29 Juli 2009

Perpajakan dalam Jual Beli Tanah


Seorang teman bercerita, sudaranya, sebut saja pak Banu, membeli sebuah rumah di suatu komplek perumahan model townhouse. Jual beli telah selesai dilakukan 2 tahun yang lalu dan Pak Banu pun telah memegang sertifikat hak milik atas rumah tersebut. Tetapi yang membuat resah Pak Banu adalah sampai dengan sekarang dia tak pernah menerima lembar penagihan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) atau yang dikenal dengan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) PBB atas nama dirinya. Kebetulan pada saat membeli pada developer tidak termasuk pengurusan balik nama PBB.

Maka pak Banu lalu pergi ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) setempat. Dia berkonsultasi dengan petugas di sana dan disarankan untuk mengajukan pendaftaran baru PBB. Dia pun lalu mengajukan permohonan pendaftaran baru tersebut dan melampirkan dengan persyaratan2 yang diminta yaitu fotokopi sertifikat, fotokopi akta jual beli, fotokopi PBB induk atas nama pengembang dan fotokopi Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (SSB BPHTB) atau yang dikenal umum sebagai pajak pembelian.

Seminggu kemudian pak Banu menerima surat dari KPP, yang menyatakan bahwa dari berkas permohonan pendaftaran baru PBB diketahui bahwa masih terdapat kekurangan pembayaran BPHTB saat pembelian rumah tersebut yang nilainya mencapai 12 jutaan rupiah. Pak Banu kaget, lalu segera ke KPP untuk meminta penjelasan.

Oleh petugas pemroses berkas, pak Banu dijelaskan bahwa BPHTB yang dibayar menggunakan dasar Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang tidak benar. Sementara SPPT PBB induk atas nama pengembang yang disertakan ternyata SPPT aspal alias tidak terdaftar di KPP. Menurut perhitungan berdasarkan NJOP yang sebenarnya nilai BPHTB yang seharusnya dibayar masih kurang 12an juta rupiah. Tidak ada jalan lain pak Banu harus tetap membayar sejumlah yang ditentukan. Saat itulah pak Banu mengakui kalau pada saat membeli rumah tersebut dia tidak memperhatikan aspek-aspek perpajakan yang timbul karena semuanya diurus oleh pihak pengembang. Dia hanya bisa menyesali kecerobohan yang harus ditanggungnya karena untuk menuntut pengembang tidak mungkin dilakukan karena perusahaan itu telah bubar.

Nah, dari cerita di atas menjadi pelajaran bagi kita bahwa kita harus berhati-hati dan memperhatikan dengan cermat aspek perpajakan kalau kita melakukan penjualan atau pembelian atas tanah dan bangunan. Fenomena sekarang yang terjadi adalah seringnya kita menyerahkan sepenuhnya urusan itu kepada pihak lain karena kita tidak mau repot berurusan dengan birokasi yang ada di KPP. Padahal hal itu salah besar. Dengan adanya reorganisasi di Ditjen Pajak maka KPP yang ada sekarang adalah KPP yang berusaha memberikan yang terbaik dalam pelayanan kepada wajib pajak. Dan yang penting tidak satupun dalam pengurusan perpajakan di KPP dipungut biaya.

Jadi, jangan lagi segan dan ragu untuk berkonsultasi bahkan mengurus sendiri aspek perpajakan atas jual beli tanah dan bangunan kita ke KPP. Lebih baik kita agak repot di awal daripada menyesal di kemudian hari. Untuk tulisan mendatang Insya Allah akan saya sampaikan aspek-aspek perpajakan berkaitan dengan jual beli tanah dan bangunan.

28 Juli 2009

Puisinya Wawa

Ada rasa bangga ketika dia memberikan puisinya kepada saya,tapi ada juga terbersit rasa malu akan isi puisi yang dia persembahkan untuk saya, karena rasanya aib terbesar saya tidak Ia lukiskan lewat puisinya.

Terdorong oleh rasa malu dan saya ingat betapa saya terkadang galak kepadanya maka bertanyalah saya kepada Wawa " Kok Ibu yang suka marah-marah engga Mbak Wawa tulis di puisi ...?" Jawaban Wawa yang singkat padat penuh makna sekaligus bikin Ibunya hhhaaa legaaa.." Memang Ibu baek..kalo Ibu suka marah-marah itu kan karena Wawa yang salah.."

