27 Juni 2009

Piala yang terpajang di sanubari terdalam....


Paturai tineung…
Siswa-Siswi SD Asy-Sifaa 2 Bandung
Pileuleyan sapu nyere pegat simpay
Paturai patepang deui..


Itu adalah kata-kata di spanduk acara perpisahan Si Sulung di sekolahan SDnya kemarin.Terpaksa saya yang bukan orang Sunda dan tidak mengerti Bahasa Sunda, buka-buka kamus deh untuk mengetahui artinya he..he..
Eh..ga nemu juga tuh di kamus artinya. Akhirnya jalan termudah minta terjemahin ma tetangga, tetangga yang bagi saya lebih lengkap dan cepat terjemahannya dari pada mencari di Kamus Bahasa Sunda. Makanya, tetangga saya ini sudah jadi langganan tetap jika anak-anak ada PR untuk pelajaran Bahasa Sunda..ha..ha..

Alhamdulilah si Mas, si sulung saya itu, mendapatkan nilai yang memuaskan dan berada di peringkat keempat. Di acara perpisahan yang sama tahun kemarin yang juga saya hadiri, sempat ada asa ketika melihat anak-anak yang lulus dan mendapat ranking pertama kedua dan ketiga. Mereka di panggil kedepan dan mendapatkan piala penghargaan atas prestasi yang telah mereka peroleh. Saat itu sempatlah terlontar dari mulut saya,“Wah Mas…, yang tiga besar itu pada naik keatas panggung ya…, dapat piala lagi… hhmmmm…ibu-ibunya pasti seneeeng banget ya... Andaikan tahun depan Mas yang ada di tiga besar kayak itu ya….”, ujar saya.

Ketika saat pengumuman kelulusannya kemarin, berhubung kami sekeluarga masih mudik di kampung, saya hanya bisa mendengar kabar dari gurunya lewat telepon. Katanya, “Anak Ibu teh Alhamdulillah lulus Bu.. , nilainya teh 27,50“. Alhamdulilaah… dan saya pun tidak bertanya panjang lebar lagi tentang siapa yang mendapat nilai yang paling gede dan Si Mas berada di peringkat berapa. Karena bagi saya nilai Si Mas sangat memuaskan dan menggembirakan sekali mengingat situasi dan kondisi prihatin yang dia hadapi saat pelaksanaan ujian karena bertepatan dengan musibah wafatnya Mbah Uti, neneknya.

Ternyata ketika beberapa hari kemudian, saat saya dan si Mas mengambil nilai ujian akhirnya, baru saya ketahui dengan jelas informasi dari gurunya. “Aufa teh peringkat keempat bu..selisih nilainya sama yang kesatu dua dan tiga mah cuma sedikit… Yang peringkat tiga nilainya mah 27,75….”, begitu penjelasan gurunya..

Saya hanya terus berucap syukur, Alhamdulillah..., karena saya juga memahami betapa prihatinnya si Mas untuk lulus dari sekolah dasar. Selama enam tahun itu, telah dia tempuh di tiga sekolah berbeda di tiga kota yang berbeda pula karena kami sekeluarga harus mengikuti Ayahnya yang berpindah-pindah tugas.

Dalam perjalanan pulang si Mas berucap pelan kepada saya, ”Ibu jangan kecewa ya..Mas ngaku salah deh. Mas males belajar jadi engga bisa memenuhi cita-citanya Ibu yang pingin Mas maju ke depan dapet piala sebagai tiga besar. Eh, tapi kan masih ada adik Wawa Bu.. Terus, kalo adik Wawa engga juara juga, kan masih ada adik Yaya…. “. Ha..ha..Allahu Robbii....saya hanya bisa menjawab singkat, “Mas ini menghibur Ibu ceritanya….”, dan kamipun tertawa bersama..

Di acara puncak perpisahan sekolah, saat dia dan teman-temannya diarak untuk naik keatas panggung dalam upacara adat sekolahnya dengan iringan megah musik karawitan, mungkin kebanggaan saya yang saya rasakan akan Si Mas melebihi kebanggaan wali murid yang anak-anaknya berada di peringkat tiga besar. Walau Mas tidak maju kedepan sebagai penerima piala karena prestasinya berada di peringkat keempat, tapi kata-kata yang telah di ucapkannya untuk menghibur saya agar tidak kecewa telah membuat hati ini bangga dan layak menjadikan dia sebagai seorang anak yang melebihi anak-anak lain yang akan menerima piala. Karena dia telah mempersembahkan kepada saya piala yang tidak bisa di pajang di rumah sebagai kebanggaan.

Kata-kata penghiburnya yang terngiang-ngiang di telinga seiring gerak langkah kaki dia dan teman-temannya berarakan menuju ke panggung menjalani prosesi acara kelulusan, adalah piala yang telah dia persembahkan kepada saya yang akan terus terpajang di sanubari terdalam ………

Teruslah Nak…. Teruslah menjadi Qurrota a’yun, penyejuk mata hati Ibu……

.
Bandung, 250609

25 Juni 2009

Hanya lewat telepon

Alhamdulillah Si Sulung saya sudah sukses melewati satu tahapan kewajiban sebagai murid SD untuk selanjutnya akan memasuki tahapan sebagai murid SMP.

Kemarin karena saya bersikeras ingin menghadiri acara pengajian dalam rangka 40 hari wafatnya Ibu mertua di kampung, hal tersebut ternyata membuat saya dan suami seperti orang tua yang paling santai se- Indonesia dalam menghadapi pengumuman kelulusan anaknya.

Bagaimana tidak santai..? sehari sebelum pengumuman kelulusan SD suami dan si Sulung berangkat dari Bandung menyusul ke Wonosobo untuk menjemput saya dan kedua adiknya yang sudah hampir satu minggu berada di kampung. Padahal sabtu besoknya adalah pengumuman kelulusan SD secara Nasional.

Sabtu pagi itu kami malah lagi duduk termenung hanyut dalam doa dan kenangan di sisi pusara Mbah Utinya anak-anak..
Pulang dari berjiarah itulah kami jadi geleng-geleng kepala sendiri. Karena setiap melewati sekolah-sekolah semua telah penuh sesak dengan para orang tua/wali murid yang akan melihat hasil ujian anak-anak mereka dan mungkin dengan pikiran dan pertanyaan di hati yang ingin segera terjawab, “lulus atau tidak anak mereka..? kalau luluspun bagaimanakah nilainya..? memuaskan atau sebaliknya mengecewakan..???”.
Sementara kami hanya bisa geleng-geleng kepala sendiri karena kok kami bisa yaa..seakan-akan segitu santainya..dan hanya bisa titip pesan ke guru anak saya untuk mengabari hasil kelulusan Si Mas kepada saya lewat telepon.

Tapi santainya kami sungguh bukanlah suatu kesengajaan dan bukan juga karena tidak perhatiaannya kami ataupun menyepelekan hasil ujian anak kami.Tapi terkadang ada suatu kondisi yang bagi saya bisa di dahulukan selama tidak mengganggu kondisi yang lainnya.

Dan Alhamdulillah kemarin anak-anak juga sudah pada mengerti ketika saya utarakan rencana pulang kampung untuk bisa bantu-bantu dalam rangka pengajian Mbah Uti mereka.
Dan Si Mas pun bisa memaklumi kalau di hari pengumuman kelulusannya kami masih berada di kampung.

Saya hanya ingin Si Mas mungkin bisa memetik suatu ilmu dengan kondisi yang seperti saya ceritakan di atas, bahwa saya sebagai Ibunya bukan karena keegoisan saya membuat Ia harus capek ikut mondar-mandir Bandung wonosobo, dan bukan juga karena tidak perhatian dengan hasil akhir nilai akademisnya selama 6 tahun duduk di SD.

Tapi adalah suatu momen yang lebih penting bagi saya untuk menghadiri acara 40 hari Uti, karena hanya seperti itulah rasanya sayang dan cinta ini kepada Almarhumah Uti masih bisa terhantarkan..saya ingin Si Sulung saya akan mengerti bahwa masih banyak jalan dan cara bakti kepada orang tua walau orang tua yang kita sayangi itu telah berada di alam yang berbeda….

Dan bagaimana hasil pengumuman kelulusannya Si Mas yang akhirnya dikabarkan gurunya lewat telepon..? Alhamdulillah…Mas lulus dengan nilai yang memuaskan…

22 Juni 2009

Untuk Ibu

Alhamdulillah telah sampai Bandung kembali, setelah satu minggu berada di kampung halaman suami Wonosobo yang asri.

Capek..sayah..? jelas itu..
Tapi capek atau sayah telah berubah menjadi suatu kebahagian tersendiri..
Karena pulangnya saya itu betul-betul saya niatin untuk bisa bantu-bantu persiapan pengajian untuk memperingati 40 hari wafatnya Ibu mertua.

Sediih..untuk pertamanya pulang kali ini tanpa adanya kehadiran Ibu di rumah..
Masih ada perasaan seakan-akan Ibu hanya lagi bepergian dan nanti akan pulang ke rumah, begitu diri ini duduk terdiam di pusara beliau, hanyut dalam doa dan kenangan-kenangan indah bersamanya. Barulah semua perasaan seakan-akan beliau akan pulang kembali ke rumah adalah suatu hal yang mustahil.


Oh Ibu... betapa air mata ini masih mengalir dan akan terus ada tuk mengalir ketika kenangan demi kenangan hadir di jiwa..
Kemarin di Wonosobo telah hilang keberadaan Ibu, ketika saya sibuk di dapur, tak ada lagi yang bertanya " Masak apa Lek..?".
Ibu dengan setia selalu menemani saya di dapur..
Dan akan segera menggantikan saya mengulek bumbu atau memarut kelapa karena Ibu tahu untuk hal yang dua ini saya suka keteteran..dan akan membuat Ibu tersenyum..karena saya termasuk Ibu muda jaman sekarang yang senengnya serba praktis..
Betapa Ibu memaklumi kelemahan saya...

Tak ada lagi kehadiran Ibu..
Yang selalu duduk setia di meja makan menemani Bapak untuk dahar..
Menemani anak-cucu sarapan..
Dan ketika Ibu duduk di meja makan akan segera saya buatkan segelas susu atau secangkir teh hijau..
Karena saya begitu memahami tiba saatnya tuk berganti, betapa tangan Ibu dulu repot mengaduk bergelas-gelas susu untuk putramu yang sekarang saya dampingi.

Sepii..
Dari teriakan-teriakan Ibu jika anak-anak pada berantem..
Dari suara panggilan Ibu jika kita hendak bepergian di acara perkumpulan keluarga yang mengingatkan kita untuk segera bersiap-siap.


Layu ..
Semua bunga-bunga yang Ibu tanam dan rawat menjadi ikut layu..
Sama seperti hati kami Ibu..
Layu karena kepergianmu..

Pilu..
Mengertinya saya akan betapa kesepiannya Bapak
Kehilangan sosok diri-mu Ibu..

Selesai mengaji Al-Qur'an beliau tunjukkan ke saya kalau Al-Qurannya adalah mas kawin Bapak untuk Ibu. Dan di Al-Quran itu masih tertulis jelas tanggal bulan dan tahun akad nikah Bapak dan Ibu.
Telah 45 tahun..bukan waktu yang sebentar..

Setiap ada kejadian maka akan megalirlah semua cerita dari beliau tentangmu Ibu..

Tentang untuk pertama kalinya Bapak dan Ibu bisa beli selimut, dan ke pasar bareng-bareng tapi waktu naik becak eh..malah terjungkal becaknya..
Saat beliau makan bakso mengalir lagi cerita dan kenangan dari beliau, pertama makan bakso bareng Ibu adalah waktu ke rumah sakit untuk periksa Ibu yang tidak sehat ginjalnya.
Terus..dan terus..saya rekam dan saya simpan di benak ini semua cerita yang terungkap dan selalu mengalir di setiap waktu dari beliau..
Dan saya lebih mengerti semua itu beliau ceritakan sambil di iringi canda dan tawa
hanyalah sebuah cara beliau menutupi kesedihan..

Rapuh..
Tidak hanya kami yang rapuh Ibu...

Jika dulu semasa Ibu ada belum sempat saya sampaikan..
Maka seiring hembusan nafas dan gelapnya malam ini saya hantarkan..
Setulus hati " Ibu adalah Ibu mertua yang terbaik yang hadir di kehidupan saya..yang telah ikhlas menerima saya sebagai menantu dengan segala kekurangan saya..
saya mengagumi dan mencintaimu Ibu..".



Bandung 22072009

17 Juni 2009

Bikin Surat untuk Almarhumah Uti....

Ketika masih berlibur di rumah Simbah kemarin, sore itu Si Mbak, putri saya, dan Salfa, saudara sepupunya, baru pulang sholat jamaah maghrib di masjid. Setelah mereka berdua mengaji dan mendoakan Uti (almarhumah Simbah Putri), saya mengambl pena dan kertas lalu kepada mereka saya bilang, “Nah, kalo udah ngaji dan doain Uti, ayo sekarang coba tulis surat untuk Uti. Sampein semua apa yang mau di sampein ke Uti ya..”. Mereka pun mulai sibuk sendiri, tak ketinggalan si Bungsu, si Adek, pun ikut-ikutan menulis.

Setelah mengambil waktu beberapa saat kemudian dan dari seriusnya mereka menulis akhirnya jadilah apa yang menjadi curahan hati anak-anak itu untuk Uti-nya. Sebagian ada yang bikin saya tersenyum geli tetapi sekaligus menjadikanmengalirnya air mata ini...

Si Mbak yang juga dipanggil Wawa, menulis :
“Assalamu’alaikum Mbah Uti. Mbah Uti ini surat dari Wawa. Wawa pingin ada Mbah Uti lagi. Wawa juga mau Mbah Uti seperti semula. Tetapi sayangnya Mbah Uti sudah tiada. Wawa pingin banget ketemu Mbah Uti. Kan Wawa terakhir ketemu Mbah Uti ketika Mbah Uti dirawat di Yogya. Wawa juga sayang sama Mbah Uti. Wawa pingin banget ketemu Mbah Uti lagi. Wawa sayaaaaaaaang ….Mbah Uti….
Dari : FARWA KELAS 3 SD ASY-SYIFAA 2 BANDUNG)..”

