan menganjurkan Adek harus segera dibawa ke rumah sakit karena takut menyerang syarafnya, dengan di antar tetangga sepanjang perjalanan didalam mobil saya hanya bisa menciumi Adek yang lemah dan terdiam seraya doa yang tiada henti “ Ya Allah saya masih ingin merawatnya saya masih ingin mendidiknya …mohon beri saya kesempatan…”

Malam itu kami menuju Rumah sakit yang sama dimana Mbah Uti sedang di rawat, dan dengan perlahan tetangga yang mengantar memasuki kamar Mbah Uti dan rupanya Mbah kakung memang belum tidur, sehingga begitu mendapat kabar Mbah Kakung secara perlahan-lahan menjaga Mbah Uti yang lagi tertidur agar tidak terbangun segera menuju ruang UGD dimana Adek sedang di tangani oleh beberapa perawat dan dokter jaga. Hati saya tadinya panik sedih ditambah suami yang jauh maka di saat seperti inilah kehadiran Mbah Kakung yang tanpa jeda melafadzkan doa-doa untuk si Adek seketika membuat hati ini nyaman aman dan merasa tidak ada lagi yang perlu di sedihkan.

Alhamdulillah…setiap episode kehidupan memanglah anugerah yang selalu penuh makna dan hikmah…

Kalaupun sekarang ceritanya Si Adek yang sakit dan kembali sehat dan pulih dengan cepatnya semua juga tak terlepas berkat izin dan karunia Allah melalui perantara bahagianya si Adek karena kedatangan Mbah Kakungnya……

02 Agustus 2009

Lagu yang di nyanyiin Adek...

Ini kisah si pohon kecil
Tumbuh ditengah padang yang indah
Rimbun daunnya menaungi
Semua sahabat yang ada di dalamnya

Di bawahnya kita bermain
Bercanda bersama
Dibawahnya kita belajar
Berbagi kasih Allah

Tulus kasih
Engkau memberi
Semua yang ada di diri mu
Pohon kecil ajari kami
Berbagi kebaikan seperti diri mu


Di atas adalah teks syair lagu kegemaran Adek, tadinya Adek walau engga ada yang ngajari tapi pinter juga nyanyiin lagu orang gede, biasa.. ikut-ikutan kakak-kakaknya. Sampai suatu saat di tv menayangkan Kak Seto yang membahas dampak psikologis jika anak kecil menyanyikan lagu orang dewasa, Adek yang ikut nonton bersama saya seakan-akan ikut ngerti dan sejak saat itu jika mendengar Mas atau Mbaknya menyanyikan lagu-lagu orang dewasa dengan gayanya yang kayak orang tua ia akan menyela " Ndak boleh nyanyi lagu itu...nanti di malah syama Kak Seto.." he..he..
Jadi jangan heran jika pagi hari yang terdengar dari rumah kita hanya lagu anak-anak, persis seperti taman kanak-kanak dan sayapun mengerjakan pekerjaan rumah tangga engga akan terasa karena di iringi lagu-lagu kegemaran Adek.
Dan karena itu kita rajin berburu kaset lagu anak-anak dan senengnya lagi kaset lagu anak-anak yang lama masih ada yang menjual lumayan Adek jadi punya banyak pilihan mana yang mau di dengerin.

01 Agustus 2009

Perpajakan dalam Jual Beli Tanah (2)


Membeli sebuah rumah atau tanah, apalagi untuk yang pertama kali, atau sebagai investasi, adalah suatu pekerjaan yang membutuhkan ketelitian, kecermatan dan kehati-hatian. Hal ini tentu disebabkan karena disamping nilainya yang pasti tidak murah tentunya, bahkan kalo perlu ditebus dengan keprihatinan bertahun-tahun bagi yang mengambil kredit perbankan, tetapi yang lebih utama adalah bahwa aspek hukum dan perpajakan atas suatu peralihan kepemilikan tanah dan bangunan adalah hal yang tidak bisa diabaikan. Salah-salah maunya berinvestasi atau memulai suatu babak kehidupan di rumah sendiri, eh, malah tersandung dengan masalah hukum mapupun perpajakan yang bisa-bisa sampe membuat semuanya berantakan.

Nah, dari tulisan saya yang kemaren tentang kisah pak Banu yang mendapat masalah perpajakan pada waktu membeli rumah barunya, di sini saya dengan kompetensi, pengalaman dan aksesibilitas yang saya miliki, akan mencoba mengenalkan aspek perpajakan yang harus kita ketahui apabila kita akan membeli suatu rumah atau tanah (selanjutnya kita sebut saja properti). Tetapi saya tidak akan membahas atau bahkan tidak mencantumkan aturan atau dasar hukum yang berkaitan, tetapi terlebih pada sisi pratik yang umumnya ditemui sesuai dengan kegiatan pekerjaan saya sehari-hari ataupun dari pengalaman2 orang lain yang bisa saya rekam.