Alhamdulillaah...
Dan mudah-mudahan Mbak Wawa bisa mengingat kenangan yang baik saja tentang ibunya, dan kerasnya saya mendidiknya semua karena saya ingin dia menjadi anak yang kuat tidak mudah kecewa dan tidak mudah berputus asa..

26 Juli 2009

IBU (sebuah puisi karya Wawa)


IBU

Ibu...
kau adalah seorang yang sangat kucintai

kau selalu mengurusku

kau juga bekerja tanpa putus asa


Ibu...

betapa mulianya ibu

kau selalu bekerja tanpa lelah

aku cinta ibu...


Minggu, 04 Mei 2009

Farwa Mausali R.

Pergi Berlibur (karya Wawa)


Waktu itu kami sekeluarga berlibur ke ruah Nenek. Nenek dan Kakek tinggalnya berada di Jawa Tengah (Jateng). Aku senang sekali karena di sana ada sepupuku yang bernama sama denganku. Dia itu baik sekali. Tetapi kadang dia juga membuatku kesal. Tetapi walaupun sepupuku mengesalkan tetapi aku tetap senang. Lain kali aku akan ke rumah Nenek dan Kakek.

Ditulis hari kamis, tanggal 07 Mei 2009.

Farwa Mausali Rifki

Naga yang Mengamuk. 1 ....(karya Aufa)


Suatu hari orang- orang ribut di Kerajaan Sebrang. Ratu yang sangat baik hati itu melahirkan seekor naga. Naga itu dinamakan Pangeran Naga Sari.
Ketika pangeran sudah kanak-kanak ia disuruh ratu untuk keluar istana mencari pengalaman. Ratu menyuruh beberapa prngawal untuk menemaninya. ketika pangeran keluar dari istana, pangeran dihina-hina, dicaci maki dan di olok-olok. Pangeran sangat sedih, lalu ia menyuruh pengawalnya membawa ia pulang ke istana.
Malam itu pangeran sudah merencanakan untuk keluardari istana
ia langsung terbang dengan sayap kecil bawarna merah. Pangeran berhenti
di hutan. Ia bersembunyi di dalam gua yang gelap. Ia bertapa agar ia bisa menjadi manusia.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan dan tahun berganti tahun. 20 tahun tak terasa. Berita pangeran hilang masih ada. Berita bahwa pangeran hilang membuat sang ratu masih berduka. Sang pangeran yang sedang bertapa menjadi sebesar istana didatangi dewi yang cantik jelita. Ia terbawa oleh doa pertapaan pangeran. Pangeran terkejut sekali
dewi itu bertanya pada pangeran, “mengapa engkau bertapa?”. Pangeran pun menjawab, “Karena aku ingin menjadi manusia”. Dewi itu bertanya lagi pada pangeran, “Mengapa engkau ingin menjadi manusia ?” Pangeran pun menjawab, “Karena aku bosan mendengar olok-olokan rakyatku”. “Baiklah aku akan mengabulkan keinginanmu“, jawab Dewi. Pangeran sangat senag mendengarnya. Tapi Dewi melanjut kan perkataanya, ”Tapi jika kamu marah maka kamu akan jadi naga lagi“. Pangeran pun setuju. Dewi itu mengucapkan mantra. Seketika ia menjadi manusia . Pangeran bersorak kegirangan.
Ketika Pangeran telah menjadi manusia, Pangeran pergi ke kota untuk bekerja. Pangeran menjadi tukang roti. Ia menjadi saudagar yang kaya raya tetapi tidak sombong.
Suatu hari pangeran berburu di hutan. Ketika itu ada seorang perempuan cantik yang dikejar –kejer oleh pasukan tetangga. Pangeran bertanya pada gadis itu, “Siapakah gerangan ini?” “Saya adalah putri Ratu Sebrang. Saya bosan hidup di dalam istana. Setelah itu saya kabur dan pergi ke luar istana“. (bersambung)

22 Juli 2009

Si Sulungku telah Mulai Memasuki Masa Remajanya...


Alhamdulillah, si Sulung saya telah menjalani hari-harinya sebagai murid baru di salah satu SMP negeri di kota tempat kami tinggal walau karena masalah teknis yang tidak saya pahami, dia dan teman-temannya sesama murid baru masih berseragam SD dengan putih merahnya ke sekolahnya. he..he.. Padahal rasanya rada ngga sabar juga lihat dia memakai seragam putih birunya karena pastinya jadi akan kelihatan kalau dia itu sudah ABG, anak baru gede.