Sedangkan Salfa menulis :
“Assalamu’alaikum Mbah Uti. Mbah Uti mesti sekarang lagi cerita-cerita sama Mbah Mun (adiknya Uti yang wafat 16 hari sebelumnya) dan Bu Ifa (tetangga Uti sekaligus guru TK-nya yang juga belum lama wafat juga). Sekarang aku kangen sama Mbah Uti. Pas Mbah Uti belum meninggal, Mbah Uti kan pernah foto sama aku, sama ibuk-e, sama bapak-e. Mbah Uti sekarang lagi apa? Aku kangen banget sama Mbah Uti. Sekarang Mbah Uti masih ngomong sama Mbah Mun apa lagi makan buah-buahan? Kemaren aku, Adik Abi, Om Wiwid, Bulik Icha dan Ibuk-e kesayanganku ke sarean Mbah Uti. Terus aku yang nyari bunga. Nah pas aku pulang, aku minta di beliin Ibuk-e ager-ager (agar-agar) dan sampe rumah aku makan nasi sama telor trus dikasih kecap -tamat-
dari : SALFA KELAS 1 SD ALMADINAH WONOSOBO”


Kalau Si Adek bagaimana?
“Adek kangen cama Uti, Mama….”, katanya dengan logat cedalnya. Ketika di tanya apa artinya kangen, dia sudah bisa mengartikan dengan caranya sendiri, "Kangen itu ya cayang, Mama.."
Ya kangen itu artinya menurut Yaya yg berusia 3,5 tahun itu sepertinya benar juga, karena adanya rasa sayang maka timbullah adanya rasa kangen itu. Artinya, pernahkah kira-kira ada orang yg tak kita sukai lalu kita kangeni?

Ah..Si Adek kadang sudah bisa menjadi temen ibunya berbagi cerita dan berbagi ilmu…..


Wonosobo, 15 Juni 2009, menjelang peringatan 40 hari wafatnya Uti…….

11 Juni 2009

Mengapa saya dipanggil Molek...

Lahir dan di beri nama yang tidak sembarang oleh orang tua. Sepertinya itu juga yang terjadi pada saya. Sewaktu masih bayi yang belum berumur tujuh hari, menurut cerita Ibu, nama saya masih dirahasiakan oleh Ayah. Tinggallah Ibu dan Nenek saya yang kebingungan hendak memanggil saya. Di masa tujuh hari itulah karena melihat saya sebagai seorang bayi yang cantik, diam, engga rewelan dan banyak boboknya (berarti kalau sekarang saya-nya gampang tidur, cantik dan ngga rewelan, itu memang sudah bawaan dari bayi kali ya, he..he..memuji diri sendiri nih jadinnya..) maka mereka berduapun akhirnya menentukan sebuah nama panggilan.
Molek... begitulah Ibu dan Nenek saya memanggil si bayi itu.... dan melekat hingga saat ini.

Ternyata, setelah tujuh hari nama panjang saya baru di umumkan pada saat acara aqiqah saya. Wahidah Murodi, adalah nama yang diberikan Ayah saya. Tuh... makanya seperti tidak nyambung banget dengan nama panggilan saya hasil 'kreasi' oleh Ibu dan Nenek saya di atas.

Waktu kecil sih seneng-seneng aja saya dipanggil Molek. Semua pada bilang Molek itu artinya cantik. Karena masih kecil ya ngga nyadar aja akan diri sendiri, jadi dibilang cantik ya..nurut-nurut aja hi..hi..hi..

Ketika beranjak masa remaja, ABG kalau istilah sekarang, nah, disini nih jadi mulai kerasa ngga nyaman dengan nama panggilan Molek. Karena selain sudah mulai ngerasa punya wajah ngga cantik-cantik amat, ketika hendak kenalan dengan teman-teman ada rasa malu ketika menyebutkan nama Molek. Tapi, Alhamdulillah masa-masa ngga pede ini ngga berlarut-larut. Karena saya menyadari Ibu dan Nenek menciptakan nama panggilan sayang tersebut jelas merupakan panghargaan terindah pada saya, dan juga merupakan doa tentu saja. Makanya walau setelah gede wajah saya ngga cantik-cantik amat, tapi mudah-mudahan yang tetap dan semakin cantik adalah akhlaknya. Amin...

Karena saya asli orang Palembang yang betul-betul asli (he..he..emang ada Palembang palsu gitu..), maka kalau di kampung saya, apa itu para orang tua, sesama anak muda dan anak-anak memanggil saya dengan sebutan Cek Molek, karena di Palembang Cek itu seperti Mbak dalam bahasa Jawa. Makanya, bahkan kemarin ketika suami masih dinas di kota Palembang, istri-istri dari temen-temen kantornyapun ikut pula memanggil saya Cek Molek (duh... jadi keinget sama temen-temen itu nih... Cek Desi, Mbak Novi, Mama Yasmin, Mama Hafidz, Yuni.....apa kabar semua?)

Sekarang ketika jauh dari kota kelahiran dan tidak ada yang tahu nama kecil saya, apalagi tinggal di lingkungan komplek perumahan yang rata-rata menyebut dengan nama suami, membuat saya kadang rada ada sesuatu yang hilang. Habis saking kebiasaan di kuping dipanggil Molek, eh.. waktu arisan RT diteriakkan oleh ibu-ibu itu nama yang mendapat kocokan arisan, " Bu Akhid...!!" saya cuma bengong, karena merasa bukan nama saya yang di panggil. Ha..ha..ha.. tinggal ibu-ibu itu aja yang pada ribut, "Kenapa Bu Akhid ?.. Ngga mau ya...?" Ha..ha..ha...
Ah, ibu-ibu itu belum pada tahu bengongnya saya bukan ngga mau dapat uang arisannya tapi
ada sejarahnya sendiri..he..he..he...

Ya...itulah kisah nama kecil saya yang akhirnya menjadi inspirasi kita untuk menamakan blog kita ini dengan "Keluarga Molek"........

10 Juni 2009

Ayah milih di rumah aja...

Ayah sore2 menelpon Ibu dari kantor, tapi tak tersambung. Maksudnya mau ngasih tau kalo pulang kantornya terus mau diajak temannya 'nongkrong'. Karena tak ketemu Ibu dan tiba2 saja perut Ayah mules, maka Ayah memutuskan pulang dulu, setelah maghrib nyusul rencananya. Sampe di rumah Ayah benar2 mules dan (maaf) menuntaskannya hingga lewat adzan maghrib. Setelah sholat maghrib bareng Ibu, baru Ayah bisa bilang kalo ingin ikutan temannya tadi.
Tapi kata Ibu, "Ayah ini... yang ikutan pengajian rutin di komplek, adaa.. saja alasannya ga bisa ikut. Tapi giliran diajak jalan teman koq semangat sekali...?". Ayah cuman bisa nyengir dan dalam hati merasa malu sekali. Iya ya, kok segitunya diriku, batin Ayah.
Akhirnya Ayah memutuskan untuk mengubur keinginan 'liar'nya malam ini dan merasa lebih prefer untuk menikmati pergantian hari ini dekat dengan istri dan anak2nya, karena memang itulah yang seharusnya terjadi. Karena dekat dengan keluarga adalah suatu nikmat kebahagiaan yang tak ternilai dan tak sebanding dibandingkan dengan mengumbar keinginan 'liar' yang hanya memberi kebahagiaan sesaat saja... betul kan?

09 Juni 2009

kerelaan

Ada teman lama yang baru saya jumpai lagi lewat jejaring FB ini, dan ia bertanya, kegiatan saya sekarang apa. Dengan bangga (tanpa bermaksud sombong) saya katakan saya masih seperti dulu, one hundred percent IBU RUMAH TANGGA total-setotalnya ha..ha..ha…
Gimana ga total ya, dari setelah sholat shubuh saya sudah mulai dinas di dapur menyiapkan sarapan, berbagi tugas dengan suami yang beres-beres dan menyapu halaman, semua aktivitas rumah tangga yang lainnya saya jalani sendiri (kecuali untuk menyeterika baju saya mempunyai asisten sendiri he..he..).
Lalu menurut teman saya itu juga, “Menjadi seorang ibu rumah tangga sangat nikmat, karena tidak semua orang dapat melakukannya agar bisa mendekati sempurna”.

Yups.., untuk pernyataannya yang satu ini saya sangat-sangat setuju sekali. Dan kalau boleh saya berpendapat, siapapun kita yang telah menjadi seorang ibu (baik ibu yang berkarier atau yang di rumah saja) dan telah mendapat amanah dariNya yaitu putra-putri kita untuk kita pelihara dan didik sebaik-baiknya, maka kita punya kesempatan setiap saat untuk menjadi seorang ibu yang mendekati sempurna.

Dan saya paham akan makna dari pernyataanya ‘tidak semua orang dapat melakukannya’. Untuk yang satu ini pun saya setuju lagi (he..he..kapan tidak setujunya ya..). Karena mungkin yang dia maksud adalah beda antara peran seorang ibu rumah tangga yang berkarier yang tidak bisa menyertai hari-harinya untuk selalu bersama buah hati mereka di bandingkan peran seorang ibu yang di rumah saja dengan diisi berbagai kegiatan bersama buah hati dan tetek bengek urusan rumah tangga lainnya.

Terus terang, ketika si sulung saya masih bayi, tiap pagi acara saya rutin ke warung sambil menggendong anak untuk belanja sayur dan di pikiran yang ada cuma “hari ini masak apa ya..?”, sementara waktu itu di daerah tempat saya tinggal dekat dengan area perkantoran, kalau berpapasan dengan ibu-ibu muda cantik-cantik yang mau berangkat ke kantor dan saya berpikir, “Alangkah enaknya jadi wanita yang berkarier, mau beli apa-apa juga tinggal beli karena punya penghasilan sendiri, sementara saya harus pintar-pintar mengatur uang pemberiaan suami biar cukup sampai sebulan. Lagian kalo kerja bisa punya temen kerja yang banyak sambil bercanda, bisa keluar rumah tiap hari..ada pemandangan yang lain..ga kayak saya di rumah terus cuma sibuk ngurusin anak yang pipis, pup.. nangis.. mimik..dan kerjaan rumah tangga yang perasaan ga ada beres-beresnya dan bla..bla.. pikirin jelek lainnya”

Tapi itulah kelemahan saya waktu itu sebagai manusia biasa yang belum ridho/rela atas status saya sebagi ibu rumah tangga., duh.. ada iri di hati ini dan rasa belum bangga dan bersyukurnya saya sebagai ibu rumah tangga.

Kebetulan ada teman kerja sekantor suami, seorang ibu dan putrinya yang masih berusia 3 tahun dan kebetulan rumahnya dekat dengan kami. Adalah suatu hikmah bagi saya, ketka saya merasakan betapa kasihan melihat dia yang kerap kali bingung ketika anaknya sakit padahal tidak bisa meliburkan diri dari pekerjaannya. Sampai suatu hari ia datang dan minta tolong menitipkan putrinya ke saya karena dia bertambah bingung antara harus ke kantor sementara pengasuh anaknya mendadak minta berhenti dan tak mungkin mencari penggantinya dalam waktu sehari dua hari (untuk masalah seperti ini tampaknya perkara yang susah-susah gampang, banyak susahnya ketimbang gampangnya he..he..)

Nah….sejak ‘ketitipan’ mengasuh anak tetangga tersebut, di hati ini tidak ada sedikitpun lagi perasaan iri seperti yang saya ceritakan tadi dan Alhamdulillah ,Allah dengan cepat menyadarkan saya untuk bersyukur dan ridho atas kodrat saya sebagai ibu rumah tangga sepenuhnya, yang setiap saat punya keistimewaan waktu mendampingi anak-anak bermain. Dimasa usia mereka yang dini, mengajari mereka membaca, menulis, berhitung, mengaji sebagai langkah awal yang Insya Allah merupakan bekal mereka untuk sukses di dunia dan akhirat (Amin..)

Adalah telah menjadi suatu kebanggaan dan kepuasan batin yang tak bisa terlukiskan dengan kata-kata manakala saat ini melihat mereka tanpa terasa telah tumbuh besar dan mengurusnya tidak lagi terlalu serepot ketika mengurus mereka kecil dulu yang saya lakukan dengan segala daya dan usaha sendiri dan tentu saja tanpa terlepas dari pertolongan Ilahi karena saya sadari semua itu adalah karuniaNya semata.

Masih sering saya jumpai beberapa teman-teman yang dulunya semasa lajang bekerja dan setelah menikah menjadi ibu rumah tangga saja, banyak dari mereka kadang terlontar ungkapan kejenuhan akan rutinitas sehari-hari yang itu-itu saja. Dan malah berniat ingin kembali bekerja. Tetapi ada juga beberapa dari mereka yang malah menikmati dan enjoy dengan tidak bekerja lagi karena anak-anak yang lebih terawat dan bisa merasakan kasih sayang ibunya sehingga mereka tidak rela jika anak mereka di asuh orang lain.

Baru saja ada kejadian yang bikin hati saya miris dan mungkin bisa jadi gambaran sekaligus renungan bagi teman-teman ibu-ibu rumah tangga lainnya yang dilanda kejenuhan dengan hari-hari yang hanya terisi bersama tingkah polah buah hati yang bikin senang di hati tapi juga terkadang bikin emosi.
Kemarin, saya pergi ke bank dengan mengajak Si Kecil. Customer servicenya yang cantik dan masih muda yang melayani saya menyapa dan bertanya sambil memperhatikan Si Kecil saya, “ Adek..lucunya…Berapa umurnya bu..?”. “Tiga tahun lebih..”jawab saya. Lantas dia menyambung ucapannya disertai mimik muka memelasnya yang membuat hati ini berdesir, “Ihhh..sama kayak anak saya bu..anak saya juga tiga tahun, lagi lucu-lucunya, kalo pagi pas mau saya tinggal rasanya kasihan banget..makanya kalo lihat anak kecil, saya suka keinget dan rasanya pengen cepat pulang..” Masyaa Allaah…semua adalah kehendak Allah..