Bahasan ini mencakup dengan apa yang dimaksud dengan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan kemudian tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Kedua jenis pajak inilah yang harus kita kenal apabila kita memperoleh hak kepemilikan atas suatu tanah dan bangunan, baik dari jual beli, hibah, waris, lelang dsb.

1. PBB
PBB merupakan salah satu pajak pusat yang pengelolaannya dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak Departemen Keuangan, disamping Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penghasilan (PPh), Bea Materai dan lainnya. Jadi meskipun seluruh pendapatan dari PBB menjadi pendapatan asli daerah (PAD) tetapi PBB belum dikelola oleh Pemda. Ditjen Pajak dalam hal ini KPP sebagai unit terkecilnya melaksanakan sepenuhnya pengelolaan PBB mulai dari pendataan, penilaian, penetapan, maupun pelayanan wajib pajak. Tetapi dalam hal tertentu KPP akan bekerja sama dan berkoordinasi dengan Pemda, misalnya penentuan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) Tidak Kena Pajak, Analisis NJOP tanah dan bangunan, penyampaian Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) PBB kepada wajib pajak dan beberapa kegiatan lainnya.

Pengertian dan ketentuan mengenai PBB dari sisi dasar hukum, bisa dipelajari dari Undang-undang no.12 tahun 1985 jo Undang-undang No.12 tahun 1994 di situs2 perpajakan lainnya. Tetapi yang ingin saya sampaikan di sini adalah prinsip utama bahwa setiap bidang tanah di wilayah negara kita ini adalah obyek pajak PBB. Jadi seharusnya setiap jengkal tanah memiliki identitas perpajakan di KPP yang membawahi wilayah tersebut. Identitas perpajakan inilah yang akan menjadi pijakan bagi KPP dalam melakukan analisis dan pengambilan keputusan atas seluruh masalah perpajakan berkaitan dengan tanah tersebut.

Karenanya sebelum kita membuat keputusan untuk membeli suatu properti, harus benar-benar kita pastikan bahwa PROPERTI TERSEBUT TELAH MEMILIKI IDENTITAS PERPAJAKAN, yang artinya telah terdaftar sebagai objek pajak PBB di KPP. Kepastian ini diperlukan karena pada saatnya identitas perpajakan dan data mengenai objek dan subjek pajak atas properti itu menjadi alat bagi KPP membuat keputusan perpajakan atasnya.

Identitas perpajakan suatu properti ditunjukkan oleh telah adanya SPPT PBB yang diterbitkan oleh KPP atas properti tersebut. SPPT PBB adalah lembar pemberitahuan yang berisi data ringkas mengenai no. identitas perpajakan yang disebut dengan Nomor Objek Pajak (NOP), data obyek pajak, data subyek pajak dan data ketetapan PBB yang ditagihkan pada suatu tahun pajak. Setiap properti memiliki nomor objek pajak yang unik, artinya tidak mungkin suatu properti memiliki 2 atau lebih nomor objek pajak, atau setiap properti hanya terdaftar sekali saja di basis data PBB secara nasional, lalu yang mengalami pemutakhiran adalah data mengenai obyek dan subyek pajaknya.

Secara teoritis seluruh properti di Indonesia ini telah terdaftar dan memiliki NOP. Hanya karena begitu banyaknya objek pajak yang dikelola (+/- 8 juta objek pajak), maka bisa terjadi ada properti yang belum terdaftar sebagai objek pajak, utamanya di wilayah2 pedesaan, pinggiran kota atau daerah terpencil lainnya.

Oleh sebab itu meskipun atas properti yang akan kita beli telah diperlihatkan kepada kita SPPT PBB atas properti itu oleh si calon penjual, sangat disarankan untuk melakukan pengecekan kevalidannya di KPP yang bersangkutan. Karena tidak tertutup kemungkinan adanya lembar SPPT aspal yang dibuat oleh oknum dan bukan secara resmi diterbitkan oleh KPP, seperti pengalaman buruk Pak Banu di tulisan kemarin. Kalau tidak memiliki waktu ke KPP untuk mengeceknya, konfirmasi dapat dilakukan melalui telepon ke KPP ybs atau cara yang lebih singkat lagi adalah pengecekan melalui ATM yang menerima pembayaran PBB (ATM BCA, Danamon dll.). Caranya adalah dengan mengikuti menu pembayaran PBB sehingga akan terlihat di layar nama wajib pajak dan besarnya ketetapan dari NOP yang dientry-kan pada saat konfirmasi sebelum pembayaran, kemudian dicocokkan dengan yang tertera pada lembar SPPT. Apabila terdapat perbedaan meskipun hanya sedikit, perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut ke KPP.