Ada satu cerita menarik dari si Sulung saya ini sewaktu dia duduk di kelas 4 SD ketika kita masih tinggal di kampung halaman ayahnya karena si Ayah sedang tugas belajar. Dia bersekolah di sekolah madrasah ibtidaiyah (MI), yang dulu juga merupakan sekolah dasar ayahnya. Di MI ini para murid di beri mata pelajaran yang benar-benar komplit dari segi pelajaran agamanya, salah satunya adalah pelajaran Fiqih (ilmu tentang petunjuk dan tuntunan hukum dalam beribadah).

Suatu hari ketika pulang sekolah, dia sampaikan kepada saya apa yang telah diajarkan Pak Ahmadi, guru fiqihnya. Dan agak terkaget-kaget juga saya dengan apa yang di sampaikannya, “Bu….kata Pak Ahmadi tadi kalau anak perempuan masa akil balignya tandanya itu nanti keluar darah haid, terus kalau anak laki-laki tandanya nanti mimpi basah dan keluar air maninya, terus suaranya juga jadi berubah, tumbuh kumis dan bulu yang lainnya, gitu kata pak Ahmadi....”. Masa akil balig adalah masa dimana seseorang telah sampai kewajiban hukum syara’/beribadah.

Saya agak terkaget-kaget karena tidak menyangka pelajaran seperti itu telah sampai kepadanya. Lalu saya tanyakan lebih lanjut bagaimana penjelasan gurunya, “Kata pak Ahmadi mimpi basah itu gimana Mas..?”. Dia dengan santai dan soknya menjelaskan, “Duh… Ibu belum tahu ya…. Mimpi basah itu Mas nanti tidur terus mimpi. Nah.. dimimpinya itu Mas ketemu cewek cantik terus keluar air maninya”.

He.he..maaf mungkin sedikit terdengar tidak enak ya..tapi tak ada salahnya cerita ini saya sampaikan. Karena jika sekarang baru diributkan pentingnya pendidikan seks pada anak-anak, maka sebenarnya dalam agama Islam melalui pelajaran Fiqih itu hal tersebut ternyata sudah ada. Sehingga anak-anak sudah mengerti disaat mereka telah sampai kepada usia akil balig atau secara medis telah terjadi perubahan hormon antara anak laki-laki dan perempuan serta dampak dari perubahan tersebut.

Yang jadi renungan saya sekarang adalah sekarang si Sulung saya hampir memasuki masa remajanya dan mungkin sebentar lagi apa yang pernah dijelaskan oleh gurunya sewaktu kelas 4 SD yang lalu itu akan terjadi padanya. Uniknya, bahkan dia sendiri pernah dengan polosnya bertanya-tanya, “Bu..kok Mas belum mimpi basah ya..?”. He..he.. “Mas..mas, gimana mau mimpi basah… Pergi sekolah aja belum bisa ganteng. Dari baju yang ngga bisa rapi, belum lagi rambut yang kalau ngga di ingetin untuk di sisir ya ngga di sisir-sisir. Nanti deh kalau Mas sudah naksir cewek terus ngerti gaya lalu ngacaa… terus, nah… baru deh Mas mimpi basah..”. Itulah jawaban saya akan pertanyaannya.

Ya…yang terpikir oleh saya bukanlah kecemasan-kecemasan akan perubahan hormon dan dampaknya ketika dia memasuki usia ABG ini. Tapi adalah ketika dia telah memasuki fase kehidupannya itu, sudah cukupkah saya dan ayahnya memberikan bekal yang kuat untuknya. Karena dia telah terkena kewajiban atas hukum syara’yang mana jika dia beribadah dan berbuat kesalahan itu sudah menjadi tanggung jawabnya sendiri. Dan otomatis ia pun sudah mempunyai buku amalan sendiri, dan adalah dua malaikat Rokib dan ‘Atid di sisinya yang senantiasa siap mencatat di dalamnya amal perbuatan sekecil apapun, baik amal baiknya maupun buruknya.

Karena sayapun menyadari bahwa masih kurang banyaknya saya dan ayahnya memberi bekal bagaimana seharusnya dia menjadi hamba yang mengabdi kepada Ilahi disetiap fase kehidupan yang Insya Allah akan dilewatinyanya. Dan adalah kami sebagai orang tuanya jelas dan pasti tetap akan diminta pertanggung jawaban kelak olehNya yang telah menitipkan dia sebagai amanah kepada kami.