Menjadi ibu rumah tangga saja adalah derajat yang mulia dan harus kita syukuri. Tetapi, menjadi ibu rumah tangga sekaligus wanita karierpun derajat yang mulia pula karena di satu sisi, punya potensi besar sukses dalam karier, namun di sisi lain, tidak bisa melepaskan diri dari kodratnya sebagai wanita yang harus menjalani tugas dan peran sebagai ibu rumah tangga, mengurus suami dan anak-anak.

Ahirnya.. sepertinya semua akan bisa terasa sangat nikmat jika kita mampu melakoninya dengan ‘kerelaan’ dalam menerima dan menjalani peranan hidup kita masing-masing....bersama dengan bimbingan dan arahan sang MAHA SUTRADARA…………..

Acara berkunjung, mengunjungi taman-taman kebajikan.....

Kamis 21 Mei 2009, tanggal merah dan hari libur nasional..

Bagi saya dan anak-anak kemarin adalah hari yang “home sweet home”, tidak bisa jalan-jalan karena kondisi kesehatan ayahnya yang tidak fit.
Dan bertambah “home sweet home” lagi suasananya ketika agak siang tanpa saya dan suami duga kami kedatangan sahabat suami, sepasang suami istri yang dulunya kuliah bareng dengan ayahnya anak-anak. Ikut juga satu putra dan satu putri mereka.

Mereka adalah sebuah keluarga yang terpisah oleh jarak dikarenakan pekerjaan suami dan istri yang berbeda kota dan kami tahu kepulangan sang suami ke Bandung karena memanfaatkan liburan itu, maka saatnyalah berkumpul dan bercengkrama bersama anak-anak, mengganti waktu kebersamaan yang telah terlewatkan. Tapi saya dan suami sangat-sangat kagum, di tengah kesempatan mereka membahagiakan anak-anak karena mumpung kumpul, mereka menyelakan waktu untuk bersilaturrahim kerumah kami. Kalaupun maksudnya untuk menyampaikan ucapan belasungkawa atas kepergian ibu, sebenarnya mereka telah ikut menyampaikannya lewat sarana FB ini. Ternyata saya nilai mereka masih memegang teguh nilai luhur dari rasa semedulur (persaudaraan).

Sebelum pamit pulang sahabat suami itu berkata,”Jaman kita ini sebenarnya memang sudah canggih, jarak berjauhan tapi sekarang itu bisa terasa dekat karena bisa bersendagurau setiap saat (mungkin karena adanya FB maksudnya..). Tapi ya..ini kita memang betul-betul niat pengen ke sini..”. Dan di sambunglah kata-katanya oleh suami saya, “Iya ya.. bertemu langsung kayak gini itu memang harus diniatin betul dan harus sifatnya dikejutkan “

Mungkin ini cerita dan kejadian sederhana, tapi bagi kami kunjungan mereka teramat berkesan di hati dan mengandung nilai makna yang begitu sangat beharga. Mereka dengan penuh keikhlasan menyempatkan waktu menyambangi kami, dalam rangka bersilaturahmi dan mungkin sekaligus bertakziah atas meninggalnya ibunda kami.

Dan yang lebih hebat lagi, acara berkunjung sahabat dari suami tersebut bersama putra-putri mereka adalah suatu pelajaran yang sangat mulia bagi anak-anak, karena secara tidak langsung mereka telah menanamkan di diri putra-putri mereka dan juga putra-putri kami akan arti nilai tali silaturrahim dan cara bagaimana harusnya berbagi kasih sayang kepada saudara yang sedang tertimpa musibah.

Suatu pelajaran yang mungkin di sekolah hanya anak-anak dapatkan secara teori belaka.

………………..

Tersadarlah diri ini, wahai Robbi..., di tengah lingkungan kehidupan kami di kota besar khususnya, di mana kami lebih sering di sibukkan dengan rutinitas amal ibadah keseharian berupa pekerjaan dan keluarga, sehingga terkadang seperti tidak punya sedikitpun waktu yang luang untuk satu amal sholih yang sering kami sepelekan. Seperti tak sempat kami mengunjungi taman-taman kebajikan dengan menyibukkan diri ini untuk saling memberi kasih sayang dengan saling mengunjungi….
meringankan beban sesama…
mempererat persaudaraan….
dan bersilaturrahim…
Yang dengan semua itu, niscaya bisa menjadi pencerah hati kami dari kecemasan kejenuhan dan kegundahan hidup ini…
Dan dengan semua itu pula akan kami dapatkan kedamaian hati dan kebahagian dalam semua sisinya, rasa, warna, dan juga hakekatnya……

………………………….

Acara berkunjung………
Mudah-mudahan Allah memberikan ganjaran sebagai amal sholih bagi mereka sekeluarga….

Acara berkunjung……..
Budaya luhur yang semoga tidak luntur….

Bandung 21 Mei 2009

Teriring ucapan ‘matur nembah nuwun’ untuk Mas Rahmat dan Mbak Andang, Alif, juga Farah…..

(beberapa bagian tulisan ini saya kutip dari “La Tahzan; DR,’Aidh al-Qarni” )

Pesan Uti untuk Wawa...

Di antara tumpukan majalah anak-anak lama yang saya rapikan, iseng saya membuka salah satu majalah anak-anak langganan Wawa, putri kedua saya, di waktu dia duduk di TK kelas nol besar. Dan kala itu kami masih berkumpul bersama almarhumah Ibu Mertua (Uti) di kota kelahiran suami karena Ayahnya anak-anak itu sedang mendapat tugas belajar di suatu universitas negeri tertua di kota Yogyakarta.

Trenyuh...sedih...dan ada rasa bangga karena di dalam lembaran majalah tersebut saya temukan gambar dan tulisan tangan Uti untuk Wawa, sebuah pesan yang saya ingat betul ketika Uti menuliskannya. Pesan itu bertuliskan,

“ Jadilah kamu seperti pohon kelapa. Jadilah anak yang berguna “

Ketika Uti menggambar dan menulis pesannya itu, dengan gaya kanak-kanaknya saat itu Wawa bertanya, “Kenapa jadi seperti pohon kelapa Uti?“.
Dengan bahasa sederhana Uti panjang lebar menjelaskan,

“Karena semua yang ada di pohon kelapa itu berguna dan memberi manfaat untuk banyak orang. Dari daunnya yang bisa jadi ketupat atau janur untuk hiasan dan kadang jadi tanda kalau ada acara pengantin. Bunga manggarnya bisa juga dimasak untuk campuran gudeg. Terus lidinya yang bisa dibuat sapu lidi yang berguna untuk bersih-bersih, buah kelapanya yang tua bisa jadi santan untuk Uti dan ibu masak.
Kelapa mudanya rasanya enak, terus air kelapanya bisa jadi obat. Batok kelapanya bisa menjadi arang, sabutnya bisa untuk mencuci piring atau untuk isi kasur. Pohonnya bisa menjadi kayu untuk membuat jembatan penyeberangan.
Makanya Wawa besok jadi anak yang berguna seperti pohon kelapa, tangannya berguna untuk rajin membantu, matanya juga berguna untuk membaca buku untuk menambah ilmu dan untuk melihat yang baik-baik.
Kakinya juga bermanfaat, digunakan untuk berkeliling jalan-jalan untuk menambah ilmu juga serta bersilaturrahim. Mulutnya bermanfaat untuk berbicara yang baik-baik, bisa memberi nasihat untuk temen-temannya Wawa… Pokoknya semua yang ada di diri Wawa dari ujung rambut ke ujung kaki seperti pohon kelapa yang semuanya bisa memberi manfaat untuk orang banyak…”

Saat Uti menjelaskan kepada Wawa nasihat itu saya cuma bisa berguman, amin..amin..
Dan baru saya sadari sekarang bahwa pesan yang di tulis Uti itu tidak hanya untuk Wawa saja tetapi sesungguhnya untuk kami semua.
Ya..sebuah pesan yang sepertinya sekarang langka di sampaikan orang tua ke anak-anaknya.



Bandung, 18 Mei 2009 M/22 Jumadil Awal 1430 H
Sepuluh hari wafatnya Uti tercinta…

" Insya Allah kita ketemu lagi di surga ya bu... "

Kemarin ketika ibu sakit dan harus menjalani operasi, kami semua berharap kesembuhan beliau dan disaat masa recovery yang tidak banyak menunjukkan kemajuan akan kesehatan beliau dan dengan adanya nasihat dari bapak untuk kami terus berdoa dan juga tidak lupa untuk menata hati jika kemungkinan yang terburuk terjadi terhadap ibu.
Kami semua telah siap jika memang telah waktunya kami harus kehilangan ibu...

Di dalam doa slalu saya mohon kepada Allah, saya di beri kesempatan untuk melihat beliau terakhir kalinya, jika tiba saatnya Allah berkehendak memanggilnya kembali. Karena saya tidak ingin seperti sembilan tahun yang lalu dimana saya tidak bisa melihat dan berada disisi Bunda saya disaat beliau menuju alam keabadian.

Masih terus terngiang disaat saya pamitan pulang ketika menengok beliau di kota yogya kemarin, saya cium tangan dan kecup lembut keningnya dan saya katakan "pamit dulu ya bu..pangestunya..(doa restunya)" dengan kondisinya yang lemah beliau menganggukkan kepala dan menjawab " kapan-kapan ketemu maning yo.." (kapan-kapan ketemu lagi ya)
Oh...tak kuasa tuk menahan air mata ini saat itu, hanya bisa saya berucap pelan " nggih bu..nggih...nanti kita ketemu lagi.."

Thak you Allah..
Alhamdulillah ..
Terima kasih..
Entah dengan kata yang bagaimana lagi untuk berucap syukur kepada-Mu..
Dengan mengijabah doa hamba..

Saya betul-betul diberi kesempatan melihat beliau untuk terakhir kalinya
SMS yang mengabarkan ibu kritis membuat saya ingin segera lari untuk pulang..
Walau suami menyarankan saya untuk tidak usah ikut dengan pertimbangan si sulung yang kelas enam akan menghadapi UN senin besok, tapi saya tetap bersikeras..
Bagi saya si sulung yang sebentar lagi mau UN bukanlah penghalang untuk pulang..

Ya...walau telah menata hati untuk ikhlas dan bersiap kehilangan ibu..
Tapi rasa kehilangan yang mendalam itu tetaplah ada
Dan rasa kehilangan itupun sesaat berubah kebahagian kala memandang wajah beliau
Cantik..
Tersenyum manis..
Seolah bermimpi indah dalam tidur abadinya..
dan tiadalah lagi rasa sakit yang kemarin di derita..

Bahagia.. karena kemarin sayapun bisa kembali mencium lembut keningnya yang tak lagi hangat..
Dan untuk kali ini seraya saya bisikkan ke ibu..
" Insya Allah kita ketemu lagi di surga ya bu.."


Bandung
Ahad 10 mei 2009
berkat restu ibu pada tanggal yang sama hari ini, 13 tahun yang lalu saya mendampingi putra beliau..

Tentang Hikmah Lagi...

Berita di koran beberapa hari ini ramai dan seru-serunya memberitakan Bapak "AA" yang statusnya menjadi tersangka atas satu kasus pembunuhan. Tapi saya tidak akan membahas cerita ini karena bagi saya terlalu mumet dan njelimet, mudah-mudahan saja mereka-mereka yang berwenang bisa menyelesaikannya dan terbukti mana yang benar mana yang salah. Sehingga kita tidak ikut-ikutan terbawa prasangka karena semua masih Wallaahu A'lam....

Cuma yang menjadi kepikiran ketika membaca berita itu adalah kejadian yang baru kami alami belum beberapa lama ini. Di perjalanan kami ke kota kecil di Jawa tengah dalam rangka takziah meninggalnya Bulik, sekitar jam 11 malam dan sudah hampir sampai ke rumah orang tua, di jalanan ada kucing yang hendak menyeberang jalan. Walau suami menyetir tidak terlalu ngebut karena dari jauh sudah melihat sehingga berusaha hati-hati namun tetap saja kejadian yang tidak di inginkan itu terjadi, kucing itupun tertabrak...!! Masya Allah....tidak tega kami melihat kucing itu menggelepar-gelepar hingga menghembuskan nafasnya yang terakhir. Lalu dengan memakai sarungnya yang ada di mobil, Suami membungkus mayat kucing itu dan kami bawa untuk selanjutnya di kuburkan.

Di kalangan kita sudah menjadi cerita umum dengan berbagai mitos jika menabrak kucing, begitupun kami yang malam itu setelah sampai masih ada beberapa tetangga yang belum tidur ikut membantu suami mengubur kucing tersebut, dibarengi berbagai petuah, " Besok harus bikin selametan, Mas...soale kucing loh!!! Nanti ada apa-apa !!!.."
Suami menyarankan kepada saya agar besok membuat nasi bancakan ( nasi yang di anterin ketetangga sekitar ). Berhubung besoknya kami akan takziah dan langsung melanjutkan perjalanan ke Jogja untuk menengok Ibu mertua di RS, ahirnya saya putuskan titip uang secukupnya ke tetangga dan minta tolong kepadanya untuk menyelenggarakan bancakan tadi.

Sungguh, kami melaksanakan semua bukan karena takut akan mitos-mitos yang telah membuat sebagian orang takut dan mempercayainya, yang terkadang bingung panik dan seolah-olah menabrak kucing akan membuat mereka dalam bahaya dan membawa sial bahkan sepengetahuan saya ada yang mobilnya setelah kejadian di mandiin kembang (halah..kayak judul lagu aja..)
Sungguh, bukan juga karena takut dengan "nanti ada apa-apa". Kami melakukan semua, mengubur kucing tersebut dengan layak kemudian "selametan" tidak lebih sebagai penghormatan untuk menghargai sebuah nyawa makhluk ciptaan Allah. Ya....menghargai sebuah NYAWA.

Makanya jika menabrak kucing bisa bikin orang ketakutan akan kejadian selanjutnya, malah ada yang merasa dikejar-kejar perasaan bersalah.
Lalu kenapa ketika menghilangkan nyawa sesama manusia seakan begitu mudahnya ?
Ya...inilah dunia dengan berbagai cerita dan peristiwa yang sebenarnya bisa kita ambil hikmah dibalik semuanya...