Karena tulisan ini sudah terlalu panjang, saya cukupkan dulu, lain kali saya sambung lagi. Salam...

ketika aufa mau sakit...

Minggu ini betul-betul luar biasa nikmat Allah untuk keluarga kami dan rasanya baru ini kali terjadi. Di mulai dari si Mas Aufa yang sudah tidak enak badan di hari Jum’at minggu kemarin. Disusul Ayah yang merasa mulai tidak enak badan juga dua hari kemudian sehingga tidak bisa berangkat ke kantor dan harus istirahat dirumah. Baru saja Ayah mulai enakan menyusul Mbak Wawa dan akhirnya si Adekpun kebagian juga sehingga kita berangkat ke dokter secara massal, sekalian. Kalau menurut Ayahnya sih, acara periksa ke dokter sebagai sarana sedekah dan kalo udah gitu dia selalu bilang “Ayo ayo..sedekah ke dokter ..”. Abis, kasihan sama dokter dong kalau pasiennya tidak ada, karena biaya sekolahnya saja kan sudah mahal. He..he..maaf becanda…

Alhamdulillah, ditengah merawat Ayahnya juga anak-anak hanya satu pinta saya padaNya, mudah-mudahan saya di beri kesehatan dan tidak ikut tertular virus penyakit yang benar-benar dahsyat serangannya di musim pancaroba cuaca seperti sekarang ini.

Dan yang menjadikan saya harus lebih banyak bersyukur adalah ketika Mas yang pertama tertimpa sakit. Gimana tidak harus lebih banyak bersyukur, karena sewaktu dia pulang sekolah di hari Jumat itu rupanya di dalam angkutan umum dia sudah mulai merasa tidak enak badan. Dan begitu sampai rumahpun dia belum mengeluh pusing ataupun tidak enak badan. Hanya saja ketika saya melihat tas sekolahnya yang sobek dibagian bawahnya seperti habis terseret membuat saya langsung membuka tasnya buku apa saja yang dibawanya sampai-sampai tasnya diseret dan sobek sedemikian rupa.

Ternyata hari itu pambagian buku palajaran beberapa paket dan satu bukunya lumayan cukup tebal. “Tasnya ini keberatan banget ya Mas sampai diseret-seret..? Kok engga naik ojek aja..?”, itu yang saya tanyakan dan memaklumi kalau dia merasa kecapekan dan berat.“Iya Bu..tadi Mas dibagi buku paket tebel-tebel lagi..jadi berat bangeet terus pas nyampe depan rumah Bune Mas rasanya mau tertidur jadi Mas berhenti dulu di depan bune istirahat”. Rumah Bune adalah rumah tetangga yang berada di paling belakang komplek perumahan kami yang dilewatinya setiap jalan pulang sekolah lewat pintu tembus belakang komplek.
Masyaa Allaah..!! Langsung saya raba keningnya dan ternyata panas sekali suhu tubuhnya. “Ya Allaah, Mas tuh demam nak…Makanya Mas bukannya kayak mau tidur itu namanya mau pingsan…Lain kali kalau kecapekan atau ngerasa engga enak badannya naik ojek aja ya..!”. Jawabannya tambah membuat miris hati ini, “Kalau naik ojek udah lima ribu kan . sayang duitnya Bu..”

Sore harinya saya ceritakan semua pada Ayahnya dan kami pada suatu kesimpulan, bahwa betapa si Mas yang dirumah kadang kolokannya minta ampun dan lebih sering banget membuat jengkel Ayah dan Ibunya sehingga Ayah dan Ibunya harus super sabar, apalagi kalau sakit seperti sekarang ini bertambah-tambah alemannya (kolokannya), tapi Alhamdulillah, begitu dihadapkan kepada situasi yang membuat dia harus prihatin dan kuat ternyata dia bisa serta mampu melewatinya . Membayangkan bagaimana dia terseok-seok dengan kondisi tubuh yang mulai tidak sehat sambil menyeret tasnya yang berat untuk bisa sampai dirumah membuat saya hanya bisa trenyuh dan syukur tiada terhingga kehadiratNya, semua yang dialaminya tidak terlepas dari pertolongan Allah semata.

Dan terhamparlah suatu harapan padanya semoga kejadian ini tidak hanya menjadi kenangan baginya tapi juga Insya Allaah dapat menjadikan dia kelak sebagai insan yang kuat dan tidak mudah menyerah didalam menghadapi tantangan hidup di dunia ini. Amiin Yaa Robbal A’lamiin….