Meski banyak doa-doa yang bisa kita mohonkan kepadanya dan sesuai kemampuan kita masing-masing karena adalah Allah Maha Bijaksana, tapi hanya doa inilah yang senantiasa ada di hati saya dan tanpa bosan saya mintakan kepada Ilahi Robbi, doa yang telah saya ucapkan ketika mereka masih berada dialam rahim saya. Terkadang tidak hanya saya sertakan di dalam doa saya ketika selesai sholat, tapi lebih sering saya panjatkan ketika mencium dan memandang wajahnya dan wajah adik-adiknya disaat mereka tengah terlelap tidur dan terbuai dialam mimpinya…..

Saya berdoa,

Allaahummahfazhum, wa thowwil umrahum, wa shohhih jasadahum, wa hassin akh
laaqohum, wa afshih lisaanahum, wa ahsin shoutahum, li qirooatil hadist wal qur’an, bibarokati Muhammadin shollallaahu alaihi wasallam…

“Ya Allah, hamba mohon tolong jaga mereka, panjangkan usia mereka untuk kelak mereka menjadi manusia yang bermanfaat. Dan sehatkan mereka serta baguskan juga akhlak dan budi pekerti mereka. Fasihkanlah lidah dan baguskan suara mereka untuk membaca hadist dan Qur’an melalui keberkahan dari Nabi-Mu, Muhammad Shollallahu alaihi wasallam..”

Tenang……… dan selalu damailah hati saya, mengiringi langkah-langkah mereka. Karena saya yakin akan selalu ada ALLAH yang dengan sifat Maha Pengasih dan Maha Penyayang tak pernah tertidur untuk menjaga dan memberikan petunjuk bagi hambaNya kepada jalan yang benar…

19 Juli 2009

Bahwa seharusnya Ibu lebih istimewa bagi si Adek....

Alhamdulillah akhirnya bisa menyelakan waktu buat bagi-bagi cerita nih..
Betul-betul harus pintar memilih situasi yang bener-bener aman untuk bisa menulis, pernah salah satu temen bertanya, “Kok kalo nulis sukanya malam-malam, apa ngga di ganggu sama ayahnya anak-anak..?”. Ha..ha.., diganggu sih diganggu tapi kan ngga tiap malam. Lagian kalo ayahnya kan bisalah diajak kompromi. he..he..…(sensorr …huss!!! Dilarang mikir ngeres ya..).

Justru memang malamlah waktu yang paling aman bagi saya disaat anak-anak sudah bobo dengan nyenyaknya, terutama si kecil Adek. Habis si Adek ini nih yang seakan-akan tidak rela jika ibunya berlama-lama didepan layar komputer. Jangan coba-coba bisa dengan tenang duduk di depan layar komputer di siang hari atau malam hari ketika dia belum tertidur karena selalu ada saja iklan dari si Adek ini. Minta di pangku lah, mau main game lah, meski saya berusaha mengalihkan dia dengan berbagai kesibukan tetap saja ada alasannya. Lucunya jika dialihkan dengan menyetel film favoritnya di TV, belum lama nonton sendirian si Adek akan kembali mendekat dan bilang, “Ayo Mama... nonton syama Adek.. fiyemnya bagus tuh…”. Ha..ha.. pinter merayu ibunya juga si Adek. Ketika saya jawab, “Nanti ya dek.. Ibu nanggung nih..”, dia akan menjauh dan kembali asyik nonton. Tapi itupun tidak akan berlangsung lama karena dia lagi-lagi akan balik lagi mendekat merayu ibunya untuk menemaninya nonton. Pun ketika dialihkan untuk menulis atau menggambar maka Adek ada lagi cara untuk merayu ibunya. Katanya, “Ayo Mama…., Mama kan jadi bu guyuunyaa…”. Ha..ha..tapi terkadang inipun bisa saya tolak dengan alasan, “Nanti ya Dek..bentaaar lagi ..”. Atau jika di alihkan main masak-masakan maka dia akan sibuk mengantarkan ibunya dengan piring yang diisi aneka macam mainan kecil-kecil lainnya yang menurut imajinasi dia itu bisa menjadi bakso.. bisa es krim.. bisa juga sop.. dan lain-lainnya disertai ucapan, “Ini Mama... buat Mama..di maem ya..enak ndak..?”. Kalau saya jawab enak maka dia akan lebih semangat dan repot lagi sehingga bisa berpiring-piring makanan versi-nya Adek yang diantar kembali ke ibunya. Ha..ha..(kok jadi ketawa terus ya…) tuh bisa bayangin kan gimana bisa asyik dan tenang di depan komputer atau fesbukan kalau diselingi berbagai pariwara ala si Adek. Dan yang yang terakhir jurus pamungkas dari Adek dan saya pasti tidak bisa menolaknya kalau adek sudah berkata, “Mama syudah etik-etiknya Ma….” (selesai ngetiknya, maksudnya).