Sebagaimana kami, setelah kejadian menabrak kucing ada hikmah yang kami dapat. Anak-anak sekarang jadi ribut jika dari kejauhan sudah melihat ada kucing yang mau menyeberang jalan yang tadinya mereka tidak pernah peduli. Lalu ketika sudah kembali ke Bandung, saya menelepon tetangga yang saya titipi untuk membuat bancakan, dengan semangatnya si Mak ( begitu kami memanggilnya) bercerita, "Walah Mbaak.. ninggalin duitnya kakehan (kebanyakan), sampai bisa dapet 35 piring Mbak...!". Masyaa Allah...waktu itu uang yang saya titipkan cuma Rp 100.000,- karena maksudnya hanya untuk tetangga kanan kiri terdekat saja yang dibagikan bancakannya, tetapi ternyata bisa sampai hampir satu RT, dan itupun si Mak masih bilang uang itu kebanyakan...! Ah..... si Mak belum tahu kalau hidup di kota besar berbelanja atau makan di restoran dengan jumlah uang "sebesar itu" hanya seperti lewat begitu saja...........

Betul-betul kejadian yang membawa hikmah dan berkah. Mudah-mudahan di setiap kejadian kita bisa mengambil hikmah dan tidak menganggap sebagai suatu petaka. Karena sekecil apapun kejadian semua adalah kehendakNya Lalu dari berita-berita tentang Bapak "AA" itu, hikmah apa saja yang bisa kita ambil? Kita tentu punya jawaban masing-masing...

Thank You Allah for My Milad....

Pukul 1 siang di hari milad (ulang tahun) ku...

Anak-anak belum pulang sekolah, sementara si Adek dengan nyenyaknya telah memulai mimpi di bobo siangnya. Suami pun untuk siang ini tidak pulang dan istirahat siang di rumah seperti biasa karena ada undangan makan siang dari teman kantornya yang juga merayakan Ultah di hari yang sama dengan ulang tahun saya.
Buka Facebook, ternyata telah ada banyak ucapan-ucapan dari teman-teman yang betul-betul membuat haru saya. Syukron buat teman-teman semua…jazaakumullaaha khoirol jazaa…… semoga senantiasa kita dilimpahkan karunia dariNya untuk selalu menjalin silaturrahiim………Amien……………………

Kalau Suami kemarin sore setelah pulang dari kantor ditengah menikmati minuman teh mengulurkan tangannya, sedikit heran saya yang ikut mengulurkan tangan dengan lugu bertanya “ ‘Napa Ayah…? “Kan Ibu ulang tahun….dari pada besok lupa…”, jawabnya. Ha….ha…ha ..Ayah..Ayah…engga’ ada romantis-romantisnya. Nanti kek jam 12 malem pakai bunga atau ada kejutan hadiah, tiup lilin, makan direstoran yang mewah atau apalah….kayak di sinetron itu lo……
Tapi dulu begitulah keinginan diri ini ketika usia masih belum dewasa. Inginnya disayang…..dimanja….kalo enggak waaaah…alamat ngambek berat deh… atau memang sudah terbawa-bawa suasana film kali ya……..

Oya….tanpa mengikuti quiz-quiz tentang tanggal kelahiran, saya udah dapet kesimpulan dan penilaian sendiri dari suami. Katanya, orang yang lahir tanggal 29 April itu pribadi yang betul-betul menyenangkan bagi banyak orang di sekitarnya, tapi….gampang ngambeknya…ha..ha…ha… Namun setelah jauh usia ini bertambah dan semakin dekat dengan batas waktu yang di jatah oleh Yang Maha Kuasa kayaknya saya harus lebih mawas diri dan mungkin ngurangi acara ngambeknya (he..he..apa bisa ya…………)

Syukuran di hari milad kali ini apa ya…?
Oh….kemarin sore makan pempek bareng tetangga dan saya bilang “Ini syukuran ulang tahun saya ya…”
Pagi tadi si-Kecil main dengan temannya begitu lewat tukang balon semua minta dibeliin sambil bayar duit ke tukang balon saya bilang lagi..” Ini balon syukuran Ibu ulang Tahun ya…” he..he…
Terus sekitar jam 12 tetangga nganterin kue black forest, katanya suaminya ultah !! Loh…loh….Alhamdulillah…kalo yang ini bagi saya salah satu nikmatnya surga dunia, karena engga usah repot-repot beli atau bikin kue lagi untuk anak-anak di hari ultah Ibunya he..he……

Yah…itu hanya serangkaian cerita dan canda simbol rasa syukur dihari milad. Yang pasti di bulan milad saya ini banyak peristiwa-peristiwa yang harus menjadi tadzakkur dan tafakkur bagi saya. Tanggal 29 April tiga puluh tiga tahun yang lalu Bunda saya berjuang melahirkan saya ( Thank You Allah for my Mother… ), 29 April tiga belas tahun yang lalu ada yang mengajak saya untuk sama-sama berjuang mengayuh biduk rumah tangga, di lamar ceritanya ( Thank You Allah for my Husband …), 2 April dua belas tahun yang lalu sayapun berjuang melahirkan putra saya dan berubahlah status saya menjadi seorang Ibu ( Thank You Allah for my babies..), lalu di bulan yang sama pula 18 April sembilan tahun lalu Allah memanggil Ibunda tercinta, dan terakhir baru 22 April kemarin berpulang juga salah seorang Bulik (bibi) dari Suami yang sangat saya cintai dan kagumi ke haribaanNya….(Thank You Allah, karena hamba tahu Engkau lebih menyayangi mereka dan Engkau yang Maha Mengerti tempat yang lebih baik buat mereka)

Di hari milad ini……
Hanya do’a dari dalam jiwa yang paling dalam untuk Sang Maha Pencipta dimana usia ini berada dalam genggamanNya……….
Semoga saya bisa mengisi sisa-sisa usia saya dengan manfaat untuk semua…..
Semoga tidak ada ke-sia-sia an yang mengotori hari-hari perjalanan saya untuk kembali menghadapNya. Sehingga diujung batas usia saya nanti akan bisa saya tutup episode kehidupan saya dengan penutupan yang terbaik…” husnul khootimah”
Amienn….Allaahumma Amienn…………..

Sekali lagi terima kasih untuk teman-teman atas ucapan dan doanya, di milad kali ini terasa lebih istimewa dan indah bagi saya karena Allah telah mengirimkan teman-teman semua yang banyak diantaranya baru saya kenal hanya sebatas foto dan kata-kata di forum Facebook ini di dalam mengisi hari-hari saya selanjutnya dan.seterusnya……
Insya Allah semoga keberkahan selalu mengiringi setiap langkah hati kita dan terus kita saling mendoakan…………..

Thank You Allah for My Milad....

Satu pelajaran tentang IKHLAS

Jika di buat daftar, mungkin bisa panjang sekali barang-barang yang pernah saya hilangkan. Sifat jelek saya yang suka teledor dan kurang teliti sering menyebabkan adaa.. saja cerita barang yang hilang. Dan yang paling parah tapi membawa hikmah adalah ketika pertama kali saya ke kota kelahiran Suami, sebuah kota kecil di daerah pegunungan yang sangat indah.

Sejak kecil saya terbiasa tinggal di kota besar yang jauh dari pegunungan, jadi mohon dimaklumi sewaktu di ajak suami ke berjalan-jalan dan berfoto-foto di tepi sebuah sungai dekat rumah salah seorang Paklik (Paman) Suami yang airnya, Masya Allah, begitu jernih yang mengalir di antara batu kali yang besar-besar, sifat saya yang teledor kembali membuat musibah. Saya. Karena sangat excited-nya dengan pemandangan yang indah itu saya tidak menyadari kalau dompet yang ada disaku jaket saya saya terjatuh dan hanyut di sungai itu, dan baru saya ketahui setelah berjalan agak jauh ketika hendak pulang .
Ya Allah, rasanya seperti tidak percaya sampai saya menangis berharap dompetnya bisa ditemukan karena saat itu di dalamnya ada uang yang lumayan banyak untuk ongkos kami pulang ke kota asal. Dan yang paling pasti, rasa malu yang teramat sangat pada mertua dan saudara-saudara, betapa tidak baru ke kota mengunjungi mereka kok sudah bikin cerita tidak mengenakkan. Tapi memang Allah berkehendak lain. Dompet itu benar-benar tidak ditemukan setelah kami mencarinya meski sudah dibantu oleh Paklik tadi.

Dan hikmah dibalik itu adalah saya menjadi mengerti betapa Paklik, Suami, Ibu dan Bapak mertua menganggap masalah itu sebagai suatu hal yang biasa-biasa saja, dan memberikan saya arti satu pelajaran tentang ke-IKHLAS-an. Kata mereka barang yang sudah hilang lebih baik untuk tidak usah dipikirkan. Dan meng-IKHLAS-kannya, karena “siapa tahu yang nemuian dompet itu orang yang lagi betul-betul butuh duit sehingga uangnya jadi manfaat, anggap saja sodaqoh “, kata mereka dan juga,“ Sudah enggak apa-apa! Sudah bukan rizkinya. Besok-besok diganti Allah yang lebih banyak“. Duh…Alhamdulillah…itu adalah kata-kata penyejuk jiwa sehingga rasanya hati ini kembali menjadi tenang.

Setelah lama kejadian itu berlalu saya rasanya kok belum bisa menerapkannya terhadap anak-anak. Ketika pensilnya hilanglah, penghapus pensil hilang atau bahkan sajadah mereka yang hilang, semua bisa membuat saya berceramah panjang lebar dengan sederet pertanyaan, “Kok bisa hilang..? Emangnya ditaruh di mana…? Makanya hati-hati…!”. Duh, emang saya terkadang belum bisa menjadi ibu yang penyabar. Sementara dengan tenang biasanya Suami bilang, ”Udah..udah… barang yang hilang kok di ributin siapa tahu jadi manfaat buat yang nemu atau yang memang sengaja ngambil…..”

Saya akui harus lebih banyak belajar menata hati untuk bersabar dan rela jika ada barang yang hilang, baik ketika suami yang pernah HPnya ketinggalan dan hilang di warung makan, anak-anak yang alat-alat tulisnya harus dibeli-beli terus karena suka hilang, anting saya yang sering hilang sebelah, dan lainnya. Barang yang sudah hilang, diributin dan dipikirin memang percuma. Toh tidak akan membuat barang itu kembali, kecuali atas izin Allah. Tapi untuk mencapai maqam/tingkatan menganggap sesuatu yang telah hilang sebagai sodaqoh sehingga menjadi pahala kayaknya butuh perjuangan ekstra.

Dan sekarang yang lebih membuat saya harus banyak belajar untuk bersabar dan rela jika barang hilang adalah si Adek, putri kecil saya ( yang masih berusia 3 tahun). Kemarin ketika kami pergi kolam renang, si Adek selesai terlebih dahulu dan saya bawa ke kamar mandi untuk dibilas. Eh, begitu selesai membilasnya saya terlupa memasukkan sabun cair yang tadi dipakainya padahal masih penuh karena baru beli. Saya ajak lagi si Adek untuk mengambilnya di ruang bilas, tapi “ya…Dek..sabunnya ga ada lagi..sudah diambil orang”, setengah mengeluh itu kata-kata yang terucap dari mulut saya. Dengan santai dan gaya ngomongnya yang khas Adek mengingatkan saya “Napa Mama..? Cabunnya ilang..? Dak pa-pa Mama..nanti beli lagi…”

Dan ketika baru-baru ini saya ajak dia ke mengikuti pengajian di masjid dekat rumah. Sewaktu di masjid itu sekilas saya perhatikan dia membuka tas saya dan mulai memainkan HP saya. Dalam perjalanan pulang saya baru teringat sehingga saya bertanya kepadanya,“ Dek..tadi HPnya mama sudah dimasukin ke tas belum ya?“. “Cudah Ma.. jawab si Adek. Ketika saya sedang sibuk mencarinya di tas si Adek keluar lagi komentarnya, “Napa Mama..? HPnya dak ada ya…? HPnya ilang..? Dak pa-pa Mama…nanti beli lagi…..”. Masya Allah , Adek…Adek…… Padahal saya ingat seorang teman saya ada yang pernah berkata, “Jangan sampe deh HP saya hilang, HP tu udah jadi separuh nyawa saya”. Loh …loh… gimana ya rasanya kalau separuh nyawa yang hilang ???

Ya Allah, memang sungguh tidaklah mudah bagi kami untuk menata hati sampai kepada keikhlasan ketika ada sesuatu yang harus hilang dari kami, baik itu karena keteledoran kami sendiri, atau memang disaat itu Engkau sedang menguji sampai dimana tingkat kepasrahan kami terhadap semua yang bukan lagi menjadi Rizki bagi kami………..

Ibu Kartini itu Ibu-Ibu kita sendiri

Alhamdulillah…Ayah kami sudah pulang ke rumah setelah kemarin beberapa hari di kampung halamannya berubah status sebagai anak…dalam rangka misi birrul waalidaini.

Bahagia rasanya operasi yang di jalani Uti (Simbah Putri) bisa lancar tanpa masalah apa-apa. Semua tak lepas dari doa keluarga juga teman-teman. Tadinya sempat sedih juga karena waktu tiba saatnya akan operasi saya ditelepon si Ayah kalau dokternya sempet bermusyawarah dengan keluarga untuk minta dimaklumi jika terjadi apa-apa setelah operasi, karena kondisi Uti yang sepuh dan dari hasil rontgen jantungnya Uti membesar bisa membuat proses anestesinya nanti beresiko besar.
Alhamdilillaah wassyukru lillaah…ternyata semua bisa dilewati Uti dengan lancar.

Dan dari cerita-cerita Ayah, setelah beberapa hari menjaga Uti di rumah sakit, bertambah-tambahlah kekaguman saya akan sosok beliau. Uti yang terbaring lemah tetap tidak mau kalau untuk keperluan buang air kecil atau besar harus memakai pispot. Uti tetap ingin ke kamar mandi agar lebih terjaga kesucian badan. Begitu juga untuk sholat. Semangatnya berjalan ke kamar mandi untuk berwudlu lalu melakukan gerakan sholat sambil duduk begitu luar biasa. Padahal setiap kali berusaha untuk bangun dari tempat tidur itu membuat selang infusnya harus sering di perbaiki posisinya.

Ah…Uti.. saya pun pernah merasakan bagaimana sakit dan pegalnya tangan kalau sedang diinfus. Apalagi harus membayangkan berulang kali jarum infus di tusuk-tusuk ke kulit tangan untuk mencari urat nadi agar infusnya bisa jalan.