Ketika giliran si Ayah yang berada di depan komputer, pernah terlontar kata protes dan bujukan saya untuk si Adek, “Ayo!! Adek, ganggu Ayah tuh..!!! Ha ..ha..dasar ibunya iri sih dan selalu terpikir kenapa kalo ayahnya yang di depan komputer tidak diganggu sedikitpun oleh Adek..? Kadang kan jadi iri juga lihat ayahnya yang asyik senyum-senyum sendiri melihat status dan berbagai komen dari teman-temannya. Jadi mau berlama-lama fesbukan juga ayah ngga bakalan kena iklan dari Adek he..he..
Tapi lalu Ayah mengingatkan saya. “Lo..kenapa Ibu harus iri..? Justru Ayah yang harusnya iri karena berarti Ibu itu lebih istimewa bagi Adek. Jadi Adek ngga rela kalo Ibu lama-lama di depan komputer atau fesbukan”.

Istimewa..??? Apa bener ya… Ah, yang namanya anak kerap kali tidak mau jika ibunya mengalihkan perhatian terlalu lama selain untuk mereka. Saya tidak faham banyak tentang ilmu psikologi anak-anak. Pun saya seorang ibu biasa yang berpikir, sudah seharian dia bermain bersama ibunya kan pinginnya ketika ayahnya pulang mbok ayahnya yang diganggu dan dibikin repot… (he..he..jahat banget ya keinginannya).
Alhamdulillah, itu hanya pikiran-pikiran jelek saya sesaat. Kayaknya rugi kalo harus dipelihara terus perasaan seperti itu. Didalam hati ini telah saya tanamkan, seperti apa yang ayahnya anak-anak katakan, bahwa saya seharusnya lebih istimewa bagi Adek dibanding ayahnya (karena sebaliknya ada anak yang menjadikannya ayahnya lebih istimewa dibandingkan ibunya, atau malah ada sebagian anak yang membuat iri hati ibu dan ayahnya sendiri karena lebih mengistimewakan neneknya kakeknya atau bahkan pengasuhnya). Jadi kenapa saya harus merasa iri pada ayah dan merasa terganggu dengan berbagai iklan-iklan si Adek. Toh sebenernya itu cara Adek mencari perhatian yang lebih dari ibunya dan kelak masa seperti ini tidak akan terulang lagi.

Disebutkan bahwa seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW, "Ya Rasulullah, siapa yang paling berhak memperoleh pelayanan dan persahabatanku?" Nabi Saw menjawab, "ibumu...ibumu...ibumu, kemudian ayahmu dan kemudian yang lebih dekat kepadamu dan yang lebih dekat kepadamu." (Mutafaq'alaih).

Karenanya, semua kembali harus saya syukuri sebagai karunia terindah dariNya dan seni didalam kehidupan sebagai seorang ibu yang akan selalu saya nikmati....

12 Juli 2009

Mensyukuri Nikmat..

Suami tadi sore menanyakan, “Kok belum nulis-nulis lagi..?“. Saya hanya bisa memberi alasan yang klise, “Gimana mau nulis, baru aja selesai setrika baju-baju kering yang sudah numpuk dari jemuran, eh.. sudah numpuk lagi yang harus disetrika“.
Biasanya untuk urusan setrika baju saya punya asisten sendiri. Maka ketika urusan tumpukan cucian dan seterikaan harus saya urus sendiri, sampai pernah terlintas di pikiran membandingkan urusan setrikaan baju dengan dosa lo. Yaitu belum beres untuk taubat atas tumpukan dosa, sudah nambah setumpuk dosa yang lainnya. He..he..he.. ada-ada saja ya..masak dosa disamain dengan tumpukan cucian baju kotor dan setrikaan yang numpuk. Dasar ibu rumah tangga…

Keteteran dengan seabrek urusan beres-beres rumah? Jelas dong…
Mungkin bagi wanita karier samalah rasanya jika dihadapkan pada setumpuk tugas atau berkas pekerjaan yang harus segera di selesaikan dalam batas waktu tertentu.
Akhirnya jika malam datang, yang ada cuma pingin cepat bobo untuk beristirahat.
Tidak sempat lagi untuk menulis sekedar berbagi cerita atau membuka Facebook, apalagi sampai ikut nimbrung di status teman memberikan komentar.
Pernah almarhumah Ibu Mertua saya, setelah selama beberapa hari menginap di rumah kami dan melihat serta mengamati kesibukan saya yang apa-apa di kerjakan sendiri, beliau mungkin merasa kasihan dan mengatakan kepada saya, “Napa dak cari rewang (pembantu) wae? Gawean rumah tangga itu gawean yang ndak ketok tapi sayahnya (capeknya) lebih dari orang yang nyambut gawe kantor.”
Ibu Mertua adalah wanita karier juga, jadi ya maklum saja karena beliau sangat-sangat faham antara capeknya mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan menyelesaikan tugas kerjaan di tempat bekerja.

Entahlah, bukannya saya tidak mau menciptakan satu lapangan kerja sebagai asisten buat seorang perempuan yang mungkin membutuhkan tambahan biaya buat keluarganya. Bukan juga karena saya eman-eman (sayang) sama uang yang harus keluar ketika akan memberi penghargaan atau imbalan jasa atas bantuan asisten itu. Tapi justru saya eman-eman untuk melepaskan semua rasa kepuasan hati ini jika pekerjaan-pekerjaan urusan rumah tangga saya pasrahkan kepada orang lain. Dan mungkin disuatu waktu jika itu terjadi maka diri saya harus bisa memberi manfaat buat orang yang lain, sedangkan untuk sementara ini saya masih ingin berkutat di dalam kehidupan keluarga saya sendiri. Beraneka rasa kepuasan batin, puas dan bahagianya saya manakala tumpukan cucian kotor telah selesai saya cuci dan saya jemur dengan dibantu si bungsu kecil saya yang kadang-kadang ikut repot membantu disertai ucapannya yang khas, “Adek yewang-yewang ya Ma..” (bantu-bantu, maksudnya )
Lebih puas lagi manakala sukses menghilangkan noda kotor di baju anak-anak yang harus diucek dan di sikat sendiri karena tidak cukup hanya dicuci di mesin cuci.
Pun puas manakala apa yang saya masak dan hidangkan habis dan dimakan dengan lahap, dan ditambah juga kepuasan batin tersendiri ketika mereka pulang dari sekolah yang pertama di tanyakan setelah mengucap salam adalah, “Ibu masak apa..?”
Puas juga manakala karena semua saya kerjakan sendiri maka anak-anak menjadi ikut andil membantu Ibunya. Si Mbak yang sudah pinter cuci piring , acara goreng-menggoreng juga sudah bisa. Si Mas kebagian jatah ngepel lantai (walau masih banyak area yang kadang terlewatkan karena sambil ngepel matanya ke TV aja he..he..). Dan semua itu mereka mau kerjakan meski dengan komando suara ibunya yang heboh.
Serta kepuasan tersendiri juga karena si Ayahpun membantu beres-beres dan menyapu halaman di pagi hari sebelum berangkat ke kantor malah kayaknya untuk acara menyapu daun-daun kering di halaman menjadi olahraga pagi buat si Ayah, he..he..

Mungkin lucu ya…
Memang cara kita menikmati kehidupan ini sangatlah beragam. Tapi semua pekerjaan yang saya lakoni (lakukan) itu mudah-mudahan bisa mewakili rasa ungkapan syukur saya atas semua kenikmatan yang telah Allah berikan. Bersyukur saya akan nikmat saya mempunyai dua tangan, sehingga dengan dua tangan dan sepuluh jari ini saya bisa beraktifitas sehari-hari memanfaatkan kedua tangan dan sepuluh jari ini dengan sebaik mungkin karena saya berharap keridhoanNya semata. Semoga apa yang pernah kedua tangan saya lakukan yang mana itu merupakan perbuatan tidak terpuji akan bisa terhapuskan dan di ampuni, sehingga jika kelak tangan ini bersaksi di hari yang ketika mulut tak lagi yang berbicara maka adalah kebaikan sajalah yang akan ia persaksikan…