Ya..itulah Uti kami…
Semangat beliau di waktu sehat, dan pembawaan beliau yang tidak bisa berdiam diri dan juga tidak manja. terbawa sampai kondisi sakit sekalipun. Sehingga untuk makan saja beliau berusaha sendiri, tidak mau disuapin.
kekaguman demi kekaguman akan beliau, berujung menjadi inspirasi bagi saya untuk berjuang dan berusaha menjadi seorang ibu yang tegar, kuat..penuh semangat dan mengisi hari-hari dengan hal-hal yang bermanfaat.

Bolehkah jika saya sampaikan kepada teman-teman..?
Jika tanggal 21 April nanti kita memperingati hari Ibu Kartini yang harum namanya dengan perjuangan Emansipasi Wanita.
Dan kita ahirnya memuji-muji jasanya.
Mengapa tidak kita peringati saja, dan mengagumi, selalu dan selalu tanpa perlu hari-hari tertentu, akan sosok-sosok Ibu yang berada di kehidupan kita sendiri .
Mungkin kita pernah berselisih faham dengan mereka, tapi alangkah indahnya jika kita tanamkan di hati….
Yang karena perjuangan dan doa Ibu, kita bisa seperti sekarang ini ?
Yang kalau bukan karena perjuangan dan doa Ibu, kita bukanlah siapa-siapa ?
Dan menurut saya, perjuangan beliau-beliau, Ibu-ibu kita, tidaklah kalah dengan perjuangan Ibu Kartini.
Dan rasanya tak kalah mulia jika kita menjadikan perjuangan beliau-beliau sebagai inspirasi menuju perbaikan diri.

Teringat saya akan untaian syair :

RidhoNya Tuhan-Mu ridhonya Ibu juga
murkanya Ibu-mu murka Tuhan juga
surganya Tuhan-Mu di bawah kakinya...................
.

Rewelnya Adek

Dua hari sebelum ayah berangkat untuk menemani Uti yang sakit. Adek sudah mulai rewel tidak seperti biasanya. Karena adek adalah anak yang begituuu baik. Dari bayi juga tidak rewelan. Kalo malam tidur layaknya orang gede… lamaa…..pokoknya bayinya adek seperti kami tidak menjaga bayi saja. Kami bisa ikut bobok nyenyak.
Makanya ketika mulai rewel sedikit, sudah bisa dipastikan mesti adek sedang tidak sehat.
Kalo rewelnya tidak dibarengi demam maka biasanya kita bawa adek untuk di pijit.
Dan setelah dipijit adek juga kembali ceria dan boboknya nyenyak.

Untuk kali ini rewelnya beda dari biasanya. Saya sampai kewalahan……..kalo rewelnya setelah ayahnya pergi, mungkin itu rewel karena kangen, tapi rewelnya sudah dari dua malam sebelum ayah pergi. Kemaren adek sudah di pijit namun tetap tidak mengurangi kerewelannya. Dan bukan juga karena adek tidak enak badan …. Tapi selalu adaa aja yang bikin dia menangis dan minta ini itu…………..

Yang bikin saya trenyuh ketika beberapa hari ini dia selalu minta digendong pakai kain gendongan ( jarik, dalam bahasa sehari-harinya dia ).
Pagi.. siang…. tidak juga karena ngantuk pokoknya minta digendong. Duhh….padahal biasanya juga si adek di sambi ibunya mengerjakan pekerjaan rumah dia diam dan asyik main sendiri. Bahkan sering malah adek ikut-ikutan apa yang lagi dikerjakan ibunya.
“ Adek yewang-yewang ( rewang-rewang ) mama ya…” begitu katanya kalo lagi ingin membantu.

Entahlah… dalam hidup ini terkadang ada hal-hal yang tidak bisa di logikakan.
Dan saya sering mengalaminya. Termasuk kondisi rewelnya adek sekarang.
Karena pas minta di gendong kemaren, walaupun sudah tertidur di gendongan dia tidak mau untuk di tidurkan di kamar. Setiap saya berusaha memindahkannya dari gendongan dia terbangun. Sambil menangis dia bilang “ adek capek mama..bobok di kaman…adek maunya bobok kayak adek bayi.. digendong…mama duduk di copa (sofa) aja…kayak Uti gendong adek……..

Subhaanallah… serrrr !!! ada yang berdesir di dada ini. Ya…saya jadi ingat ..
adakah rewelnya adek beberapa hari ini karena Uti-nya yang lagi sakit ?
Karena dulu dua tahun yang lalu, waktu kita masih kumpul bareng Uti dan Kakung. Ketika Uti sakit dan harus di opname, malam berikutnya si adek menyusul sakit dan harus di opname juga. Jadilah dia menemani Uti di rumah sakit karena kamarnya adek dan Uti bersebelahan.

Setiap ada yang bezuk Uti mesti bilang, “ada sedihnya lihat cucu sakit…tapi ada senengnya juga karena jadi nemenin Uti-nya di rumah sakit”
si adek betul-betul sebagai penghibur….karena pagi-pagi dengan inpus sama-sama di tangan Uti menengok ke kamar adek atau sebaliknya adek yang ke kamar Uti.

Terpikir oleh saya, memang ikatan kasih sayang dan kedekatan batin membawa pengaruh psikologi,
dan tidak bisa di uraikan secara logika..
Dan hanya ALLAH yang menjadikan cerita adek harus seperti itu.

Sama seperti halnya adek kemaren rewel. Menangis minta di gendong sampai tertidur di sofa, sebagaimana kebiasaan Uti dulu, selalu menggendong adek sampai adek tertidur.
( padahal untuk yang namanya “menggendong”, Uti pernah di tegur temannya yang ber-propesi bidan. Katanya kalau sudah tua jangan suka menggendong cucu. Hati memang senang tapi fisik sudah tidak mengizinkan……..) tapi Uti tidak terpengaruh dengan nasehat temennya itu.

Setiap hari, dan biasanya di pagi hari setelah adek mandi dan maem.
Atau sore menjelang maghrib Uti menggendong adek sampai adek tertidur……..
Jika saya minta adek untuk dipindahkan boboknya ke kamar, Uti mesti menolak.
Dan memilih duduk di sofa sampai Uti ikut tertidur dengan nyenyaknya.
Bersama adek yang tetap dalam gendongan.................
...........

Rewelnya adek, mengingatkan saya kembali akan kasih sayang seorang Ibu yang tiada batas..........

Kasih Uti memang tiada bertepi, bagaikan air yang terus mengalir.....................…………

Cepet sembuh ya Uti………Doa kami selalu …………………………………………..

Surat untuk Ayah

Sudah terhitung dari malam jumat ayah untuk sementara tidak aktif di dunia maya.
Padahal biasanya ayah orang yang paling kreatif di Fes-buk he..he..
Ga pa-pa yah……..tinggalkan sejenak kesibukan dunia untuk sesuatu yang lebih berharga
BIRRUL WAALIDAINI. ( berbakti untuk kedua orang tua )

Walau ibu harus extra menjelaskan kepada mbak dan si adek ketika selalu bertanya “kenapa ayah belum pulang-pulang ? kok ayah lama sih ? “

Walau ibu juga harus extra repot pagi-pagi karena tidak ada temen untuk berbagi tugas menyapu halaman, membangunkan anak-anak sholat shubuh, beres-beres mainan adek yang kalo pagi kadang masih berantakan.

Belum lagi kemaren harus nemenin bude dan pakde serta anak-anaknya yang berlibur ke Bandung, dan waktu jalan-jalan tidak ada ayah, ( yang biasanya bertugas gendong adek) ……..maka begitu adek bobok di gendongan sampe-sampe ibu rasanya ga kuat lagi untuk berjalan-jalan.
Walau ahirnya acara jalan-jalan itu menjadi liburan yang tidak menyenangkan menurut komentar anak-anak karena tidak ada ayah.

Dan rasanya masih banyak lagi walau-walau lainnya karena kepergian ayah yang lama untuk menemani Ibu tercinta.

Tapi yaqinlah ayah…………
Keputusan ayah untuk pulang dan mengambil cuti untuk menemani Ibu yang sakit dan mau operasi, dan menimbulkan berbagai efek kejadian hal-hal kedunian seperti di atas dan menjadi hilangnya rutinitas ayah sebagaimana biasanya.
Tetaplah tidak sebanding dengan pengorbanan Ibu………….

Semoga pengorbanan ayah meninggalkan keluarga dan pekerjaan untuk sementara
“ Demi bakti kepada kedua orang tua. Dan berujung “ Lilaahi Ta'aala.
adalah suatu proses menuju kemulian kehidupan………..Aaaamiin…………
……

Konsep “LILLAAHI TA’AALA”

Di tengah kegelisahan akan sistem pendidikan sekarang bisa dikatakan stress-nya orang tua murid akan Ujian Nasional yang akan dihadapi anak-anaknya melebihi stress si anaknya itu sendiri. Bahkan ada di salah satu surat kabar memberitakan adanya orang tua (kebanyakan ibu-ibu) yang menjadi banyak “tuntutan dan pesanan” terhadap anaknya. Harus rajin ikut pemantapan, memburu try out ujian di bebagai tempat, bahkan mendatangkan guru privat khusus. Karena mereka beranggapan untuk melewatinya, “harus dengan cara seperti itu. Persaingan zaman sekarang sangat ketat. Hanya yang berkualitas yang bisa menjadi orang“, begitu kata mereka di koran.

Saya tadinya juga termasuk ibu yang seperti itu. Karena bagi saya itu adalah bentuk perhatian saya, yang ternyata menurut ahli psikologi yang pernah saya baca malah menambah beban anak-anak.

Tanpa bermaksud mengenyampingkan segala usaha untuk menghantarkan anak-anak menjadi orang yang sukses, alangkah baiknya jika sejenak kita merenung. Bahwa di balik semua usaha kita, adalah Allah yang Maha Mengatur segalanya.

Dan kenapa kita tidak meniru akan lelaku prihatin orang tua kita dulu ketika anaknya hendak menghadapi ujian atau ketika mereka mengikuti berbagai tes untuk melamar pekerjaan? Bukannya menambah beban anak-anaknya dengan berbagai pesan sponsor yang sebenarnya tidak begitu penting, tapi justru sering disampaikan dengan cara berulang-ulang seperti,“Hati-hati ya jawabnya. Lihat lagi jangan sampai ada yang kelewat, Kerjakan yang mudah dulu ya biar cepat.”

Ahirnya saya berkesimpulan jika kita kembali menengok kezaman orang tua kita dulu, semuanya dengan “LILLAAHI TA’AALA” (dipasrahkan kepada Allah semata). Kesannya mereka seperti santai saja dalam memberikan kepercayaan kepada anaknya sehingga mendaftar sekolah saja terkadang harus berusaha sendiri. Tidak seperti anak-anak sekarang yang begitu nyaman dengan apa-apa serba diantar dan disediakan.

Ya…zaman anak sekarang jauh berbeda dengan orang tuanya dulu. Semua selalu menjadi kekhawatiran kita. Dan kita yang terkadang repot dan bingung mencarikan sekolah yang terbaik buat mereka.Atau yang lebih parah kita sudah bingung mengarahkan mereka sesuai keinginan kita.

Kembali lagi, biar tidak stres akan masa depan anak kita, mungkin ada baiknya kita meniru konsep “LILLAAHI TA’AALA” dan lelaku prihatinnya orang tua dulu, yang tidak hanya rajin berdoa, tapi tanpa sepengetahuan anak-anaknya mereka rela berpuasa sunnah ketika anaknya tersebut menghadapi berbagai tantangan hidup untuk meraih kesuksesan. Tanpa ada paksaan dari mereka anaknya harus jadi ini.. jadi itu…

Dan yang bisa saya tiru dari orang tua sampai sekarang, serta memang membuat hati saya tidak pernah khawatir jika anak-anak saya hendak menghadapi ujian sekolah atau mau ke-mana-mana adalah, ketika mereka telah mencium tangan saya untuk pamitan pergi sekolah atau main ke rumah temennya saya hanya berucap singkat “ Bismillah….hati-hati ya………….”

Mengomentari Ujian Tengah Semester si Sulung....

UTS ( Ujian Tengah Semester ) anak-anak telah selesai. Ketika dibagikan nilainya Alhamdulillah hasilnya cukup memuaskan. padahal betapa santainya mereka ketika belajar.
Dan yang membuat saya agak geli adalah diwaktu membaca catatan di buku nilai si sulung. Di situ tertulis catatan dari gurunya “ AGAR LEBIH DITINGKATKAN PRESTASI BELAJARNYA “
Maka dengan antusias sebagai ibunya saya langsung memulai ocehan saya ( he..he..namanya juga ibu-ibu ), “Tuh Mas.. ditingkatkan lagi prestasi belajarnya nih.. Mas itu males banget kalo di suruh belajar, jadi cocok banget catatannya..” ( PD banget pokoknya ibunya mengoceh….)
Tapi dengan santainya si Mas menjawab (oya.. si sulung saya ini bukan keturunan orang Sunda dan baru setahun lebih tinggal di Bandung, tapi cara bicaranya sudah keikut logat Sunda, kalo ngomong mesti ada teh-tehnya dan ada akhiran “k” di beberapa ucapan kata-kata, jadi kata-katanya berikut ini ada campuran logat itu), ”Apa Ibu’…itu teh catatannya bukannya cocok sama Mas...tapi temen-temen teh semua juga dicatatannya begitu’ …sama’….Ibu lihat aja punyanya temen-temen Mas kalo Ibu ga percaya’ “….
Ha..ha..ha…. , spontan saya dan ayahnya ga bisa nahan tawa….. Abisss.. kita dah PD banget ngasih komentar,…tahunya… !!!
Tapi tetep aja ada jawaban saya (Ssst …!!! Ini mah biar tidak malu ceritanya ), “Oh..itu berarti semuanya disuruh rajin belajar biar prestasinya pada bagus dan lulus Ujian Nasional nantinya……”

Itu kata-kata yang keluar dari mulut. Kalo dari hatinya sih beda, alias cuma bisa membatin dan berandai-andai, guru anak saya itu kenapa ya.... Kok tidak sempet membuat kata-kata di catatan muridnya sesuai standar Masing-masing anak. Seandainya mereka lebih kreatif sedikit aja, atau seandainya mereka bisa memberikan catatan itu dengan hati bukan hanya sekedar melulu materi, sehingga anaknya betul-betul termotivasi dan merasa gurunya memang memperhatikan mereka.
Soalnya di jaman serba digital begini anak-anak itu lebih kritis. Contohnya, ya si sulung saya itu, jadi menganggap sepele akan catatan dari gurunya.
Oalah……Mas….Mas….