Lalu nikmat saya atas dua kaki saya yang kalau pagi saja sudah mondar-mandir dari depan ke dapur dengan berbagai aktifitas yang kalau di luruskan jaraknya mungkin bisa sama antara jarak Bandung-Jakarta (he..he.. terlalu jauh ya..). Dan inipun saya berharap keridhoan Allah kembali, semoga langkah kaki saya penuh dengan berkah dan maghfiroh ampunan, sehingga kelak jika ia menjadi saksi saya manakala ia bisa bicara maka hanya perbuatan yang baiklah yang akan ia ceritakan…

Kemudian nikmat saya atas kedua mata yang karena dengan keduanya saya bisa melakukan pekerjaan sehari-hari dengan lancar tanpa harus meraba-raba, yang mana nikmat melihat itu hilang saya rasakan ketika ada acara mati lampu (dan mungkin ada hikmahnya juga tidak punya lampu emergency, karena ketika mati lampu kita harus meraba-raba mencari lilin atau senter, sehingga merasakan betul betapa salah satu nikmatNya yang sangat besar dan harus di syukuri yaitu penglihatan.

Juga nikmat saya atas waktu luang saya yang masih di karuniakan olehNya berupa rizki kesehatan juga nikmat-nikmat lain dariNya dan karunia yang tidak terhingga yang tidak bisa untuk di hitung .

Walau saya menyadari bahwa apa yang telah dan sedang saya lakukan semua hanyalah bagaikan sebutir debu ditengah padang pasir, seperti buih ditengah lautan dan belum sebesar biji zdarroh (sawi) sekalipun.Tapi saya menyakini akan sifatNya yang ROHMAAN ( Maha Pengasih ) dan ROHIIM ( Maha Penyayang ) dan juga sifatnya yang GHOFUUR ( Maha Pengampun )

Dan semogalah kita bisa termasuk dalam golongan orang-orang yang berakal dan mau berpikir sehingga dapatlah kita untuk selau mempergunakan semua karunia yang telah di peroleh dengan menyibukkan diri memperbaiki diri sendiri tanpa disibukkan oleh nafsu untuk menilai diri orang lain……..

Amiin..amiin Ya Robbal A’lamiin………..

Sebuah doa :

ALLAAHUMMAJ –A’L NAFSII MUTMA-INNATAN
Ya Allah.. jadikanlah diri hamba selalu tenang

TU’MINU BILIQOO-IKA
Karena percaya akan perjumpaan dengan-Mu

WATANFA-U’ BI A’THOO-IKA
Dan bisa mempergunakan atas semua pemberian-Mu

WATARDHOO BIQODHOO-IKA
Dan kami rela atas semua ketentuan dari-Mu

05 Juli 2009

Mendaftarkan Sekolah Lanjutan buat si Mas....

Pengumuman kelulusan anak-anak sudah ..
Penerimaan nilai anak-anak sudah..
Sekarang tinggal menunggu pengumuman diterima atau tidak mereka di SMPN yang dituju atau malah ada sebagian yang sudah tenang karena tidak mengincar masuk ke SMP negeri tapi langsung mendaftar di SMP non negeri pilihan masing-masing.

Yang repot ya orang tua lagi..
Mendaftarkan anak-anak sesuai sekolah yang diinginkan.

Tetangga saya baru saja pulang dari Ponorogo, mengantar putranya yang baru lulus SD dan akan meneruskan SMP di Pondok Pesantren Gontor Jawa Timur.

Sempat iri juga sama Ibu tersebut, kok bisa ya..anaknya mau masuk pesantren?
Gimana cara dia memantapkan hati anaknya untuk bisa lepas dan mandiri jauh dari orang tua untuk selanjutnya bergaul dan belajar di pesantren? Karena terus terang saya tadinya ada keinginan untuk memasukkan si Mas, putra sulung saya, ke pesantren setelah tamat SD. Tapi dia selalu ada saja jawabannya. Malah terakhir kemaren jawabannya lebih sering begini, “Bu..kata Ustadz Hammad (guru dia mengaji sehabis maghrib di masjid), kalo anaknya ga mau masuk pesantren jangan di paksa, nanti kalo engga’ betah bisa kabur lo..”. He..he..saya dan ayahnya cuma bisa tersenyum geli karena dia mempunyai senjata ampuh untuk menolak masuk pesantren atas nama “kata ustadz”nya itu.

Dari teman-teman juga saya dapat masukan kalo anak di sekolahkan di sekolahan negeri katanya sayang, karena pelajaran ilmu agamanya sedikit. Dan yang paling ditakutkan teman-teman saya adalah lingkungan pergaulan anak-anak nantinya. Lebih baik di masukkan ke sekolah agama swasta yang berkualitas kalau tidak mau masuk pesantren. Di kota Bandung sendiri tersedia banyak pilihan sekolah dengan label agama plus-plus yang pelajaran agamanya banyak dan bersistem fullday school.

Saya sih sebenernya mau saja anaknya masuk sekolah agama swasta yang menjanjikan anak-anak akan berakhlakul karimah. Tapi ketika saya tahu biaya untuk masuk kesana yang ow... tidaklah murah, bahkan mahal sekali (itu sih menurut saya). Bagi yang mampu mungkin bagi tak jadi masalah dan mungkin malah nyaman karena dengan keluar biaya yang segitu banyaknya akan merasa anaknya bakal terjamin bekal ilmu agamanya, lingkungannya dan masa depannya. Kayaknya inipun sudah jadi hukum keseimbangan alam, dimana semakin gede penghasilan orang tua maka untuk menyekolahkan anak-anakpun harus yang keluar biaya gede juga, walau engga semua seperti itu sih…

Alhamdulillah putra saya manut-manut saja ketika kami beri gambaran bahwa dia masuk SMP negeri klaster kedua (SMP kelompok menengah) saja dan kebetulan yang dekat dengan rumah. Tapi rupanya guru-guru SDnya menyayangkan karena sebenarnya nilainya bisa bersaing untuk masuk di SMP negeri klaster pertama dan menganjurkan sebagai pilihan pertama pendaftarannya. Akhirnya kami mengikuti anjuran tersebut, dan tetap dengan pilihan kedua sekolah negeri yang tidak begitu jauh jaraknya dari rumah.

Masyaa Allaah..semua memanglah atas izin Allah jua. Tanpa beban saya dan suami kembalikan semua kepada Allah..bagaimana hasilnya nanti.

Mungkin kami orang tua yang terlalu berpikir secara sederhana, mau dimana juga putra kami sekolah asal dia mau belajar dan berusaha untuk menuntut ilmu agama di manapun kapanpun dan terutama berbakti pada orang tua, Insya Allah dia tidak hanya akan bisa mencapai cita-citanya tapi juga yang terpenting kami selalu berharap akan hidayah dariNya agar putra kami selalu berada pada “Sabiilil Rosyaad”, jalan orang-orang yang mendapat petunjuk.

Ya..semua terasa ringan jika di serahkan kepada Allah, bagaimana nanti pergaulan dia di SMP yang katanya marak dengan geng-gengan, pacaran dan banyak lagi cerita serta bayangan-bayangan kekhawatiran seperti teman-teman saya yang anaknya seusia putra saya kemukakan. Tapi dengan Bismillaah saya tanamkan di hati suatu keyaqinan bahwa anak saya adalah titipan amanah dari Allah maka dengan penuh rasa khouf (ketakutan) dan roja’ (pengharapan) hanya kepada Allah saya minta pertolangan dan menitipkan dia kembali untuk selalu berada dalam penjagaan dan lindunganNya.

Sayapun akhirnya mengambil hikmah tersendiri dan berpikir mungkin bukan jalan hidup putra saya untuk menuntut ilmu di pondok pesantren. Setiap anak-anak telah mempunyai jalan dan cara mereka dalam menempuh cita-cita sesuai bakat dan bidang mereka masing-masing untuk kelak menjadi manusia yang bermanfaat. Semua telah di atur oleh yang Maha Kuasa. Dan adalah kita sebagai orang tua menjadi bahagian yang mempunyai peranan penting untuk selalu ada di jiwa anak-anak kita guna membimbing mendoakan dan menghantarkan mereka kepada satu tujuan “anfa-u’hu linnaas” ( berguna bagi manusia), sebagaimana hadist Nabi “ khoirun naas anfa-u’hu linnaas”, sebaik-baik manusia adalah yang memberi manfaat buat yang lainnya.

Amien..amien yaa robbal aa’lamien…

Bdg, 040609