Dari kusutnya si Ayah hingga hikmah Tragedi Situ Gintung…

Kemarin Senin kurang lebih jam satu siang, ayahnya anak-anak baru bisa pulang ke rumah untuk istirahat siang. Memang, kalau istirahat dan makan siang ia selalu di rumah kecuali ada acara- acara tertentu (ya.. itung-itung penghematan, ceritanya). Maklum jarak rumah dan kantor Ayah tidak begitu jauh.

Dan di siang Senin itu, tidak seperti biasanya mendekati jam satu ia baru tiba di rumah. Karena kalau biasanya tidak lama berselang azan zhuhur ia mesti sudah pulang.
Dengan wajah yang lumayan kusut Ayah berkata : “ Masya Allah….yang namanya ngeladeni tamu di kantor ga rampung-rampung…bla…bla…bla…dan seterusnya….”
Saya cuma bisa tersenyum sambil menyiapkan makan siang untuknya, karena saya mengerti bahwa sebenarnya dia capek berat.

Setelah sholat zhuhur, makan siang dan beristirahat sebentar Ayahpun menelepon salah satu wajib pajak yang akan dijumpainya. Karena, katanya kepada saya, kalau wajib pajak tersebut yang datang ke kantor pasti akan betambah runyam karena masalah komplainnya, yang kebetulan diproses oleh petugas yang digantikan oleh Ayah, lama tak terselesaikan. Maka sebelum klien itu yang ke kantor dan menambah keruh situasi, Ayah berusaha lebih dulu menemui wajib pajak tersebut di rumahnya, paling tidak untuk menjernihkan permasalahan yang sebenarnya, sehingga mengurangi potensi masalah yang lebih lebar.

Dan begitu saya mengikutinya sampai pintu rumah ketika hendak keluar, tampak raut wajah Ayah yang masih kusut kecapekan. Sebagai seorang istri, saya hanya bisa memberi kata-kata semangat seadanya, “Ayo Yah…..semangat dong…jangan mengeluh … Lihatlah yang di Situ Gintung lebih sengsara, jauh lebih berat masalahnya…Ayah kan cuma baru situ sini he..he…he..”. Ayah pun cuma tersenyum kecut mengiyakan…

Bukan bermaksud menjadikan musibah Situ Gintung sebagai bahan bercanda. Musibah tersebut memang harus menjadi i’tibar atau pelajaran bagi kita. Tidak banyak kata yang bisa diungkapkan atas musibah tersebut kecuali hanya menyebut Asma Allah. Di tengah hiruk pikuk kampanye para parpol untuk meraih suara disertai janji-janji dan saling mengakui keberhasilan kepemimpinan para pejabat, maka Allah lagi, lagi dan lagi memberi kita kejutan, setelah kejutan-kejutan akan kejadian bencana alam sebelumnya yang hampir kita lupakan.

Hari Kamis minggu yang lalu sebelum tragedi Situ Gintung terjadi, di pelajaran tafsir Al-Quran yang saya ikuti di masjid dekat rumah, sang ustadz menjelaskan secara sederhana akan persamaan maksud ayat 106-107 dari Suroh Al-Baqoroh yang artinya seperti berikut :
Ayat 106 : “ Jika ayat-ayat yang Kami nasahkan (batalkan) atau Kami lupakan, niscaya Kami datangkan yang lebih baik dari padanya atau sepadan seperti dia. Apakah kamu tidak mengetahui, bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu ?”
Ayat 107 : “Tidakkah engkau mengetahui, bahwa Allah mempunyai kekuasaan di langit dan di bumi? Dan tiada bagi kamu selain Allah yang membantu kamu dan tiada (pula) orang yang akan menolong kamu“.

Ustadz tersebut menjelaskan ayat-ayat tersebut dengan bahasa sederhana, bahwa tanda-tanda kebesaranNya (ayat) akan terus didatangkanNya, sebagai peringatan bagi kita semua, yang terkadang peristiwa-peristiwa yang telah terjadi tersebut hampir terlupakan dari benak kita . Dan di contohkanlah oleh ustadz akan kejadian kejadian bencana yang dari dulu sudah terjadi. Meletusnya gunung Krakatau, kemudian gunung Galunggung, tsunami di Aceh, di Pangandaran, Gempa di Yogya, di Cilacap dan masih banyak kejadian yang lainnya.

Dan, Masya Allah…, tidak lama berselang dari pelajaran dan keterangan ustadz terulang benar tanda-tanda kebesarannya untuk sekali lagi, tragedi Situ Gintung (tsunami kecil katanya). Tidak perlulah kita bahas bagaimana di tengah porak poranda dan hancurnya berbagai bangunan tetap berdiri masjid masjid dengan kokohnya.

Maha benar Allah dengan segala Firmannya.

Mungkin kini kita hanya dapat menolong untuk kebutuhan jasmani mereka yang tertimpa musibah. Serta doa semoga Allah memberikan kekuatan batin mereka yang telah kehilangan harta benda dan keluarga. Karena sesungguhnya Allah lah yang Maha Membantu (Al-Walii) dan Maha Penolong (An-Nashiir).

Maka dari membaca ayat-ayat Allah itu, seharusnya, sejenuh-jenuhnya, sebosan-bosannya kita akan rutinitas pekerjaan kita sehari-hari, kita masih harus lebih banyak bersyukur atas banyak nikmat yang sebenarnya telah kita peroleh. Semoga kita termasuk golongan hamba-hambaNya yang pandai bersyukur, bukan hanya di bibir saja, tetapi memang jauh di dalam hati kita …Amin.

Dari kusutnya si Ayah hingga hikmah Tragedi Situ Gintung…

Kemarin Senin kurang lebih jam satu siang, ayahnya anak-anak baru bisa pulang ke rumah untuk istirahat siang. Memang, kalau istirahat dan makan siang ia selalu di rumah kecuali ada acara- acara tertentu (ya.. itung-itung penghematan, ceritanya). Maklum jarak rumah dan kantor Ayah tidak begitu jauh.

Dan di siang Senin itu, tidak seperti biasanya mendekati jam satu ia baru tiba di rumah. Karena kalau biasanya tidak lama berselang azan zhuhur ia mesti sudah pulang.
Dengan wajah yang lumayan kusut Ayah berkata : “ Masya Allah….yang namanya ngeladeni tamu di kantor ga rampung-rampung…bla…bla…bla…dan seterusnya….”
Saya cuma bisa tersenyum sambil menyiapkan makan siang untuknya, karena saya mengerti bahwa sebenarnya dia capek berat.

Setelah sholat zhuhur, makan siang dan beristirahat sebentar Ayahpun menelepon salah satu wajib pajak yang akan dijumpainya. Karena, katanya kepada saya, kalau wajib pajak tersebut yang datang ke kantor pasti akan betambah runyam karena masalah komplainnya, yang kebetulan diproses oleh petugas yang digantikan oleh Ayah, lama tak terselesaikan. Maka sebelum klien itu yang ke kantor dan menambah keruh situasi, Ayah berusaha lebih dulu menemui wajib pajak tersebut di rumahnya, paling tidak untuk menjernihkan permasalahan yang sebenarnya, sehingga mengurangi potensi masalah yang lebih lebar.

Dan begitu saya mengikutinya sampai pintu rumah ketika hendak keluar, tampak raut wajah Ayah yang masih kusut kecapekan. Sebagai seorang istri, saya hanya bisa memberi kata-kata semangat seadanya, “Ayo Yah…..semangat dong…jangan mengeluh … Lihatlah yang di Situ Gintung lebih sengsara, jauh lebih berat masalahnya…Ayah kan cuma baru situ sini he..he…he..”. Ayah pun cuma tersenyum kecut mengiyakan…

Bukan bermaksud menjadikan musibah Situ Gintung sebagai bahan bercanda. Musibah tersebut memang harus menjadi i’tibar atau pelajaran bagi kita. Tidak banyak kata yang bisa diungkapkan atas musibah tersebut kecuali hanya menyebut Asma Allah. Di tengah hiruk pikuk kampanye para parpol untuk meraih suara disertai janji-janji dan saling mengakui keberhasilan kepemimpinan para pejabat, maka Allah lagi, lagi dan lagi memberi kita kejutan, setelah kejutan-kejutan akan kejadian bencana alam sebelumnya yang hampir kita lupakan.

Hari Kamis minggu yang lalu sebelum tragedi Situ Gintung terjadi, di pelajaran tafsir Al-Quran yang saya ikuti di masjid dekat rumah, sang ustadz menjelaskan secara sederhana akan persamaan maksud ayat 106-107 dari Suroh Al-Baqoroh yang artinya seperti berikut :
Ayat 106 : “ Jika ayat-ayat yang Kami nasahkan (batalkan) atau Kami lupakan, niscaya Kami datangkan yang lebih baik dari padanya atau sepadan seperti dia. Apakah kamu tidak mengetahui, bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu ?”
Ayat 107 : “Tidakkah engkau mengetahui, bahwa Allah mempunyai kekuasaan di langit dan di bumi? Dan tiada bagi kamu selain Allah yang membantu kamu dan tiada (pula) orang yang akan menolong kamu“.

Ustadz tersebut menjelaskan ayat-ayat tersebut dengan bahasa sederhana, bahwa tanda-tanda kebesaranNya (ayat) akan terus didatangkanNya, sebagai peringatan bagi kita semua, yang terkadang peristiwa-peristiwa yang telah terjadi tersebut hampir terlupakan dari benak kita . Dan di contohkanlah oleh ustadz akan kejadian kejadian bencana yang dari dulu sudah terjadi. Meletusnya gunung Krakatau, kemudian gunung Galunggung, tsunami di Aceh, di Pangandaran, Gempa di Yogya, di Cilacap dan masih banyak kejadian yang lainnya.

Dan, Masya Allah…, tidak lama berselang dari pelajaran dan keterangan ustadz terulang benar tanda-tanda kebesarannya untuk sekali lagi, tragedi Situ Gintung (tsunami kecil katanya). Tidak perlulah kita bahas bagaimana di tengah porak poranda dan hancurnya berbagai bangunan tetap berdiri masjid masjid dengan kokohnya.

Maha benar Allah dengan segala Firmannya.

Mungkin kini kita hanya dapat menolong untuk kebutuhan jasmani mereka yang tertimpa musibah. Serta doa semoga Allah memberikan kekuatan batin mereka yang telah kehilangan harta benda dan keluarga. Karena sesungguhnya Allah lah yang Maha Membantu (Al-Walii) dan Maha Penolong (An-Nashiir).

Maka dari membaca ayat-ayat Allah itu, seharusnya, sejenuh-jenuhnya, sebosan-bosannya kita akan rutinitas pekerjaan kita sehari-hari, kita masih harus lebih banyak bersyukur atas banyak nikmat yang sebenarnya telah kita peroleh. Semoga kita termasuk golongan hamba-hambaNya yang pandai bersyukur, bukan hanya di bibir saja, tetapi memang jauh di dalam hati kita …Amin.

Sepenggal Catatan Hati Menengok Ibu Mertua....

Ada suatu hikmah yang begitu besar menengok Ibu mertua yang sakit. Memang sakitnya Ibu kali ini lebih memprihatinkan dari yang pernah dialaminya.

Kaget dan haru, itu yang menyelusup di kalbu saat kami menjumpai beliau kemarin. Ketika terakhir kami pulang liburan sekolah anak-anak kemaren, Ibu masih ceria dan tidak bisa berdiam diri. Ada… saja yang dilakukannya. Pokoknya selalu sibuk jika anak cucunya berkumpul. Kini untuk berjalan saja susah, karena kondisi kesehatannya yang betul-betul menurun. Sama sekali kami tidak pernah menyangka.

Bagi saya, ada kekaguman yang luar biasa terhadap beliau. Waktu semasa tugas belajar suami ke kota Yogyakarta yang pertama sebelas tahun yang lalu, saya dan si sulung yang masih berusia satu tahun harus pindah dari kota kelahiran saya, Palembang, untuk tinggal bersama Ibu dan Bapak mertua di kampung halaman suami di kota Wonosobo, Jawa Tengah. Tadinya sempat ada kekhawatiran harus tinggal bersama mertua dan berpisah dari suami yang hanya bisa pulang tiap akhir pekan dari kota tempat dia bersekolah. Sudah ada banyak cerita yang tidak mengenakkan yang saya dengar tentang hidup campur dengan mertua. Dan yang paling berat bagi saya waktu itu juga adalah harus berpisah jauhnya saya dari Ibunda saya tercinta.

Tapi Alhamdulillah seiring niat saya yang ikhlas untuk berbakti kepada suami dan orang tua, kegelisahan dan kekhawatiran itu sirna begitu saja. Apalagi hari-hari saya lewati dengan mengasuh si sulung. Sedangkan saat itu bapak dan Ibu mertua masih mempunyai berbagai kesibukan diluar rumah. Ibu mertua waktu itu masih berstatus kepala sekolah sekaligus guru di sebuah Madrasah Ibtidaiyah yang sangat sederhana.

Disinilah letak kekaguman saya. Walau beliau masih aktif mengajar juga sebagai kepala sekolah di usia yang hampir memasuki masa pensiun, beliau tetap energik. Tidak mau berdiam diri kalau sudah di rumah. Pagi hari beliau sudah sibuk menyiapkan masakan untuk sarapan. Nanti setelah pulang mengajar ada banyak belanjaan yang dibawa, padahal seringkali belanjaan yang beliau beli itu hanya karena rasa kasihan dengan penjualnya yang ketika beliau berangkat hingga pulang mengajar dagangannya belum banyak yang laku karena kebetulan madrasah tempat beliau mengajar dekat dengan pasar.
Sampai-sampai terakhir kemarin ketika saya menemani beliau belanja kepasar, masih banyak dari penjual-penjual sayur yang menyapa beliau karena lama tidak bertemu.
Pulang dari sekolahpun beliau masih menyempatkan diri mengolah masakan atau membuat kue-kue cemilan. Belum lagi banyaknya kegiatan organisasi yang beliau pimpin dan ikuti terus.

Jika ada waktunya yang senggang sedikit saja, beliau akan menjahit kain perca untuk dijadikan selimut atau barang-barang lainnya, atau kadang-kadang beliau mengurus tanaman-tanamannya yang memenuhi halaman depan dan belakang rumah. Sepertinya tidak ada kata capek dalam kamus hidup beliau. Terus terang saya jadi malu sendiri jika harus hidup mengeluh, bermalas-malasan dan berdiam diri saja dibandingkan dengan hari-hari beliau yang begitu padat.

Dan rasanya Allah memberikan saya hikmah dan nikmat yang luar biasa di dalam episode kehidupan saya itu. Di sisi lain, ketika banyak perempuan yang seusia saya mungkin masih menempuh pendidikan dengan sekolah yang tinggi untuk mendapat gelar sarjana demi mengejar impian dan cita-cita, saya berproses sebagai ibu muda yang masih harus banyak belajar tentang hidup berumah tangga. Dan Alhamdulillah saya bisa bersekolah kepada Ibu mertua. Ya….sekolah yang tidak ada gelar ataupun ijasah yang bisa didapat. Tapi ilmu yang diperoleh sangat-sangat luar biasa yang mungkin tidak pernah diajarkan di perguruan tinggi manapun. Saya jadi belajar memasak makanan kegemaran suami dan anak-anak. Saya juga bisa memahami pola pendidikan agama yang baik buat anak-anak. Semua itu harus saya akui, sebelumnya hal tersebut tidak begitu saya hiraukan. Duh…sungguh menyesal sekali rasanya. Tapi tidak ada kata untuk terlambat dalam belajar. Dan ternyata banyak bekal ilmu yang saya dapatkan dari sekolah pada Ibu mertua.

Sekarang Ibu mertua sudah sepuh dan sakit. Jika dulu dengan telaten dan penuh cinta beliau merawat putra-putrinya, maka disaat sekarang beliau sakit tidak banyak yang dapat kami perbuat sebagai anaknya. Dan memanglah benar adanya, kasih keibuan beliau yang tidak bertepi tidak bisa tergantikan dengan apapun.

Insya Allah sebagai ganti bakti kami karena tidak bisa merawat beliau sepenuhnya, hanyalah doa demi doa yang bisa kami persembahkan. Semoga Allah segera memberikan beliau kesehatan. Dan apa yang beliau cita-citakan. Yang sekiranya masih berada dalam genggamanNya. Untuk dihantarkan kepada beliau sehingga menjadi nyata. Amiiin Yaa Robbal Aa’lamiin……………………

Protes Anakku tentang Simbah Putrinya....

Malam Kamis ini, setelah lewat musyawarah bersama ayahnya anak-anak, saya harus pulang kampung ke Wonosobo Jawa Tengah, untuk menengok Ibu mertua yang sakit.
Berhubung suami sudah pulang menengok dua minggu yang lalu, sekarang giliran saya dan anak-anak.
Yang jadi masalah, anak-anak ternyata semakin besar, sehingga semakin susah untuk diajak pergi walaupun telah dipamitkan ke sekolahnya. Ada saja alasannya. Padahal toh Ulangan Tengah Semester (UTS) mereka sudah selesai.
Apalagi si Mbak (putri kami yang kedua) sempat protes, “Kenapa sih harus nengok Uti (Mbah Putri) yang sakit?“
“Ya iya Mbak…. biar Uti seneng…,“ itu jawaban saya
“Tapi ayah kan udah pulang nengok Uti.… Lagian Uti kan ibunya ayah, bukan ibunya ibu“.
Duh, Masya Allah… ada saja protesnya. Padahal kami tahu yang bikin si Mbak ga rela ikut, karena Ayahnya engga bisa ikut. Sama persis ketika ayahnya mau pulang mudik sendirian waktu kemaren dia juga tidak rela bahkan sempet menangis. Si Mbak memang yang paling deket sama ayahnya di banding dengan si Adek dan si Mas yang lebih deket ke ibunya.
Dan dengan jawaban sederhana, yang mungkin akan mudah dinalar oleh anak-anak, saya coba jawab pertanyaannya, “Gini Mbak… Uti memang ibunya Ayah. Tapi sekarang sudah jadi ibunya Ibu juga. Uti kan yang melahirkan, mengasuh, mendidik Ayah. Kalo ga ada Uti ga bakal ada Ayah. Kalo ga ada Ayah ya…. ga ada Mbak, Mas dan Adek. Dan karena sekarang Ayah sudah jadi suami Ibu, berarti Uti juga ibunya Ibu. Nah.. kalo Nenek (ibu saya) ibunya Ayah juga….”.
“Lagian Uti kan sekarang sakit”, lanjut saya. “Trus..misalnya Ibu besok sudah tua nih… trus kalo Ibu sakit . ibu mesti ya pingiiin banget..ditengok sama Mas.. anak istrinya Mas, sama Mbak dan anak suaminya juga, sama Adek dan suami serta anaknya juga. Gitu lo…
nanti Ibu jadi seneeeng banget ditengok anak-anak.. mantu-mantu.. dan cucu-cucunya”.
Yaaa…..denger ibunya ceramah panjang lebar si Mbak cuma cengar cengir saja.
Tapi dibalik cengar cengirnya saya berharap dia bisa paham…dan suatu saat apa yang saya sampaikan akan selalu di ingatnya. Betul-betul membekas di hatinya. Bahwa sejatinya kebahagian orang tua yang telah berjauhan dari anak-anaknya, adalah apabila anak-anaknya yang sibuk karena pekerjaan dan keluarganya masing-masing bisa meluangkan waktu sejenak untuk pulang menengok. Setidak-tidaknya di hari lebaran. Ataupun anak-anaknya selalu menyempatkan diri untuk menanyakan kabar beliau-beliau, walau hanya melalui telepon atau SMS….

Dikala flu datang

Sabtu kemaren dah mulai bersin-bersin, ngiranya sih alergi saya yang kumat.
Eh..Minggu belum ilang juga bersin-bersinnya, padahal kalo alergi sih dibawa tidur juga nantinya sembuh sendiri.
Yang tambah parah, ketika bangun tidur di pagi senin. Akhirnya setelah sholat subuh saya kembali tidur. Tak ada acara aktivitas didapur tuk menyiapkan sarapan anak-anak yang mau pergi sekolah dan ayahnya yang mau ke kantor.
Pagi itu anak-anak membuat susu sendiri. Dan ayahnya membeli nasi kuning buat sarapan mereka.Jadilah mereka sarapan seadanya.
Sekitar jam 9 ayahnya anak-anak telepon, menanyakan keadaan saya apakah mau ke dokter,
dan juga bilang kalo ternyata.. dia belum sarapan. Niatnya sih sarapan dikantor, tapi di dompetnya tidak ada uang. Ya Allah...saya hanya bisa bilang, gimana...si ayah ini, kok bisa ya.. Kirain sudah sarapan nasi kuning juga bareng anak-anak. Ha..ha.. mau ketawa tapi ga lucu yang ada malah kasihan.
Mungkin semua juga begitu, atau terjadi di saya aja ya..jika istri yang sakit rasanya semua di rumah jadi kacau. Anak dan suami kebingungan. Beda kalo suami yang sakit....
Mungkin disinilah salah satu letak yang menjadikan seorang ibu lebih mulia tiga tingkat derajatnya melebihi seorang bapak ya.. Sebagaimana hadist Nabi Muhammad Saw.
Mungkin karena ketika seorang istri sakit, yang ada didalam pikirannya hanya gimana caranya segera sembuh. Kasihan anak-anak juga suami yang jadi tak terurus.
Dan bagi saya pribadi, sebagaimana yang sering saya alami, waktu sakit tak bisa membuat saya bermalas-malasan ataupun manja. Apalagi ketika pingin bobo si adek malah tetep ngajak main ibunya. Tetep minta dibacain buku. Terkadang ketika saya tolak. dengan mimik yang lucu dia berkata “mama pucing ya…mama cakit ya…”
Duh gimana mau betah sakit lama-lama kalo dah denger adek ngomong kaya gitu.
Dan akhirnya berkat semangat yang menggebu-gebu untuk sembuh, Alhamdulillah, kadang tanpa ke dokter saya biasanya sembuh sendiri.
Dan kesimpulannya, yang namanya penyakit itu menurut saya bisa cepet sembuh kalo diri kita sendiri punya semangat dan keyakinan untuk sembuh. Itu hal yang paling mempengaruhi disamping usaha atau ikhtiar kita dengan obat-obatan atau dokter.
Oya... saya dihari senin pas kena flu berat tadi, Alhamdlllah akhirnya pagi itu juga sudah tidak ada rasa pusing lagi dan bisa memasak buat suami yang terpaksa pulang cepet ke rumah karena belum sarapan itu...............

Menjadi pemaaf.

Waah…Membaca KOMPAS minggu 22 maret 2009, saya betul-betul tertarik sinopsis dari buku yang diulas dengan manis oleh J Sumardianta, Guru Sosiologi SMA Kolese de Britto Yogyakarta. Buku yang menjadi best seller itu adalah : “The 7 Laws of Happiness. Tujuh Rahasia Hidup yang Bahagia” yang ditulis oleh Arvan Pradiansyah, dan diterbitkan oleh Kaifa, Bandung, september 2008. Wajib sepertinya bagi saya untuk membeli dan membaca buku ini serta sebisa mungkin menerapkannya. Kenapa? Karena walaupun kita tahu dan akan selalu bilang dengan mudahnya kalau bahagia itu bisa kita dapatkan dengan cara bersyukur atas semua yang telah diperoleh, tapi kayaknya kita juga harus membaca buku ini dan kita jalani dalam kehidupan sehari-hari. Bukan hanya dengan bisa berkata syukur saja.

Dan yang menjadi amat tarkesan bagi saya, salah satu dari tujuh resep cespleng yang dikampanyekan Arvan Pradiansyah adalah menjadi pemaaf. Karena terus terang untuk menjadi pemaaf saya akui suatu yang kadang seperti mudah tapi sulit untuk dilakukan. Dan yang bisa saya kagumi dan saya juga masih banyak belajar menjadi pemaaf adalah kepada suami.

Ada cerita-cerita dimana begitu pemaafnya suami saya akan hal-hal yang bagi saya berat tapi dianggap suami suatu yang sepele.
Suatu ketika putra saya masih kecil berlari-lari keluar gang hendak menyeberang jalan, ada motor yang tiba-tiba mengerem dengan kencangnya, karena tidak menyangka dari dalam gang ada anak yang keluar. Dan dengan rasa bertanggung jawabnya pengendara motor yang kebetulan bapak yang sudah cukup tua meminta maaf, menanyakan bagaimana kondisi putra kami. Mau di bawa kerumah sakitkah ? Dengan santainya suami saya mengatakan “ga pa-pa pak, udah ga pa-pa….”

Tuh…kayak sepele bener ya… padahal kakak saya protes dengan sikap suami saya itu, karena kalo itu terjadi pada anaknya dia akan jelas-jelas marah pada si pengendara motor tersebut. Karena toh akhirnya malem-malem kami tetep membawa anak kami ke dokter dan periksa dengan uang sendiri. Alhmdulilah memang tidak apa-apa.

Pernah juga di suatu saat ketika saya hamil 4 bulan mengandung putra pertama kami. Waktu itu kami sedang menaiki becak berdua di cuaca yang gerimis. Ketika jalanannya menurun ternyata tukang becak tidak bisa mengendalikan dan tidak bisa mengerem. Dan, Ya Allah…tergulinglah becak yang sedang kami tumpangi dan masuk ke dalam parit. Tukang becaknya terlempar hingga celana dan dengkulnya robek.

Dengan wajah yang pucat ketakutan abang tukang becak itu meminta maaf. Dia pun dimarahi temen-temennya untuk membawa kami kerumah sakit. Tapi dengan tenangnya suami saya mengatakan, “udah ga usah…ga pa-pa kok “. Suami saya kasihan pada si tukang becak yang mesti dapat duit tidak seberapa, tapi kita paksa untuk membiayai dan bertanggung jawab atas kejadian yang sebenarnya juga tidak ia inginkan.

Dan memang Alhamdulillah walau masuk ke parit, dan ketimpa becak, kami tidak apa-apa, begitu juga dengan kondisi kehamilan saya.
Ada banyak sekali cerita-cerita dimana suami betul-betul pemaaf, dan bisa menenangkan saya yang kadang masih suka terbawa emosi.

Tapi memang kejadian-kejadian yang telah kami alami. yang selalu dengan mudahnya dimaafkan oleh suami. Harus saya akui, bahwa justru hal itu membuat segala persoalan hidup menjadi begitu ringan, tanpa beban dan Alhamdulillah hidup pun jadi happy-happy aja...


Dan betul, seperti apa yang ditulis oleh Arvan Pradiansyah tentang menjadi orang yang pemaaf didalam bukunya “ 7 Rahasia Hidup Bahagia “ dan mungkin lain waktu 6 Rahasia lagi bisa saya temukan contoh-contohnya dan bagikan kepada yang lain……………matur nuwun

ketika seorang istri harus hidup terpisah dari suami

Ketika seorang istri harus hidup terpisah dari suami. Karena situasi dan kondisi yang memang harus di jalani. Demi anak-anak ataupun demi pekerjaan yang dilakoni.
Semua harus dilalui dengan ikhlas dan keridhoan hati.
Dengan keridhoan berujunglah pada "Demi Ilahi Robbi".
Sehingga jarak tak menjadi halangan tuk seorang istri berbakti pada suami.
Dan tak ada alasan tuk rasa bersyukur terhenti.
Manakala rindu dihati bergejolak, senantiasa asa dan do'a dimunajatkan ke hadirat Ilahi.
Semoga suami nun jauh dimata tapi dekat dihati, selalu diberi kesehatan.
Dan suatu waktu diberi kesempatan tuk kembali berkumpul hari demi hari.
Bersama saling mengiringi dalam mendidik anak-anak.
Merajut mimpi-mimpi dan kasih dengan suami yang selalu menemani..................

Rindu tuk dua Ibu

Bunda, walau Bunda telah tiada, bakti ini hanya bisa nanda persembahkan lewat untaian kata yang terangkum dalam do'a-do'a.
Dan tahukah Bunda ? Bakti dan cinta nanda yang tulus kepada Bunda ingin nanda persembahkan juga kepada Ibu mertua. Tak pernah nanda jadikan batasan bakti nanda antara Bunda dan Ibu. Sepenuh hati nanda ingin berbakti kepada Ibu, beliau adalah pengganti Bunda untuk nanda, karena begitu cepatnya Bunda tiada.
Disaat nanda berada dibawah alam sadar ketika melahirkan putri nanda yang terkecil, hanya ada Bunda dan Ibu yang terlihat disana. Dua orang Ibu yang sangat-sangat bearti dalam hidup nanda.
Sekarang nanda gelisah karena mendapat berita kalau Ibu yang jauh disana sedang sakit, sama seperti gelisah dan sedihnya Nanda dulu ketika tahu Bunda sakit tapi nanda tak bisa berbuat apa-apa.
Jikalau Allah berkenan mengabulkan do'a, nanda mohon masih diberi waktu yang panjang tuk memuliakan dan berbakti kepada beliau, karena tuk menebus bakti nanda yang begitu sangat kurang pada Bunda.
Walau nanda sadar, sepanjang apapun waktu yang Allah berikan nantinya, tetap tak akan mampu membalas jasa-jasa beliau, sama seperti tak sanggupnya nanda membalas jasa Bunda...........

Mengurangi kantong plasik masuk ke rumah

Pernahkah anda melakukan sesuatu yang anda anggap tidak seberapa /tidak ada apa-apanya, ternyata begitu beharganya bagi orang lain ?
Saya baru mengalaminya, dan ingin saya ceritakan kepada semua.
Karena ke-paranoidan saya akan pemanasan global, saya berusaha betul untuk mengurangi sampah plastik karena katanya plastik baru bisa hancur setelah kita yang membuangnya menjadi fosil, hiiii….serem kan.!!!
Salah satunya saya mencoba mengurangi kantong plasik masuk ke rumah, abisss kalo udah belanja, kantong plastiknya paling dikumpul-kumpul, ga kerasa jadi banyak, ujung-ujungnya di kasihin ma tukang sayur, ya…gitu aja terus, atau kalo kantongnya kotor dan ga bisa kepake lagi, akhirnya jadi sampah deh…
Makanya ketika tukang sayur dateng, saya dah nyiapin wadah.
Lumayan kan sehari satu kantong di kali 30, bearti dah 30 kantong plastik tidak menjadi sampah, kasihan ma kota Bandung, yg katanya kota kembang, tapi perasaan dimana-mana sampahnya ga keurus.
Begitu juga kalo ke warung, saya dah bawa tas sendiri, disamping hemat kantong plastik, ternyata bikin cantk juga lo…jadi ga ketahuan kalo habis dari warung yg mesti kan bawa-bawa kantong plastik hitam he..he…
Nah…sekarang yang jadi inti ceritanya. Ketika saya pertma memulai kebiasaan ke warung bawa tas sendiri, si teteh warung ( janda dengan dua orang anak ) cuma tersenyum, “ o…si Eneng bawa tas sendiri ya…” itu tanggapan pertama.
Pas kedua kalinya saya tetep istiqomah bawa tas sendiri, begini tanggapan si teteh
“ Eneng bawa tas sendiri lagi ? iya teh…hemat plastik ..” itu jawaban singkat saya “aduh….si Eneng mah bageur pisan, emang neng… kantong plastik item gini mah kaya enggak aja, sekarang dah lumayan harganya, dua ratus satu kantong, kadang kalo yang dibeli cuma mie dua tiga bungkus, atau roti-roti, trus dikasih kantong plastik. Untungnya jadi ga seberapa. Atau kalo dihitung-hitung mah kadang jadi ga ada untungnya neng… ada malah yang rumahnya deket aja, trus belanja sedikit juga, tapi minta dikantongin. Maluuu katanya…nuhun pisan ya neng…
Ya Allah…melalui curhatan si Teteh, ada banyak ilmu yang saya peroleh, saya tak boleh bangga dibilang bageur ( baik ), karena hanya itu yg bisa saya perbuat demi bumi yg saya pijak.Dan anak cucu saya kelak yang akan tinggal didalamnya, tak bisa banyak saya berperan untuk mengurangi pemanasan global di bumi ini, yang ada cuma ikut andil sebagai perusak. Duh…Robbi..sesuatu hal yang sepele bagi saya dan mungkin bagi yang lain, ternyata membukakan hati dan pikiran saya, betapa ternyata sangat-sangat beharga bagi sebagian yang lain…

Tiga tingkatan anak-anak kita

Disebutkan di dalam hadits Rasulullah SAW, ada tiga tingkatan bagi anak-anak kita.

Sabiik, yaitu apabila mereka lebih sholeh/baik amal ibadahnya dari orang tuanya
Lahiik, yaitu ketika mereka sama sholehnya dengan orang tuanya
dan Mahiik, yaitu manakala anak-anak kita lebih jelek amal ibadahnya dari orangtuanya

Mau yang manakah kita harapkan dari anak-anak kita ?
Jelas menjadi anak sabiik bukan ?
Jika itu yang betul-betul kita inginkan,
Jangan malu untuk terus belajar dan belajar
karena tak jarang disuatu keadaan, mereka memang lebih pintar dari kita

Jika ternyata mereka diposisi lahiik
Alhamdulillah…
Jangan risau, karena atas semua usaha dan do’a kita
Tak akan mungkin menjadi sia-sia

Dan tingkatan inilah yang tidak kita inginkan, Mahiik
Nau’dzubillah min dzaalik...
Tidak ada seorangpun dari kita yang menginginkan, jika mereka anak-anak kita
menjadi lebih jelek amal ibadahnya dari orang tuanya

Mari…!! Sama-sama kita berjuang menjadi orang tua yang dapat menghantarkan
anak-anak yang telah diamanahkan kepada kita, untuk menjadi anak-anak yang sabiik….

Air cucuran atap jatuhnya ke pelimpahan juga

"Air cucuran atap jatuhnya ke pelimpahan juga",
Itu peribahasa yang ditanyakan artinya oleh putra pertama kami pada sore kemaren. Ketika dijawab dengan cara sederhana bahwa maksud peribahasa adalah sifat anak tidak akan berbeda jauh dari orang tuanya, eh…langsung dia nyeletuk “ Berarti.. sifat mas yg usil ini meniru ayah waktu kecil ya…” . Dan biasa...namanya juga ortu, ada aja jawaban mengelak ketika di-skak sama anak, “Iya…makanya kamu kurangi usilnya, biar besok kalo punya anak enggak usil banget tiru bapaknya lagi...”
Deg…terus terang di hati ini ketika itu tersadar, harus diakui ada sifat dari anak-anak atau kesalahan yang mereka perbuat, memang tidak beda jauh dari ayah ibunya diwaktu kecil. Mereka adalah cermin diri kita. Hanya kadang keinginan atau ego tuk menuntut mereka sempurna, jadi anak yang baik, penurut, yang bikin emosi muncul.
Sebenarnya didalam renungan terkadang ada kekhawatiran, disertai munculnya harapan dan untaian do’a, janganlah mereka mengulang kesalahan kita selaku orang tua, kenakalan kita di waktu kecil yang sekarang telah muncul di anak-anak. Rasanya sudah cukuplah membuat kita tersadar diri dan selalu mohon ampun kehadirat Ilahi.
Karena jikalau kesalahan dan dosa yang kita perbuat di waktu dulu atau sekarang, yang telah membuat kedua orang tua kita gelisah, marah, bahkan mungkin telah melukai hati keduanya, maka tanpa pengampunan dari Ilahi Robbi, duh…alangkah beratnya jalan dan usaha kita untuk mendidik mereka. Ya…hanya taubat dan selalu mohon ampunan kehadiratNya juga restu orang tua, semoga kelak putra putri kita tidak melakukan kesalahan yang telah diperbuat ayah ibunya. Sehingga kalau bisa, mereka menjadi anak yang lebih baik akhlak dan ibadahnya dari kita, menjadi anak yang lebih berbakti, malah mungkin jika diibaratkan mereka adalah buah yang jatuh tidak jauh dari pohonnya biarlah menjadi buah yang bagus, tidak berulat, dan menarik perhatian orang yg melihatnya, walau dia asalnya dari pohon yang jelek dan penuh hama……………

Sekelumit Pribadi Rosulullah Saw, ( terjemahan dari kitab Al-Barzanji )

Cara jalan beliau tenang, seolah-olah beliau turun dari tempat yang tinggi. Bila beliau menjabat tangan orang dengan tangannya yang mulia, orang itu mendapati bau semerbak darinya sepanjang hari.
Bila beliau meletakkan tangannya diatas kepala anak-anak, diketahuilah sentuhannya pada anak itu di tengah anak-anak lainnya (Bila anak yang telah disentuh kepalanya itu kembali bermain dengan kawan-kawannya, dapat diketahui mana anak yang baru diusap kepalanya karena harumnya).
Wajah beliau yang mulia cemerlang seperti cemerlangnya bulan di malam bulan purnama. Orang yang menyifatinya berkata, "Aku tidak melihat sebelum dan sesudahnya orang yang seperti dia. Dan tidak ada pula manusia yang melihat sepertinya."
Beliau seorang yang sangat pemalu dan rendah hat. Beliau mengesol sendiri sandalnya, menambal pakaiannya, dan memerah kambingnya. Beliau melayani keluarganya dengan baik.
Beliau mencintai orang-orang fakir miskin dan duduk bersama mereka, menjenguk orang-orang sakit diantara mereka, mengiringi jenazah mereka, tidak menghina orang fakir dan tidak membiarkannya fakir.

Karangan : Al-'Allamah As-Sayyid Ja'far bin Hasan Al-Barzanji

Maulid 1430 H

Teringat waktu kecil, meriah, menyambut Maulid Rosulillah, masjid dan musholla dihias dengan bunga-bunga, harum..seakan akan harumnya Rosulullah, ketika sejarah lahir dan perjuangan beliau dilantunkan dalam pembacaan Al- Barzanji, dan kerinduan dihantarkan lewat qosidah yang indah, walau tak tahu akan maknanya, merinding dan bergetarlah jiwa, begitu terasa bahwa diri-Mu ada Ya Rosulullah.....
Sekarang... ketika telah banyak noda dan dosa, dan Maulid kembali tiba, izinkan tu' kembali merasakan getar kerinduan itu Wahai Kekasih Allah......
Tak banyak sholawat kubaca, karena kesibukan dunia, tapi layakkah jika Syafa'at-Mu kudamba ?

sore hari yg ter-indah

waktu pertama pindah rumah, n dilingkungan perumahan, tadinya betapa betul-betul ga nyaman, beda jauh kalo hidup disuasana perkampungn yg menurut saya penuh kekeluargaan, tapi ketika mengeluh karena maklum...sebagai Ibu rumah tangga butuh temen tu ngobrol n gaul ( walopun yg diceritaiin paling tentang anak atawa masakan ), suami bilang sabar dong...besok juga kalo dah punya kenalan ibu akan betah deh, ternyata lama-lama memang saya bisa menikmati, apalagi dah banyak yg kenal, hanya yang jadi kenangan ketika seminggu pertama kok sepi-sepi aja. ga ada yang pada keluar rumah kalo sore-sore,
makanya pas sore hari suami pulang kerja, bilang kalo di Taman komplek banyak Ibu-Ibu dan anak-anak yg lagi bermain sambil nyuapin maem, wah...tanpa ba.. bi.. bu.. saya langsung aja ambil nasi + ajak si Ade' ke taman ( maksudnya sih biar dapet temen ) tu' Ibunya jg anaknya gitu lo...
tapi ketika nyampe di taman bermain ....Ya Allah, Alahamdulillah betapa saya begitu amat bersyukur, karena diberi derajat sebagai Ibu Rumah tangga, dan yg merasa acara nyuapin maem tu' anak, bagi saya adalah acara rutin yg Indah, karena ternyata tidak semua Ibu-Ibu bisa dan punya waktu untuk itu .
ya....betapa sore hari itu sikecil saya yg teramat bahagia diantara anak-anak yg lain, disuapi dan diajak bermain oleh Ibunya sendiri, karena ternyata di taman itu begitu banyak temen-temennya yg hanya bisa melewati sore-sore hari mereka bersama Mbak-mbak pengasuh , betul-betul sore yg paling indah buat saya n si Kecilll....dan mengenai gaul ? tetep dong...walopun yg dijumpai si'Mbak-Mbak pengasuh bukan halangan tu' acara gaul dan cari temen, pokoknya lanjuut...

Ketenangan hati.....

Harta berlimpah
Karier yang bisa membuat bangga
Putra putri yang ganteng dan jelita
Badan sehat sehingga dapat pergi kemana suka
Semua itu merupakan rizki yang indah
Tapi sadarkah kita........?

Ketenangan hati.....
Adalah rizki yang terindah

nasib jadi kontraktor

Ikut suami yang pindah2 tugas n trus jadi kontraktor ( alias kontrak rumah sana sini ), itu mah biasa dan betul2 harus dinikmati.
Tapi ketika harus hidup disuasana komplek perumahan yang rada elit ( padahal kita biasa tinggal di kampung ) aduuh ....semua menjadi cerita tersendiri, dan bisa buat bekal tuk mikir2 kalo besok suami pensiun, kira2 enak tinggal dilingkungan yang orang2nya pada mapan atawa dikampung ya...
Dan antiknya ketika pertama kenal tetangga dikomplek, ada yang bertanya " baru pindah ya..? ngontrak apa beli ..? Masya Allah...segitunya, tapi ga pa2, enjoy aja....tapi kok si ibu yang bertanya tu ga sadar ya.. kalo didalam hakekat kehidupan walau rumahnya yang bagus milik dia sendiri,sebenarnya dia juga ga lebih sama dengan yang berstatus kontraktor. karena semua yang kita punya didunia adalah titipan, yang sewktu-waktu bisa diambil ama yang MAHA MEMPUNYAI........